It's Sun Orchid

Minggu, 05 Juli 2015





Sebutir telur dipecahkan lalu isinya dituang ke mangkuk bening kemudian dikocok. Daun bawang, dan kucai diiris selanjutnya disisihkan. Berikutnya aku mencincang daging asap dan peterseli juga menghaluskan dua siung bawang putih. Setelah meneliti semua bahan-bahannya telah siap, aku mengambil wajan, menaruhnya di atas kompor yang menyala kecil. Tidak lupa aku memasukkan dua sendok minyak ke dalamnya, baru setelah itu menumis bawang putih yang dihaluskan. Saat aromanya telah keluar, giliran memasukkan daging asap. Setelah matang, kompor dimatikan.

Aku mengambil selembar sarung tangan plastik lalu memakainya di tangan kanan. Selanjutnya aku lalu mencampurkan banyak bahan seperti daging giling, tumis daging asap tadi, nasi, telur, peterseli, daun bawang, paprika bubuk, kucai, merica bubuk, mustard dan garam. Semuanya menyatu dalam wadah bening.

Meninggalkan adonan daging itu sejenak, aku membuka panci yang sebelumnya telah diatur merebus air. Sekarang setelah air telah mendidih, berikutnya merebus sebentar lembar demi lembar kol yang telah kulepaskan sedari awal dari bonggol asalnya. Setelah kol-kol itu lemas, sembari menunggu agak dingin, aku mengambil sekendi kaldu ayam dari kulkas dan menghangatkannya sebentar.

Aku menaruh sekepalan adonan daging ke lembar kol kemudian menggulungnya. Begitu seterusnya sampai lembar kol habis. Untuk tahap akhir, aku lalu merebus cabbage roll yang sudah jadi itu dengan kaldu ayam sampai matang.

Sarma yang aku buat itupun bergabung dengan Moroccan Chicken dan Mieyok Guk untuk teman nasi untuk makan malam di hari Jumat kali itu.

 

Viola membaca artikel-artikel berita lewat tablet di atas meja makan sembari mendengarkan lagu. Saat melihat aku menghampirinya dalam keadaan tidak lagi mengenakan celemek, barulah gadis itu mencopot headset yang menyumpal telinganya.

“Kayaknya ini enak,” kata Viola lalu mengambil sebuah sarma dengan sumpitnya. Waktu merasakan gigitan pertama gadis itu mengangguk-angguk membenarkan ucapannya tadi.

“Omong-omong, Vio, kau mau temani aku besok sore?” tanyaku.

“Besok sore aku mengajar di SMP Fantusia.”

Aku mengangkat alis.

“Kamu kerja sambilan?”

“Cuma menggantikan guru musikku yang baru saja kecelakaan,” jawab Viola sambil mengaduk-aduk nasinya dengan ayam yang lebih dulu dia cacah. “I couldn’t say no.”

“Oh…”

“Kenapa memang?”

“Bukan apa-apa. Ada proyek bahasa Inggris yang dikerjakan berpasangan. Besok aku janjian dengan partner-ku itu.. di kafe. Ibunya jadi koki di sana.”

“Oh ya? Kau pasti senang.”

“Sedikit.” Aku tertawa. Namun ketika perhatian Viola beralih lagi ke tablet dan piring makannya, senyumku hilang, berganti dengan desahan.

***

Aku akhirnya sampai di kafe yang dimaksud Aksel—laki-laki yang jadi partner-ku dalam proyek bahasa Inggris. Sebenarnya bukan apa-apa aku sendirian yang datang ke sana. Tapi berhubung karena namanya Aksel—laki-laki yang selalu aku beri hadiah secara sembunyi-sembunyi hampir setiap dia latihan klub, aku tidak yakin akan bisa melewatinya dengan tenang. Kami harus menonton film bersama-sama dan membuat ulasan yang panjang. Mengingat janjiannya di kafe seperti itu, kerja kelompok ini serasa seperti kencan. Padahal sebelumnya kami sangat jarang bicara.

Sepintas aku melihat pantulan diri sendiri melalui dinding kaca di sana, memastikan tidak ada yang aneh dengan penampilanku hari ini. Blus cokelat terang berlengan panjang aku padukan dengan rok hitam selutut yang bertalikan pita dengan warna sama. Aku menyisir rambut pendekku yang tersemat jepit perak. Semoga saja tidak tampak berlebihan untuknya.

Saat aku masuk ke dalam kafe, seorang waitress menyambut dan mengarahkan aku ke salah satu meja yang kosong. Sebelum dia memberikan buku menu, aku mengatakan padanya kalau akan menunggu seseorang datang lebih dulu. Dia tersenyum mengangguk lalu pergi.
Aku memang sengaja datang lebih awal untuk meninggalkan kesan baik. Bukankah itu aturan main ketika menyanggupi janji dengan seseorang? Seringkali itu berbuah manis di film-film yang kutonton.

Tersenyum, aku mengeluarkan netbook yang kubawa dari dalam tas. Sementara sibuk memilah judul-judul film yang ada di file penyimpanan, seseorang menaruh segelas chunky mousse di mejaku. Aku mendongak melihat seorang cowok memakai baju khas tukang masak restoran.

Nathan.

“A-aku nggak pesan ini,” kataku.

“Itu dari ibu Aksel.” Nathan menjawab datar. “Dia tahu kamu akan ke sini kerjakan tugas kelompok kalian.”

“Ah..” Aku tersenyum. “Tolong bilang terimakasih ya. Kamu kerja sambilan di sini?”

“Disuruh.” Nathan meralat dan langsung melengos pergi. Sepertinya hari ini suasana hatinya kurang begitu baik.

Selagi aku melanjutkan memilih film, Aksel datang tidak lama kemudian. Aku melihatnya mengedarkan pandangan mencari-cariku, lalu saat mata kami bertemu dia langsung melangkah menghampiri. Alhasil jantungku memacu tidak karuan.

“Sori, udah lama ya?” tanyanya mengambil duduk di sebelahku.

“Nggak begitu,” balasku.

Menit selanjutnya kami sibuk berdiskusi film apa yang sebaiknya kami tonton kurang lebih dua jam ke depan. Obrolan kami menyambung seperti karet, terus menyambung tanpa terputus. Dia bahkan membelikan aku teh hijau yang membuat atmosfer di sekeliling kami menghangat. Gangguan datang ketika ponsel Aksel berbunyi saat kami hampir menyelesaikan film yang kami tonton.

“Ya?” Dia menanggapi si Penelepon. “Aku lagi di kafe, ada kerja kelompok. … Siapa? … Suruh tunggu aja apa susahnya?”
 
Aku menekan tombol pause pada pemutar film. Batinku mulai resah. Berulang kali pikiranku menggumam kata jangan.

Aksel menutup sambungan panggilan kemudian menghela napas panjang. Kekecewaanku makin menjadi ketika dia menoleh padaku dengan sorot mata bersalah. Padahal tepat saat itu seorang waitress membawakan sate seafood yang dia pesan karena kami belum makan malam.

“Aku harus pergi. Jennifer kena masalah. Kamu nggak apa-apa kan kalau aku duluan dulu?”

Tidak.

“Nggak apa-apa kok,” ucapku berbohong sambil tersenyum.

“Maaf ya. Aku janji kita akan kerjakan review-nya bareng. Jangan lupa kasih tahu jumlah bill-nya ke aku besok, oke?”

Aku mengangguk. Aksel lalu mengenakan kembali jaketnya kemudian pergi. Sejauh aku melihatnya dari sisiku sampai keluar pintu kafe, dia tidak sekali pun menoleh.

Padahal tadinya kupikir dengan alasan kerja kelompok semacam ini merupakan satu-satunya cara supaya aku bisa mengenalnya lebih jauh. Ternyata dia menganggapnya tidak lebih dari pengerjaan tugas sekolah biasa. Aku seharusnya maklum kalau dia lebih mementingkan Jennifer. Dia gadis yang menyenangkan.

Sementara aku?

Mendengus lagi, aku menatap sate seafood  yang sebenarnya cukup menggiurkan. Tapi tentu saja karena acara hari ini kurang berjalan baik, makanan itu tidak ada bedanya dengan tepung tawar yang digoreng bulat-bulat lalu dipasang pada tusukan. Akhirnya karena kesal, aku memasukkan satu per satu bulatan seafood itu ke mulut.

Tepatnya, aku tidak tahu persis apa yang sebenarnya kumakan.

***

Kapan pulang?

Viola mengirim pesan singkat lewat Line. Aku lalu mengetikkan balasan sementara kakiku tetap melangkah menyusuri jembatan kayu yang diterpa angin dingin. Memang sembrono pulang dengan berjalan kaki malam-malam begini. Aku sengaja tidak menelepon supaya dijemput. Bahkan kepada pria berumur itu, aku malu sekali. Coba saja kalau tadi aku tidak berdandan habis-habisan.

Setelah mengirimkan balasan, aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Dan untuk kesekian kalinya, aku kembali menghela napas panjang.

Dahiku berkerut ketika samar-samar saat perlahan aku merasakan sesuatu dalam perutku bergerak-gerak. Lama-lama rasanya menusuk-nusuk hingga tubuhku condong ke depan dengan tangan mencengkeram pagar kayu tepi jembatan. Sambil meringis menahan sakit, aku mengingat-ingat lagi apa yang kumakan.

Sate seafood? Apa yang aneh dengan itu? Hewan laut apa memangnya yang bisa dimakan selain ikan, udang, dan kepiting?

Mataku mendelik mengingat satu lagi makhluk lunak yang hidup berlindung dalam cangkang: kerang.

Ah! Perutku selalu sakit luar biasa tiap makan kerang!

Belum cukup volume sial yang kudapat, mendadak tetes-tetes air turun dari langit. Bahkan tanpa memberi waktu padaku untuk berteduh, air itu langsung tumpah ruah menyiram sekujur tubuhku.

