Suatu
hari di pagi hari yang damai kali itu, seseorang menjambak Amarta lalu
menyeretnya ke barak belakang sekolah. Berkali-kali dia ditampar kemudian
ujung-ujungnya disiram air dalam tong sampah yang penuh berkat hujan deras
semalam.
Akhirnya
dia meringkuk sendirian di sana karena barak itu sengaja dikunci dari luar.
Padahal sebenarnya tidak perlu. Amarta sendiri terlalu malu bertemu dengan
siapa pun dalam keadaan menjijikkan seperti itu. Yang bisa dia lakukan hanya
menunggu malam datang sehingga dia bisa keluar tanpa siapa pun yang melihat.
Barak itu hanya memberinya satu cara untuk keluar, yakni dengan memecahkan
jendela. Dan kini kemalangannya bertambah dengan luka sayat di tangan dan
kakinya.
Gadis
itu berjalan kaki tanpa menumpang apa pun. Badannya gemetaran karena dingin dan
dia pun memeluk sendiri tubuhnya meskipun hal itu sama sekali tidak berguna.
Penjaga
gerbang rumah kaget dan syok melihatnya datang seperti itu. Buru-buru dia
membuka gerbang, tidak lupa bertanya apa yang terjadi.
Amarta
hanya menatapnya sekilas. Matanya sembab.
“Pak…
tolong jangan bilang siapa-siapa…,” katanya pelan.
Pria
itu bingung namun tidak berani memprotes.
Ketika
Amarta masuk ke rumah, dia berusaha berjalan mengendap-endap supaya tidak ada
orang yang melihat. Keinginannya terkabul karena kehadirannya tidak terdeteksi
satupun maid di sana, terlebih Viola.
Satu
dari si kembar dengan rambut panjang cokelat terang dan poni miring saat itu
sedang mencorat-coret rencana lagu baru yang akan dia ciptakan. Sekilas gadis
itu melirik ke arah jam dinding tidak jauh dari tempatnya sekarang. Sudah malam
dan sama sekali tidak terdengar suara Amarta seperti biasa ketika dia
mengajaknya makan bersama.
Viola
sempat bertanya pada orang di sana perihal Amarta yang tidak kunjung pulang meski
langit di luar sudah gelap. Lama-lama firasat aneh menjalarinya hingga tidak
bisa mengerjakan dengan tenang proyek yang dia rencanakan selama kurang lebih
dua bulan.
Berdecap,
gadis itu lalu menuruni tangga ke lantai dasar, tepatnya di ruang dapur. Namun
ketika sampai ke sana hanya ada dua wanita yang bersliweran memasak dan
membersihkan ruang.
“Emm…
madam,” panggilnya pada wanita-wanita itu. “Apa Marta sudah pulang?”
Kedua maid tadi saling berpandangan lalu
kompak menggeleng.
“Saya
nggak lihat dari tadi, Non,” jawab salah satunya.
Viola
pun mendesah. Giginya menggigit bibir bawah, heran sekaligus cemas. Tidak
biasanya anak satu itu pulang terlambat. Kalaupun iya, dia harusnya menelepon
atau mengirim pesan singkat. Viola menyalakan ponsel lagi, memastikan
benar-benar tidak ada kabar dari Amarta sejak tadi.
Apa
mungkin gadis itu sudah ada di kamarnya? Pikiran itu tiba-tiba terlintas begitu
saja. Tapi tidak ada salahnya mengecek—Viola memutuskan. Dia lalu naik lagi ke
lantai dua menuju kamar Amarta. Tangannya mengetuk dan tidak ada respon. Namun
perasaan aneh menjalarinya hingga akhirnya gadis itu membuka pintu tiba-tiba
juga langsung menyalakan lampunya. Ruangan yang awalnya gelap pun menjadi
terang benderang.
Saat
itulah mata Viola melebar melihat Amarta duduk meringkuk di atas ranjangnya
sambil menatap dirinya ketakutan.
“Marta?”
Viola memanggilnya sambil mengernyit namun ekspresi Amarta tidak berubah,
badannya pun kaku seolah membeku.
Pelan-pelan
dia mendekat lalu menyadari rambut gadis itu basah. Ketika Viola melihat jam di
ponselnya tadi, waktu sudah mendekati larut. Kenapa Amarta baru membasuh
tubuhnya saat udara sedang dingin-dinginnya? Gadis itu bahkan tidak membalut
rambutnya dengan handuk dan akibatnya air merembes juga ke baju tidurnya. Dia
akan masuk angin kalau tidak segera mengeringkan diri.
“Marta,”
ulang Viola menyebut namanya. Dia duduk di ranjang gadis itu serta menghadap ke
arahnya. “Ada apa? Kenapa jam segini baru mandi? Mau aku keringkan rambutmu?”
Amarta
menggeleng kaku.
Pertanyaan
dan tawaran tadi hanya basa-basi. Viola tahu betul ada yang salah dengan
Amarta. Hanya saja dia merasa tidak bijak langsung menghujaninya dengan
pertanyaan yang langsung mengarah pada masalah gadis itu. Beberapa hari ini
Amarta memang tampak sedikit murung, meski begitu dia masih dapat menutupinya
dengan tawa biasa. Tapi kali ini keceriaannya lenyap tidak bersisa seperti ada
seseorang yang sengaja menghancurkannya.
“Kau
sudah makan malam? Ayo makan sama-sama.” Viola menarik pergelangan tangan
Amarta tapi tiba-tiba sentuhan sekilas itu membuat kembarannya meringis.
Keduanya
sama-sama membelalak kaget: Viola dengan kecurigaannya, sedangkan Amarta
terkesan menyembunyikan sesuatu yang amat buruk.
Kemudian
kali ini tanpa memikirkan tindakan terbaik membujuk orang yang sedang terkena
masalah untuk bercerita, Viola lantas menarik paksa kedua tangan Amarta. Gadis
itu syok ketika akhirnya melihat kedua telapak tangan kembar bungsunya nyaris
tertutup plester yang ditempel asal-asalan.
“Apa
ini?” tanya Viola menuntut. “Kau mau cerita atau aku akan mencopotnya paksa?”
Amarta
tidak menjawab. Dia menarik tangannya kembali lalu menangis tanpa suara.
Viola
frustasi tidak habis pikir. Kesal, gadis itu lalu keluar dari kamar Amarta
bahkan tanpa menutup pintu. Jari-jarinya kemudian sibuk mengatur nomor-nomor
kontak yang selanjutnya dia masukkan ke dalam aplikasi group call. Langkahnya bergerak cepat menuju taman samping
rumahnya. Sesampainya di sana, dia pun melakukan panggilan dengan tiga orang
sekaligus.
“Kau
gila meneleponku saat rapat sebentar lagi?” Sang Gadis pualam menyambut
panggilan dengan protes. Viola tidak menggubrisnya. Paling tidak gadis itu
tidak menolak sambungan.
“Ada
apa?!” Kali ini si Bocah sembrono dan seringkali nekat waktu melampiaskan emosi
yang menanggapi. Suaranya memang keras, namun suara di sekelilingnya juga tidak
kalah keras. “Sorry!! AKU SEDANG ADA
DI TEMPAT KARAOKE!! GIVE ME A MINUTE,
OKAY?!”
“Gendang
telingaku seperti akan sobek.” Melisma menggerutu. “Hei, Viol, kau masih di
situ kan? Aku cuma punya waktu sembilan menit.”
“Just shut your mouth this time, will you?”
Viola membalas sambil memijat-mijat pelipis. Beberapa detik kemudian, suara
berisik yang berasal dari tempat Tiara berada menghilang. Saat itu juga, satu
lagi pemilik kontak yang Viola tunggu menanggapi panggilan.
“I’m here..”
“Hei,
Vio, kau tidak mengajak Amarta bergabung juga? Atau kalian pakai satu ponsel?”
tanya Tiara mulai cerewet.
“Oke,
dengar,” kata Viola akhirnya sembari menenangkan emosi yang sebenarnya sudah
melonjak-lonjak tidak karuan. “Ini masalah serius, jadi jangan coba-coba
mengabaikannya.”
“Salah
satu dari kalian tertimpa masalah?” tebak Melisma.
“Semacam
itu.” Viola membenarkan. “Tapi bukan aku.”
“Kalau
begitu Marta? Kenapa? Waktu masak kompornya meledak?” Kali ini Tiara yang menebak
saking paniknya. “Aku sering lihat berita seperti itu di internet.”
“Bukan
itu.” Viola menghela napas panjang. “Kalau dugaanku benar, dia dikerjai di
sekolahnya. Anak itu murung beberapa hari, dan sekarang badannya luka. Aku
tidak bisa biarkan ini diulang.”
“Amarta
punya musuh?” ujar Melisma mulai menanggapinya serius. “Orang brengsek macam
apa dia?”
“Amarta
bagaimana sekarang? Dia baik-baik saja?” tanya Tiara cemas.
“Dia-tidak-baik-baik-saja.”
Viola menekankan nada ke satu per satu kata. “Anak itu seperti mayat sekarang.
Dia menangis waktu aku mengajaknya makan, kalian tahu? Tangannya terluka
semuanya. Bahkan ada luka lecet di kepalanya waktu aku lihat tadi. Lalu aku
harus—…!”
“Itu
sudah keterlaluan,” komentar Melisma.
“Apa
aku harus ke sana? Bagaimana kalau aku ke sana?” Tiara menawarkan diri. “Aku
harus melihat keadaannya.”
“Tidak
perlu sampai begitu.. aku.. aku hanya bingung harus berbuat apa…”
Hening
sesaat. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri yang kurang lebih sebenarnya
mengarah pada hal yang sama.
“Aku
bisa ke sana,” kata Tiara kemudian. “Aku tidak punya banyak kegiatan
akhir-akhir ini selain pemotretan. Kurasa Gladys tidak akan keberatan.”
“Tapi…”
Viola akan memprotes tapi Tiara langsung memotong ucapannya.
“Tidak
usah memprotes. Jangan pikir karena kita berada di tempat yang berjauhan, aku
menganggap persoalan ini hanya angin lalu.”
Viola
termenung sesaat. Sebelum akhirnya menjawab dengan perasaan lega, “Thanks, Chrisantee…”
Di
seberang sana, Tiara tersenyum lebar.
“Baiklah,”
katanya. “Karena teman-temanku masih ada di sini, aku tutup dulu obrolan kita.
Tunggulah aku ke sana besok.”
Satu
kontak group call mereka berkurang
satu. Bunyi ponsel yang tertangkap oleh Viola belum berhenti, jadi obrolan
mereka belum berhenti.
“Anak
itu pikirannya sederhana sekali,” komentar Melisma bernada sindiran. “Kau tahu
aku sibuk kan? Aku harus segera masuk ke ruang rapat.”
Viola
menghela napas panjang. “Jadi apa saran yang akan kau berikan padaku?”
“Well… percayalah kalau aku punya pikiran
yang sama denganmu, mungkin sama juga dengan yang dipikirkan Tiara. Bedanya,
aku sama sekali tidak punya niat untuk repot-repot ke sana, apalagi untuk
mencari masalah.”
Tepat
saat gadis pualam itu menyelesaikan kata-katanya, kontaknya langsung menghilang
dari group call. Viola yang tidak
tahu harus berkata apa kemudian mengecek lagi layar ponselnya. Hampir saja dia
melupakan satu kembarannya lagi yang bergabung tapi dari tadi gadis itu hanya
membisu. Mengerutkan kening, Viola pun mencoba memanggilnya.
“Kau
masih di situ?”
“Ya..”
Dia menjawab singkat dan pelan seperti biasa.
“Kau
tidak mau berkomentar?”
“Soal
apa?”
Hening
lagi. Viola pun mendesis menahan rasa gemasnya. Namun sebelum gadis itu
melontarkan kalimatnya dengan gigi yang tertempel rapat, kembarannya lebih dulu
berujar.
“Cari
dulu sumber apinya…”
“Hah?”
“Apa
dia mengatakan sesuatu padamu?”
“Siapa?
Oh… Marta? Tidak..,” jawab Viola. “Sama sekali tidak.”
“Kalau
begitu jangan gegabah. Cari tahu alasannya dulu di balik itu..”
“I beg your pardon! Apa telingamu tidak
mendengarku tadi?” Kali ini Viola mulai kesal. “Kuulang sekali lagi, dia
terluka! Amarta terluka! Apa pun alasannya, perbuatan orang yang menyebabkannya
punya luka-luka seperti itu tidak bisa dibenarkan! Dan kau…” Dia tertawa
sekilas. “Dan kau masih meributkan alasannya?”
“Kau
sendiri tahu ucapanmu tidak bijak..” Ratimeria berkata tenang. “Apa mau aku
ulang paparanmu tadi?” tanya gadis itu mengembalikan sindiran Viola. “Amarta
tidak mengatakan apa pun kan?”
“Memangnya
kenapa?” Viola menuntutnya tidak sabar. “Bisa saja dia diancam!”
“Bisa
saja…” ulang Ratimeria—membenarkan sekaligus menggantung.
Tertawa
kecil, Viola kemudian menyindirnya lagi. “I’m
sorry to ask… apa kau peduli?”
Jeda.
Ratimeria membuat Viola menunggu selama beberapa detik hingga gadis itu mulai
meragukannya.
“Apa
alasannya aku harus tidak peduli?” Ratimeria balik bertanya. Sebelum Viola
mendebatnya lagi, dia menambahkan, “Kau bisa menunggu sebentar lagi sampai
rumah itu penuh. Aku takkkan berkata apa pun sampai kalian tahu alasan di
baliknya..”
“Alasan
apa?!” Sambungan mendadak diputus. “Halo? Hei!!”
***
Dua
hari kemudian ketika Viola tidak sengaja tertidur setelah menyelesaikan lembar
demi lembar coretan not-not lagu yang hampir semuanya dianggap tidak berguna,
gadis itu sontak terbelalak begitu mendengar omelan seseorang di lantai bawah. Kesadarannya
berangsur-angsur kembali namun mendadak dipaksa pulih sepenuhnya hanya dalam
sedetik saat seseorang lagi berteriak memanggil-manggil namanya. Langkah orang
itu pun berderap menaiki tangga.
Viola
melonjak. Punggungnya langsung tegak begitu yakin bunyi langkah tadi mengarah
ke kamarnya.
“Viola!!”
Gadis berambut cokelat terang yang panjang bergelombang itu langsung masuk ke
sana mengabaikan etika untuk mengetuk lebih dulu. Dia berlari dan melompat ke
atas ranjang. “Di mana Amarta? Dia tidak ada di kamarnya.”
“Apa?”
Viola mengernyit kemudian terkesiap. Gadis itu buru-buru merangkak turun dari
ranjangnya lalu berlari ke arah kamar yang kira-kira ada di seberangnya. Namun otomatis
dia mengerem mendadak tatkala melihat seorang gadis lagi yang juga mirip
dengannya juga Tiara baru saja sampai di puncak tangga.
Gadis
itu menoleh. Rambut hitamnya tergerai jatuh serta bergerak lembut mengikuti
geraknya.
Viola
menyipit berusaha mengenali kembarannya satu itu. Gadis yang ada di belakangnya
saat ini jelas Tiara—karena tingkah hebohnya tidak berubah dari dulu. Satu-satunya
yang berambut hitam di antara mereka adalah si Gadis pualam. Hanya saja Viola
menyadari beberapa perbedaan antara sosok Melisma yang dia ingat dulu dengan
orang di depannya sekarang. Melisma yang berambut hitam panjang tidak memiliki
poni, volumenya pun tebal. Sementara orang di depannya memiliki rambut hitam
yang tipis serta memiliki poni rata meskipun tidak seberapa. Ini gawat,
pikirnya. Sejak kapan dia jadi kesulitan mengenali kembarannya sendiri walaupun
sudah cukup lama mereka tidak bertemu?
Dan
lagi… kenapa mata kirinya dibalut perban?
“Itu
Meri.” Tiara berbisik dekat telinga Viola. “Dia mengembalikan warna rambutnya
yang dulu.”
“Hah?”
Viola menoleh ke arahnya.
“Aku
juga tadi berpikir dia Meli. Tapi setelah bertemu keduanya, aku jadi tahu mana
Meli mana Meri.”
Tidak
berminat menggubris dua gadis itu, Ratimeria meneruskan langkahnya memasuki
kamar Amarta yang pintunya terbuka. Kamar itu memang awalnya kosong, tapi
seseorang telah masuk ke dalam dan sekarang berdiri mematung dekat meja
belajar.
“Maksudmu…
Meli juga datang ke sini?” tanya Viola benar-benar terkejut.
Tiara
mengangguk.
Viola
membentuk bibirnya menjadi bundar kemudian memijat-mijat pelipis. Begitu sadar
Ratimeria telah menghilang dari pandangannya, gadis itu lalu berjalan cepat
sambil pandangannya mencari diikuti Tiara. Dia menoleh ke dalam kamar Amarta
dan menemukan ada dua orang di sana.
Ratimeria
menelengkan wajah pada Viola, tapi tidak dengan satu orang lagi yang bergeming
dengan sosok membelakangi mereka bertiga.
Viola
bertanya-tanya apa yang sedang Melisma lakukan ketika akhirnya kembar ketiga
keluarga itu membalikkan badan. Rambutnya hitam, panjang, dan tebal seperti
biasa namun sekarang dia memiliki poni. Berbeda dengan Ratimeria, poninya tebal
dan mengarah ke tengah dahi.
“Apa
ini?” Melisma bertanya sambil tangannya menunjukkan pada mereka secarik kertas
yang ditulis pulpen bertinta biru. “Dia kena hajar satu kali lalu kabur begitu
saja?”
“Hah?!”
Lagi-lagi Viola terkejut.
“Tunggu
sebentar..” Tiara menyambung menambahkan. “Amarta kabur? Ke mana?”
0 komentar:
Posting Komentar