Sebutir
telur dipecahkan lalu isinya dituang ke mangkuk bening kemudian dikocok. Daun
bawang, dan kucai diiris selanjutnya disisihkan. Berikutnya aku mencincang
daging asap dan peterseli juga menghaluskan dua siung bawang putih. Setelah
meneliti semua bahan-bahannya telah siap, aku mengambil wajan, menaruhnya di
atas kompor yang menyala kecil. Tidak lupa aku memasukkan dua sendok minyak ke
dalamnya, baru setelah itu menumis bawang putih yang dihaluskan. Saat aromanya
telah keluar, giliran memasukkan daging asap. Setelah matang, kompor dimatikan.
Aku
mengambil selembar sarung tangan plastik lalu memakainya di tangan kanan. Selanjutnya
aku lalu mencampurkan banyak bahan seperti daging giling, tumis daging asap
tadi, nasi, telur, peterseli, daun bawang, paprika bubuk, kucai, merica bubuk,
mustard dan garam. Semuanya menyatu dalam wadah bening.
Meninggalkan
adonan daging itu sejenak, aku membuka panci yang sebelumnya telah diatur
merebus air. Sekarang setelah air telah mendidih, berikutnya merebus sebentar lembar
demi lembar kol yang telah kulepaskan sedari awal dari bonggol asalnya. Setelah
kol-kol itu lemas, sembari menunggu agak dingin, aku mengambil sekendi kaldu
ayam dari kulkas dan menghangatkannya sebentar.
Aku
menaruh sekepalan adonan daging ke lembar kol kemudian menggulungnya. Begitu
seterusnya sampai lembar kol habis. Untuk tahap akhir, aku lalu merebus cabbage roll yang sudah jadi itu dengan
kaldu ayam sampai matang.
Sarma yang aku buat itupun
bergabung dengan Moroccan Chicken dan
Mieyok Guk untuk teman nasi untuk
makan malam di hari Jumat kali itu.
Viola
membaca artikel-artikel berita lewat tablet di atas meja makan sembari
mendengarkan lagu. Saat melihat aku menghampirinya dalam keadaan tidak lagi
mengenakan celemek, barulah gadis itu mencopot headset yang menyumpal telinganya.
“Kayaknya
ini enak,” kata Viola lalu mengambil sebuah sarma
dengan sumpitnya. Waktu merasakan gigitan pertama gadis itu mengangguk-angguk
membenarkan ucapannya tadi.
“Omong-omong,
Vio, kau mau temani aku besok sore?” tanyaku.
“Besok
sore aku mengajar di SMP Fantusia.”
Aku
mengangkat alis.
“Kamu
kerja sambilan?”
“Cuma
menggantikan guru musikku yang baru saja kecelakaan,” jawab Viola sambil
mengaduk-aduk nasinya dengan ayam yang lebih dulu dia cacah. “I couldn’t say no.”
“Oh…”
“Kenapa
memang?”
“Bukan
apa-apa. Ada proyek bahasa Inggris yang dikerjakan berpasangan. Besok aku
janjian dengan partner-ku itu.. di
kafe. Ibunya jadi koki di sana.”
“Oh ya?
Kau pasti senang.”
“Sedikit.”
Aku tertawa. Namun ketika perhatian Viola beralih lagi ke tablet dan piring
makannya, senyumku hilang, berganti dengan desahan.
***
Aku
akhirnya sampai di kafe yang dimaksud Aksel—laki-laki yang jadi partner-ku dalam proyek bahasa Inggris. Sebenarnya
bukan apa-apa aku sendirian yang datang ke sana. Tapi berhubung karena namanya
Aksel—laki-laki yang selalu aku beri hadiah secara sembunyi-sembunyi hampir
setiap dia latihan klub, aku tidak yakin akan bisa melewatinya dengan tenang.
Kami harus menonton film bersama-sama dan membuat ulasan yang panjang.
Mengingat janjiannya di kafe seperti itu, kerja kelompok ini serasa seperti
kencan. Padahal sebelumnya kami sangat jarang bicara.
Sepintas
aku melihat pantulan diri sendiri melalui dinding kaca di sana, memastikan
tidak ada yang aneh dengan penampilanku hari ini. Blus cokelat terang berlengan
panjang aku padukan dengan rok hitam selutut yang bertalikan pita dengan warna
sama. Aku menyisir rambut pendekku yang tersemat jepit perak. Semoga saja tidak
tampak berlebihan untuknya.
Saat aku
masuk ke dalam kafe, seorang waitress menyambut
dan mengarahkan aku ke salah satu meja yang kosong. Sebelum dia memberikan buku
menu, aku mengatakan padanya kalau akan menunggu seseorang datang lebih dulu. Dia
tersenyum mengangguk lalu pergi.
Aku memang
sengaja datang lebih awal untuk meninggalkan kesan baik. Bukankah itu aturan
main ketika menyanggupi janji dengan seseorang? Seringkali itu berbuah manis di
film-film yang kutonton.
Tersenyum,
aku mengeluarkan netbook yang kubawa
dari dalam tas. Sementara sibuk memilah judul-judul film yang ada di file penyimpanan, seseorang menaruh
segelas chunky mousse di mejaku. Aku mendongak
melihat seorang cowok memakai baju khas tukang masak restoran.
Nathan.
“A-aku
nggak pesan ini,” kataku.
“Itu
dari ibu Aksel.” Nathan menjawab datar. “Dia tahu kamu akan ke sini kerjakan
tugas kelompok kalian.”
“Ah..”
Aku tersenyum. “Tolong bilang terimakasih ya. Kamu kerja sambilan di sini?”
“Disuruh.”
Nathan meralat dan langsung melengos pergi. Sepertinya hari ini suasana hatinya
kurang begitu baik.
Selagi
aku melanjutkan memilih film, Aksel datang tidak lama kemudian. Aku melihatnya
mengedarkan pandangan mencari-cariku, lalu saat mata kami bertemu dia langsung
melangkah menghampiri. Alhasil jantungku memacu tidak karuan.
“Sori,
udah lama ya?” tanyanya mengambil duduk di sebelahku.
“Nggak
begitu,” balasku.
Menit
selanjutnya kami sibuk berdiskusi film apa yang sebaiknya kami tonton kurang
lebih dua jam ke depan. Obrolan kami menyambung seperti karet, terus menyambung
tanpa terputus. Dia bahkan membelikan aku teh hijau yang membuat atmosfer di
sekeliling kami menghangat. Gangguan datang ketika ponsel Aksel berbunyi saat
kami hampir menyelesaikan film yang kami tonton.
“Ya?”
Dia menanggapi si Penelepon. “Aku lagi di kafe, ada kerja kelompok. … Siapa? … Suruh
tunggu aja apa susahnya?”
Aku
menekan tombol pause pada pemutar
film. Batinku mulai resah. Berulang kali pikiranku menggumam kata jangan.
Aksel
menutup sambungan panggilan kemudian menghela napas panjang. Kekecewaanku makin
menjadi ketika dia menoleh padaku dengan sorot mata bersalah. Padahal tepat saat
itu seorang waitress membawakan sate seafood yang dia pesan karena kami belum
makan malam.
“Aku
harus pergi. Jennifer kena masalah. Kamu nggak apa-apa kan kalau aku duluan
dulu?”
Tidak.
“Nggak
apa-apa kok,” ucapku berbohong sambil tersenyum.
“Maaf
ya. Aku janji kita akan kerjakan review-nya
bareng. Jangan lupa kasih tahu jumlah bill-nya
ke aku besok, oke?”
Aku
mengangguk. Aksel lalu mengenakan kembali jaketnya kemudian pergi. Sejauh aku
melihatnya dari sisiku sampai keluar pintu kafe, dia tidak sekali pun menoleh.
Padahal
tadinya kupikir dengan alasan kerja kelompok semacam ini merupakan satu-satunya
cara supaya aku bisa mengenalnya lebih jauh. Ternyata dia menganggapnya tidak
lebih dari pengerjaan tugas sekolah biasa. Aku seharusnya maklum kalau dia
lebih mementingkan Jennifer. Dia gadis yang menyenangkan.
Sementara
aku?
Mendengus
lagi, aku menatap sate seafood yang sebenarnya cukup menggiurkan. Tapi tentu
saja karena acara hari ini kurang berjalan baik, makanan itu tidak ada bedanya
dengan tepung tawar yang digoreng bulat-bulat lalu dipasang pada tusukan. Akhirnya
karena kesal, aku memasukkan satu per satu bulatan seafood itu ke mulut.
Tepatnya,
aku tidak tahu persis apa yang sebenarnya kumakan.
***
Kapan pulang?
Viola
mengirim pesan singkat lewat Line. Aku
lalu mengetikkan balasan sementara kakiku tetap melangkah menyusuri jembatan
kayu yang diterpa angin dingin. Memang sembrono pulang dengan berjalan kaki
malam-malam begini. Aku sengaja tidak menelepon supaya dijemput. Bahkan kepada
pria berumur itu, aku malu sekali. Coba saja kalau tadi aku tidak berdandan
habis-habisan.
Setelah
mengirimkan balasan, aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Dan untuk
kesekian kalinya, aku kembali menghela napas panjang.
Dahiku
berkerut ketika samar-samar saat perlahan aku merasakan sesuatu dalam perutku
bergerak-gerak. Lama-lama rasanya menusuk-nusuk hingga tubuhku condong ke depan
dengan tangan mencengkeram pagar kayu tepi jembatan. Sambil meringis menahan
sakit, aku mengingat-ingat lagi apa yang kumakan.
Sate seafood? Apa yang aneh dengan itu? Hewan
laut apa memangnya yang bisa dimakan selain ikan, udang, dan kepiting?
Mataku
mendelik mengingat satu lagi makhluk lunak yang hidup berlindung dalam
cangkang: kerang.
Ah!
Perutku selalu sakit luar biasa tiap makan kerang!
Belum
cukup volume sial yang kudapat, mendadak tetes-tetes air turun dari langit. Bahkan
tanpa memberi waktu padaku untuk berteduh, air itu langsung tumpah ruah
menyiram sekujur tubuhku.
Aku
menjerit.
Secepat
kilat aku berlari menuju bangunan terdekat. Tapi wedges yang kusukai dan kupakai hari ini rupanya menjelma jadi
masalah baru. Tiba-tiba kakiku terpeleset dan tidak terelakkan tubuhku tercebur
ke sungai.
***
Awalnya
aku memang merasakan seseorang merangkul tubuhku ketika berada di bawah
permukaan air. Ketika tubuhku diletakkan di atas bebatuan besar yang berada di
pinggir sungai, dia memanggil-manggil namaku. Tapi saking susahnya bernapas,
sesuatu menekan-nekan dadaku hingga akhirnya semua air yang terhirup langsung
kumuntahkan. Saat itu masih hujan deras dan akibatnya otakku tidak mampu
berpikir jernih. Hanya kekalutan yang nyata.
Tanpa
menunda lagi orang itu menggendongku ke punggungnya lalu berlari ke arah yang
tidak terlalu kukenali. Saat selanjutnya tidak lagi kuingat.
***
Begitu
sadar aku telah berbaring dengan sekujur tubuh tertutup selimut dalam sebuah
kamar yang asing. Jelas bukan kamarku. Aku mengerjap beberapa kali sebelum
menegakkan punggung lalu menoleh ke sana kemari—bingung. Keterkejutanku bertambah
saat menyadari pakaian yang melekat di badanku bukan baju yang terakhir kali
aku kenakan.
Berpikirlah
positif—aku berkata pada diri sendiri. Kalau kita berlaku baik pada orang lain,
mereka tidak akan berbuat jahat. Masalahnya hanyalah siapa yang menolongku dan
di mana aku berada sekarang.
Yang jelas
meskipun aku meyakinkan diri tidak sedang berada dalam rumah penyamun, nyatanya
aku berjalan mengendap-endap keluar kamar persis pencuri. Tepat saat berada di
anak tangga paling bawah, aku pun melihatnya—laki-laki yang tengah duduk di
meja makan sembari membaca dan mendekatkan cangkir ke hidungnya.
Tidak
salah lagi. Laki-laki yang mengenakan kaos tebal berlengan panjang itu Nathan.
“Akhirnya
bangun juga.” Dia berujar tanpa menoleh.
Aku
otomatis menggaruk belakang leher karena malu.
“Kamu
tahu ini udah jam berapa?” tanya Nathan lalu meletakkan cangkir kopinya.
Tidak
jauh dari tempatku berdiri, aku melihat jam dinding. Ekspresiku berubah masam
melihat jarum jam yang pendek ada dekat angka sembilan, sementara jarum panjang
di angka lima. Cukup tahu kalau nanti Viola akan menghujaniku dengan khotbah
menggelegar.
“Anu…
di mana tasku?”
Hanya
dengan jari telunjuknya, Nathan mengarahkan pandanganku ke meja dekat kamar
mandi tidak jauh dari sana. Tasku berada di tumpukan bajuku yang basah.
“What am I wearing…?” Tanpa sadar aku
menggumam.
“Nggak
usah berpikir aneh-aneh,” ujar Nathan datar. “Ada bibi pengasuhku di sini.”
“Ah…
ya.. makasih,” ucapku dengan tersenyum malu. Aku merasa tidak perlu membongkar
isi tas karena yakin baik ponsel maupun netbook
yang kubawa telah mati. Hampir tenggelam di sungai memang cara pembunuhan yang
luar biasa untuk mereka.
“Duduk,”
kata Nathan lagi, terdengar seperti memerintah.
Aku
yang benar-benar merasa kacau balau saat ini hanya bisa menurut. Kursi yang ada
di seberang laki-laki itu aku pilih untuk tempat duduk. Tingkahku otomatis
kikuk sewaktu Nathan beranjak tepat saat aku duduk. Aku melihatnya mengambil
sebuah mangkuk dari rak kemudian menuangkan sesuatu dari panci di atas kompor. Tidak
berapa lama, semangkuk makanan hangat itupun disajikan tepat di depanku.
“Habiskan
itu, lalu aku antar pulang. Jangan mimpi mau menginap di sini,” suruh Nathan
bernada sinis.
Aku
bengong mendengar ucapannya. Dia langsung mengingatkanku pada salah satu
kembaranku yang galak namun sebenarnya sangat lembut. Aku yakin Nathan sendiri
tidak jauh berbeda dari gadis pualam. Semangkuk sup kacang merah itu aku anggap
sebagai bentuk penolakannya dari pendapat anak-anak lain yang mengiranya dingin
dan angkuh.
“Kamu
yang nolong aku tadi?” tanyaku basa-basi.
Nathan
diam. Dia tampak begitu tenang membaca buku berjudul Ford County. Tapi kurasa
dia mendengar tanyaku.
“Thanks,” ucapku tulus lalu mulai menyuapkan
sup kacang merah itu ke mulut.
Kami
duduk berhadapan dalam hening yang hangat. Kaku memang. Aku ingin bertanya satu
hal lagi namun urung. Kurasa dia tidak akan suka kalau aku menyinggung kakinya
yang pincang karena terluka—mungkin terantuk batu waktu di sungai tadi.
0 komentar:
Posting Komentar