Aku menjerit.

Secepat kilat aku berlari menuju bangunan terdekat. Tapi wedges yang kusukai dan kupakai hari ini rupanya menjelma jadi masalah baru. Tiba-tiba kakiku terpeleset dan tidak terelakkan tubuhku tercebur ke sungai.

***

Awalnya aku memang merasakan seseorang merangkul tubuhku ketika berada di bawah permukaan air. Ketika tubuhku diletakkan di atas bebatuan besar yang berada di pinggir sungai, dia memanggil-manggil namaku. Tapi saking susahnya bernapas, sesuatu menekan-nekan dadaku hingga akhirnya semua air yang terhirup langsung kumuntahkan. Saat itu masih hujan deras dan akibatnya otakku tidak mampu berpikir jernih. Hanya kekalutan yang nyata.

Tanpa menunda lagi orang itu menggendongku ke punggungnya lalu berlari ke arah yang tidak terlalu kukenali. Saat selanjutnya tidak lagi kuingat.

***

Begitu sadar aku telah berbaring dengan sekujur tubuh tertutup selimut dalam sebuah kamar yang asing. Jelas bukan kamarku. Aku mengerjap beberapa kali sebelum menegakkan punggung lalu menoleh ke sana kemari—bingung. Keterkejutanku bertambah saat menyadari pakaian yang melekat di badanku bukan baju yang terakhir kali aku kenakan.

Berpikirlah positif—aku berkata pada diri sendiri. Kalau kita berlaku baik pada orang lain, mereka tidak akan berbuat jahat. Masalahnya hanyalah siapa yang menolongku dan di mana aku berada sekarang.

Yang jelas meskipun aku meyakinkan diri tidak sedang berada dalam rumah penyamun, nyatanya aku berjalan mengendap-endap keluar kamar persis pencuri. Tepat saat berada di anak tangga paling bawah, aku pun melihatnya—laki-laki yang tengah duduk di meja makan sembari membaca dan mendekatkan cangkir ke hidungnya.

Tidak salah lagi. Laki-laki yang mengenakan kaos tebal berlengan panjang itu Nathan.

“Akhirnya bangun juga.” Dia berujar tanpa menoleh.

Aku otomatis menggaruk belakang leher karena malu.

“Kamu tahu ini udah jam berapa?” tanya Nathan lalu meletakkan cangkir kopinya.

Tidak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat jam dinding. Ekspresiku berubah masam melihat jarum jam yang pendek ada dekat angka sembilan, sementara jarum panjang di angka lima. Cukup tahu kalau nanti Viola akan menghujaniku dengan khotbah menggelegar.

“Anu… di mana tasku?”

Hanya dengan jari telunjuknya, Nathan mengarahkan pandanganku ke meja dekat kamar mandi tidak jauh dari sana. Tasku berada di tumpukan bajuku yang basah.

What am I wearing…?” Tanpa sadar aku menggumam.

“Nggak usah berpikir aneh-aneh,” ujar Nathan datar. “Ada bibi pengasuhku di sini.”

“Ah… ya.. makasih,” ucapku dengan tersenyum malu. Aku merasa tidak perlu membongkar isi tas karena yakin baik ponsel maupun netbook yang kubawa telah mati. Hampir tenggelam di sungai memang cara pembunuhan yang luar biasa untuk mereka.

“Duduk,” kata Nathan lagi, terdengar seperti memerintah.

Aku yang benar-benar merasa kacau balau saat ini hanya bisa menurut. Kursi yang ada di seberang laki-laki itu aku pilih untuk tempat duduk. Tingkahku otomatis kikuk sewaktu Nathan beranjak tepat saat aku duduk. Aku melihatnya mengambil sebuah mangkuk dari rak kemudian menuangkan sesuatu dari panci di atas kompor. Tidak berapa lama, semangkuk makanan hangat itupun disajikan tepat di depanku.

 

“Habiskan itu, lalu aku antar pulang. Jangan mimpi mau menginap di sini,” suruh Nathan bernada sinis.

Aku bengong mendengar ucapannya. Dia langsung mengingatkanku pada salah satu kembaranku yang galak namun sebenarnya sangat lembut. Aku yakin Nathan sendiri tidak jauh berbeda dari gadis pualam. Semangkuk sup kacang merah itu aku anggap sebagai bentuk penolakannya dari pendapat anak-anak lain yang mengiranya dingin dan angkuh.

“Kamu yang nolong aku tadi?” tanyaku basa-basi.

Nathan diam. Dia tampak begitu tenang membaca buku berjudul Ford County. Tapi kurasa dia mendengar tanyaku.

Thanks,” ucapku tulus lalu mulai menyuapkan sup kacang merah itu ke mulut.

Kami duduk berhadapan dalam hening yang hangat. Kaku memang. Aku ingin bertanya satu hal lagi namun urung. Kurasa dia tidak akan suka kalau aku menyinggung kakinya yang pincang karena terluka—mungkin terantuk batu waktu di sungai tadi.

0 komentar: