That Time They were Learning (Orientation)

Selasa, 07 Juli 2015

Suatu hari di pagi hari yang damai kali itu, seseorang menjambak Amarta lalu menyeretnya ke barak belakang sekolah. Berkali-kali dia ditampar kemudian ujung-ujungnya disiram air dalam tong sampah yang penuh berkat hujan deras semalam.

Akhirnya dia meringkuk sendirian di sana karena barak itu sengaja dikunci dari luar. Padahal sebenarnya tidak perlu. Amarta sendiri terlalu malu bertemu dengan siapa pun dalam keadaan menjijikkan seperti itu. Yang bisa dia lakukan hanya menunggu malam datang sehingga dia bisa keluar tanpa siapa pun yang melihat. Barak itu hanya memberinya satu cara untuk keluar, yakni dengan memecahkan jendela. Dan kini kemalangannya bertambah dengan luka sayat di tangan dan kakinya.

Gadis itu berjalan kaki tanpa menumpang apa pun. Badannya gemetaran karena dingin dan dia pun memeluk sendiri tubuhnya meskipun hal itu sama sekali tidak berguna.

Penjaga gerbang rumah kaget dan syok melihatnya datang seperti itu. Buru-buru dia membuka gerbang, tidak lupa bertanya apa yang terjadi.

Amarta hanya menatapnya sekilas. Matanya sembab.

“Pak… tolong jangan bilang siapa-siapa…,” katanya pelan.



Pria itu bingung namun tidak berani memprotes.

Ketika Amarta masuk ke rumah, dia berusaha berjalan mengendap-endap supaya tidak ada orang yang melihat. Keinginannya terkabul karena kehadirannya tidak terdeteksi satupun maid di sana, terlebih Viola.

Satu dari si kembar dengan rambut panjang cokelat terang dan poni miring saat itu sedang mencorat-coret rencana lagu baru yang akan dia ciptakan. Sekilas gadis itu melirik ke arah jam dinding tidak jauh dari tempatnya sekarang. Sudah malam dan sama sekali tidak terdengar suara Amarta seperti biasa ketika dia mengajaknya makan bersama.

Viola sempat bertanya pada orang di sana perihal Amarta yang tidak kunjung pulang meski langit di luar sudah gelap. Lama-lama firasat aneh menjalarinya hingga tidak bisa mengerjakan dengan tenang proyek yang dia rencanakan selama kurang lebih dua bulan.

Berdecap, gadis itu lalu menuruni tangga ke lantai dasar, tepatnya di ruang dapur. Namun ketika sampai ke sana hanya ada dua wanita yang bersliweran memasak dan membersihkan ruang.

“Emm… madam,” panggilnya pada wanita-wanita itu. “Apa Marta sudah pulang?”

Kedua maid tadi saling berpandangan lalu kompak menggeleng.

“Saya nggak lihat dari tadi, Non,” jawab salah satunya.

Viola pun mendesah. Giginya menggigit bibir bawah, heran sekaligus cemas. Tidak biasanya anak satu itu pulang terlambat. Kalaupun iya, dia harusnya menelepon atau mengirim pesan singkat. Viola menyalakan ponsel lagi, memastikan benar-benar tidak ada kabar dari Amarta sejak tadi.

Apa mungkin gadis itu sudah ada di kamarnya? Pikiran itu tiba-tiba terlintas begitu saja. Tapi tidak ada salahnya mengecek—Viola memutuskan. Dia lalu naik lagi ke lantai dua menuju kamar Amarta. Tangannya mengetuk dan tidak ada respon. Namun perasaan aneh menjalarinya hingga akhirnya gadis itu membuka pintu tiba-tiba juga langsung menyalakan lampunya. Ruangan yang awalnya gelap pun menjadi terang benderang. 

Saat itulah mata Viola melebar melihat Amarta duduk meringkuk di atas ranjangnya sambil menatap dirinya ketakutan.

“Marta?” Viola memanggilnya sambil mengernyit namun ekspresi Amarta tidak berubah, badannya pun kaku seolah membeku. 



Pelan-pelan dia mendekat lalu menyadari rambut gadis itu basah. Ketika Viola melihat jam di ponselnya tadi, waktu sudah mendekati larut. Kenapa Amarta baru membasuh tubuhnya saat udara sedang dingin-dinginnya? Gadis itu bahkan tidak membalut rambutnya dengan handuk dan akibatnya air merembes juga ke baju tidurnya. Dia akan masuk angin kalau tidak segera mengeringkan diri.

“Marta,” ulang Viola menyebut namanya. Dia duduk di ranjang gadis itu serta menghadap ke arahnya. “Ada apa? Kenapa jam segini baru mandi? Mau aku keringkan rambutmu?”
Amarta menggeleng kaku.

Pertanyaan dan tawaran tadi hanya basa-basi. Viola tahu betul ada yang salah dengan Amarta. Hanya saja dia merasa tidak bijak langsung menghujaninya dengan pertanyaan yang langsung mengarah pada masalah gadis itu. Beberapa hari ini Amarta memang tampak sedikit murung, meski begitu dia masih dapat menutupinya dengan tawa biasa. Tapi kali ini keceriaannya lenyap tidak bersisa seperti ada seseorang yang sengaja menghancurkannya.

“Kau sudah makan malam? Ayo makan sama-sama.” Viola menarik pergelangan tangan Amarta tapi tiba-tiba sentuhan sekilas itu membuat kembarannya meringis.

Keduanya sama-sama membelalak kaget: Viola dengan kecurigaannya, sedangkan Amarta terkesan menyembunyikan sesuatu yang amat buruk.

Kemudian kali ini tanpa memikirkan tindakan terbaik membujuk orang yang sedang terkena masalah untuk bercerita, Viola lantas menarik paksa kedua tangan Amarta. Gadis itu syok ketika akhirnya melihat kedua telapak tangan kembar bungsunya nyaris tertutup plester yang ditempel asal-asalan.

“Apa ini?” tanya Viola menuntut. “Kau mau cerita atau aku akan mencopotnya paksa?”

Amarta tidak menjawab. Dia menarik tangannya kembali lalu menangis tanpa suara.

Viola frustasi tidak habis pikir. Kesal, gadis itu lalu keluar dari kamar Amarta bahkan tanpa menutup pintu. Jari-jarinya kemudian sibuk mengatur nomor-nomor kontak yang selanjutnya dia masukkan ke dalam aplikasi group call. Langkahnya bergerak cepat menuju taman samping rumahnya. Sesampainya di sana, dia pun melakukan panggilan dengan tiga orang sekaligus.

“Kau gila meneleponku saat rapat sebentar lagi?” Sang Gadis pualam menyambut panggilan dengan protes. Viola tidak menggubrisnya. Paling tidak gadis itu tidak menolak sambungan.

“Ada apa?!” Kali ini si Bocah sembrono dan seringkali nekat waktu melampiaskan emosi yang menanggapi. Suaranya memang keras, namun suara di sekelilingnya juga tidak kalah keras. “Sorry!! AKU SEDANG ADA DI TEMPAT KARAOKE!! GIVE ME A MINUTE, OKAY?!”

“Gendang telingaku seperti akan sobek.” Melisma menggerutu. “Hei, Viol, kau masih di situ kan? Aku cuma punya waktu sembilan menit.”

Just shut your mouth this time, will you?” Viola membalas sambil memijat-mijat pelipis. Beberapa detik kemudian, suara berisik yang berasal dari tempat Tiara berada menghilang. Saat itu juga, satu lagi pemilik kontak yang Viola tunggu menanggapi panggilan.

I’m here..”

“Hei, Vio, kau tidak mengajak Amarta bergabung juga? Atau kalian pakai satu ponsel?” tanya Tiara mulai cerewet.

“Oke, dengar,” kata Viola akhirnya sembari menenangkan emosi yang sebenarnya sudah melonjak-lonjak tidak karuan. “Ini masalah serius, jadi jangan coba-coba mengabaikannya.”

“Salah satu dari kalian tertimpa masalah?” tebak Melisma.

“Semacam itu.” Viola membenarkan. “Tapi bukan aku.”

“Kalau begitu Marta? Kenapa? Waktu masak kompornya meledak?” Kali ini Tiara yang menebak saking paniknya. “Aku sering lihat berita seperti itu di internet.”

“Bukan itu.” Viola menghela napas panjang. “Kalau dugaanku benar, dia dikerjai di sekolahnya. Anak itu murung beberapa hari, dan sekarang badannya luka. Aku tidak bisa biarkan ini diulang.”

“Amarta punya musuh?” ujar Melisma mulai menanggapinya serius. “Orang brengsek macam apa dia?”

“Amarta bagaimana sekarang? Dia baik-baik saja?” tanya Tiara cemas.

“Dia-tidak-baik-baik-saja.” Viola menekankan nada ke satu per satu kata. “Anak itu seperti mayat sekarang. Dia menangis waktu aku mengajaknya makan, kalian tahu? Tangannya terluka semuanya. Bahkan ada luka lecet di kepalanya waktu aku lihat tadi. Lalu aku harus—…!”

“Itu sudah keterlaluan,” komentar Melisma.

“Apa aku harus ke sana? Bagaimana kalau aku ke sana?” Tiara menawarkan diri. “Aku harus melihat keadaannya.”

“Tidak perlu sampai begitu.. aku.. aku hanya bingung harus berbuat apa…”

Hening sesaat. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri yang kurang lebih sebenarnya mengarah pada hal yang sama.

“Aku bisa ke sana,” kata Tiara kemudian. “Aku tidak punya banyak kegiatan akhir-akhir ini selain pemotretan. Kurasa Gladys tidak akan keberatan.”

“Tapi…” Viola akan memprotes tapi Tiara langsung memotong ucapannya.

“Tidak usah memprotes. Jangan pikir karena kita berada di tempat yang berjauhan, aku menganggap persoalan ini hanya angin lalu.”

Viola termenung sesaat. Sebelum akhirnya menjawab dengan perasaan lega, “Thanks, Chrisantee…”

Di seberang sana, Tiara tersenyum lebar.

“Baiklah,” katanya. “Karena teman-temanku masih ada di sini, aku tutup dulu obrolan kita. Tunggulah aku ke sana besok.”

Satu kontak group call mereka berkurang satu. Bunyi ponsel yang tertangkap oleh Viola belum berhenti, jadi obrolan mereka belum berhenti.

“Anak itu pikirannya sederhana sekali,” komentar Melisma bernada sindiran. “Kau tahu aku sibuk kan? Aku harus segera masuk ke ruang rapat.”

Viola menghela napas panjang. “Jadi apa saran yang akan kau berikan padaku?”

Well… percayalah kalau aku punya pikiran yang sama denganmu, mungkin sama juga dengan yang dipikirkan Tiara. Bedanya, aku sama sekali tidak punya niat untuk repot-repot ke sana, apalagi untuk mencari masalah.”

Tepat saat gadis pualam itu menyelesaikan kata-katanya, kontaknya langsung menghilang dari group call. Viola yang tidak tahu harus berkata apa kemudian mengecek lagi layar ponselnya. Hampir saja dia melupakan satu kembarannya lagi yang bergabung tapi dari tadi gadis itu hanya membisu. Mengerutkan kening, Viola pun mencoba memanggilnya.

“Kau masih di situ?”

“Ya..” Dia menjawab singkat dan pelan seperti biasa.

“Kau tidak mau berkomentar?”

“Soal apa?”

Hening lagi. Viola pun mendesis menahan rasa gemasnya. Namun sebelum gadis itu melontarkan kalimatnya dengan gigi yang tertempel rapat, kembarannya lebih dulu berujar.

“Cari dulu sumber apinya…”

“Hah?”

“Apa dia mengatakan sesuatu padamu?”

“Siapa? Oh… Marta? Tidak..,” jawab Viola. “Sama sekali tidak.”

“Kalau begitu jangan gegabah. Cari tahu alasannya dulu di balik itu..”

I beg your pardon! Apa telingamu tidak mendengarku tadi?” Kali ini Viola mulai kesal. “Kuulang sekali lagi, dia terluka! Amarta terluka! Apa pun alasannya, perbuatan orang yang menyebabkannya punya luka-luka seperti itu tidak bisa dibenarkan! Dan kau…” Dia tertawa sekilas. “Dan kau masih meributkan alasannya?”

“Kau sendiri tahu ucapanmu tidak bijak..” Ratimeria berkata tenang. “Apa mau aku ulang paparanmu tadi?” tanya gadis itu mengembalikan sindiran Viola. “Amarta tidak mengatakan apa pun kan?”

“Memangnya kenapa?” Viola menuntutnya tidak sabar. “Bisa saja dia diancam!”

“Bisa saja…” ulang Ratimeria—membenarkan sekaligus menggantung.

Tertawa kecil, Viola kemudian menyindirnya lagi. “I’m sorry to ask… apa kau peduli?”

Jeda. Ratimeria membuat Viola menunggu selama beberapa detik hingga gadis itu mulai meragukannya.

“Apa alasannya aku harus tidak peduli?” Ratimeria balik bertanya. Sebelum Viola mendebatnya lagi, dia menambahkan, “Kau bisa menunggu sebentar lagi sampai rumah itu penuh. Aku takkkan berkata apa pun sampai kalian tahu alasan di baliknya..”

“Alasan apa?!” Sambungan mendadak diputus. “Halo? Hei!!”

***

Dua hari kemudian ketika Viola tidak sengaja tertidur setelah menyelesaikan lembar demi lembar coretan not-not lagu yang hampir semuanya dianggap tidak berguna, gadis itu sontak terbelalak begitu mendengar omelan seseorang di lantai bawah. Kesadarannya berangsur-angsur kembali namun mendadak dipaksa pulih sepenuhnya hanya dalam sedetik saat seseorang lagi berteriak memanggil-manggil namanya. Langkah orang itu pun berderap menaiki tangga.

Viola melonjak. Punggungnya langsung tegak begitu yakin bunyi langkah tadi mengarah ke kamarnya.

“Viola!!” Gadis berambut cokelat terang yang panjang bergelombang itu langsung masuk ke sana mengabaikan etika untuk mengetuk lebih dulu. Dia berlari dan melompat ke atas ranjang. “Di mana Amarta? Dia tidak ada di kamarnya.”



“Apa?” Viola mengernyit kemudian terkesiap. Gadis itu buru-buru merangkak turun dari ranjangnya lalu berlari ke arah kamar yang kira-kira ada di seberangnya. Namun otomatis dia mengerem mendadak tatkala melihat seorang gadis lagi yang juga mirip dengannya juga Tiara baru saja sampai di puncak tangga.

Gadis itu menoleh. Rambut hitamnya tergerai jatuh serta bergerak lembut mengikuti geraknya.

Viola menyipit berusaha mengenali kembarannya satu itu. Gadis yang ada di belakangnya saat ini jelas Tiara—karena tingkah hebohnya tidak berubah dari dulu. Satu-satunya yang berambut hitam di antara mereka adalah si Gadis pualam. Hanya saja Viola menyadari beberapa perbedaan antara sosok Melisma yang dia ingat dulu dengan orang di depannya sekarang. Melisma yang berambut hitam panjang tidak memiliki poni, volumenya pun tebal. Sementara orang di depannya memiliki rambut hitam yang tipis serta memiliki poni rata meskipun tidak seberapa. Ini gawat, pikirnya. Sejak kapan dia jadi kesulitan mengenali kembarannya sendiri walaupun sudah cukup lama mereka tidak bertemu?



Dan lagi… kenapa mata kirinya dibalut perban?

“Itu Meri.” Tiara berbisik dekat telinga Viola. “Dia mengembalikan warna rambutnya yang dulu.”

“Hah?” Viola menoleh ke arahnya.

“Aku juga tadi berpikir dia Meli. Tapi setelah bertemu keduanya, aku jadi tahu mana Meli mana Meri.”

Tidak berminat menggubris dua gadis itu, Ratimeria meneruskan langkahnya memasuki kamar Amarta yang pintunya terbuka. Kamar itu memang awalnya kosong, tapi seseorang telah masuk ke dalam dan sekarang berdiri mematung dekat meja belajar.

“Maksudmu… Meli juga datang ke sini?” tanya Viola benar-benar terkejut.

Tiara mengangguk.

Viola membentuk bibirnya menjadi bundar kemudian memijat-mijat pelipis. Begitu sadar Ratimeria telah menghilang dari pandangannya, gadis itu lalu berjalan cepat sambil pandangannya mencari diikuti Tiara. Dia menoleh ke dalam kamar Amarta dan menemukan ada dua orang di sana.

Ratimeria menelengkan wajah pada Viola, tapi tidak dengan satu orang lagi yang bergeming dengan sosok membelakangi mereka bertiga.

Viola bertanya-tanya apa yang sedang Melisma lakukan ketika akhirnya kembar ketiga keluarga itu membalikkan badan. Rambutnya hitam, panjang, dan tebal seperti biasa namun sekarang dia memiliki poni. Berbeda dengan Ratimeria, poninya tebal dan mengarah ke tengah dahi.



“Apa ini?” Melisma bertanya sambil tangannya menunjukkan pada mereka secarik kertas yang ditulis pulpen bertinta biru. “Dia kena hajar satu kali lalu kabur begitu saja?”

“Hah?!” Lagi-lagi Viola terkejut.

“Tunggu sebentar..” Tiara menyambung menambahkan. “Amarta kabur? Ke mana?”

0 komentar: