That Time They were Learning (Complication 3)

Selasa, 14 Juli 2015



Setelah menghabiskan kira-kira separuh sarapannya serta tidak lupa menghirup aroma blooming tea pagi ini, Ratimeria dijemput oleh seorang laki-laki berotot dengan kepala tanpa rambut. Penjaga gerbang sempat takut kalau orang yang bersinggah itu adalah preman. Tapi ketika laki-laki itu memberikan salam padanya dan bertingkah sopan, kekhawatirannya pun sirna.

Tidak lama kemudian Ratimeria keluar dari pintu utama mengenakan coat cokelat yang membuatnya tampak hangat. Laki-laki itu tersenyum lalu menunduk sekilas, sedangkan Ratimeria memperhatikan dia seksama mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Gadis itu tahu namanya, namun tidak begitu mengenalnya. Dia meminta seseorang mengantarnya ke suatu tempat dengan penjagaan yang benar-benar aman, tapi seseorang itu lalu menyuruh putra sulungnya ke sana.

“Davi?” Nama laki-laki itu dia sebut.

“Ya, saya Davi,” responnya sembari tersenyum merekah. Matanya mengerjap-ngerjap ramah membatin kalau dia amat bersyukur ayahnya tidak menyuruhnya memandu orang yang tua dan aneh. Justru di hadapannya sekarang berdiri gadis berbaju loli yang kira-kira seumuran dengannya. Dia sangat cantik meski ekspresinya datar.

“Kau tidak pergi ke sekolah?” tanya Ratimeria mengingat Viola dan Tiara sudah berangkat sekolah kurang lebih satu jam yang lalu.

“Harusnya begitu. Tapi kata ayah, saya harus menemanimu… em.. Vr—.. maksud saya Nona Vrt—…”

“Meri.” Gadis itu memotong lebih dulu karena sepertinya nama tengahnya tidak mudah untuk Davi sebut. Lebih dulu dia bertanya, “Di mana ayahmu?”

“Beliau di rumah sakit mengantar mama.”

“Ah… Aku harap Sofiana baik-baik saja.”

Davi mengerjap mendengar Ratimeria menyebut nama ibunya tanpa embel-embel apa pun. Dia juga tidak sungkan membuka pintu mobilnya lalu masuk ke sana sebelum Davi sempat melakukannya untuk gadis itu. Beberapa menit yang lalu ayahnya memberi perintah yang cukup sederhana namun berkatnya Davi terus bertanya-tanya dalam hati mengenai siapa gadis itu dan apa hubungannya dengan ayahnya. Ayahnya juga berpesan kalau Davi tidak boleh sampai mengacau di depannya. Dia bahkan memberi instruksi panjang lebar mengenai bagaimana cara memperlakukannya. Davi menebak kalau bentuk perlakuan itu sebagai wujud layanan seseorang pada tuannya. Kemudian Davi menyimpulkan kalau gadis itu pastilah anak bos ayahnya.

Ratimeria hanya memberikan sepucuk kertas yang bertuliskan sebuah alamat. Davi sempat mengernyit bingung namun akhirnya dia mengerti ke mana mereka akan pergi. Perjalanannya sendiri memakan waktu satu setengah jam. Sesampainya di sana yang mereka lihat adalah bangunan kecil dengan papan tulisan Orchid Bakery. Dinding depannya menggunakan kaca.

Gadis itu jauh-jauh datang ke sana untuk membeli roti? Davi tidak habis pikir.

“Tunggulah di sini,” pesan Ratimeria sebelum keluar dari mobil. Davi melihatnya masuk ke sana, kemudian masuk lagi ke ruang yang lebih dalam, tanpa mengamati barisan roti dalam etalase.

***

Viola mengawasi baik-baik pensi yang sekolahnya adakan walaupun untuk merencanakannya mereka hanya diberi waktu dua minggu. Sudah empat pengisi acara yang sudah tampil di panggung. Selama itu pula dia terus-terusan menghela napas panjang. Respon penampilan-penampilannya bukan karena suara penyanyi bagus, permainan musik yang memukau, melainkan karena tingkat populer mereka juga rupa wajah. Viola sebenarnya ingin sekali tampil, tapi usahanya langsung gugur setelah salah seorang guru yang tidak tahu sama sekali mengenai bakatnya langsung menunjuk dia sebagai ketua penanggung jawab.

“Ivan keren banget, ya kan?” komentar Cindy yang berdiri di sebelahnya.

“Tukang Make up-nya pasti rugi bandar,” respon Viola menggumam enggan. Sembari menunggu persiapan penampilan berikutnya, perhatiannya beralih pada daftar pengisi acara. Awalnya tanpa curiga, gadis itu bertanya, “Siapa Seruni?”

Cindy mengedikkan bahu juga menggeleng.

Mungkin dia nekat mendaftar, simpul Viola seenaknya sembari menuliskan sesuatu di salah satu kolom. Mendadak sekelebat pikiran aneh menjalar otaknya. Matanya kemudian beralih lagi pada nama Seruni yang tertera. Bukankah Seruni adalah nama bunga? Mengingat nama tengah masing-masing kembar mewakili bunga tertentu, Viola entah sejak kapan menjadi lebih peka.

Seruni adalah nama lain bunga krisan. Sebutan lain untuk krisan adalah chrysanthemum.

God…” Viola tanpa sadar menggumamkannya.

Tepat saat itulah seorang gadis berpakaian mencolok dalam balutan pakaian hitam naik ke atas panggung. Rambut cokelat terangnya yang panjang telah diatur hingga lemas dan jatuh. Dandanannya tidak berlebihan namun memukau. Dia tampak seperti dancer ditambah boots heels-nya yang memaku latar. Di belakangnya, personil-personil yang semuanya laki-laki telah siap memainkan alat musik mereka.

Baby, I’m preying on you tonight. Hunt you down eat you alive. Just like animals, animals, like animals-mals. Maybe you think that you can hide. I can smell your scent from miles. Just like animals, animals, like animals-mals…

Viola dan Cindy bengong di tempat. Tidak hanya mereka, bahkan semua anak yang mendapati wajah yang mirip dengan Amarta itu begitu memesona walau hanya dalam waktu singkat. Tema tampilannya yang segar sekaligus maskulin bahkan juga disukai oleh murid perempuan.

So what you trying to do to me.
It's like we can't stop we're enemies.
But we get along when I'm inside you.
You're like a drug that's killing me.
I cut you out entirely.
But I get so high when I'm inside you.

“Yeah, you can start over, you can run free.
You can find other fish in the sea.
You can pretend it's meant to be.
But you can't stay away from me.
I can still hear you making that sound.
Taking me down, rolling on the ground.
You can pretend that it was me.
But no.

Tanpa mereka sadari, Daren juga tengah menonton dari lantai dua. Wajahnya masih lebam dan juga penuh plester. Berkat itu dia sempat dipanggil oleh guru perihal penampakannya hari ini. Sekarang laki-laki itu mematung. Tidak perlu berpikir rumit bagi orang lain untuk menebak apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Ekspresinya memenuhi ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama: mata menyorot hanya pada satu orang, senyum perlahan-lahan merekah, dan sekarang dia sedang menahan sesuatu di dadanya—takut kalau jantungnya akan meloncat keluar.

Don't tell no lie-lie-lie-lie
You can't deny-ny-ny-ny
The beast inside-side-side-side
Yeah, yeah, yeah
No, girl, don't lie-lie-lie-lie
You can't deny-ny-ny-ny
The beast inside-side-side-side
Yeah, yeah, yeah.”

(Animals by Maroon 5)

Saat menyanyikannya itulah, pandangan Tiara tidak bisa lepas dari sosok Haven yang berdiri tidak jauh darinya dengan kedua tangan yang menyilang. Sorot mata keduanya sama-sama tidak ramah dan mengancam. Tiara bahkan terang-terangan menyinggungnya dengan lirik lagu yang dia lantunkan.

Malam sebelumnya Melisma memberitahu banyak hal yang menyangkut Amarta pada Tiara. Dalam pembicaraan itu si Gadis pualam seringkali menyebut Haven, bagaimana orang yang dulunya dekat dengan Amarta tapi sekarang justru menganggapnya hama. Yang jelas, Haven pasti punya andil kuat dengan kejadian-kejadian yang menekan Amarta akhir-akhir ini.

Ketika musik lagu yang dibawakan Tiara selesai, derai tepuk tangan riuh langsung ditujukan untuknya. Gadis itu tersenyum manis disambut siulan dari berbagai arah.

Viola juga termasuk anak yang memberinya tepuk tangan—standing applause, dia akui. Selama ini dia tahu Tiara suka bernyanyi bahkan menjadi artis walaupun bukan artis besar. Tapi sungguh, gadis itu luar biasa. Meskipun seringkali menjengkelkan—menurut cerita Gladys, Tiara sebenarnya bukan orang yang suka memendam dendam. Dia suka bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan mereka. Hanya saja sudah sifatnya seperti bumerang. Apa pun yang orang lakukan padanya pasti dibalas, baik atau buruk. Bisa dibilang kembar keempat itulah yang paling bercahaya dibanding yang lain.

Sekarangpun setelah melihat respon anak-anak yang menyaksikan jelas penampilannya, Viola menyadari dan harus mengakui kalau Tiara memang memesona. Berkat gadis itu juga, Amarta pasti akan lebih dikenal baik. Hanya saja Viola tidak tahu apakah hal itu juga berlaku untuk orang yang sengaja membuatnya dalam posisi di bawah tekanan.

***

Gadis itu sedang memasak namun dia juga melamun. Pisau yang dia pegang sedang mengiris-iris jamur. Setelah semua jamur yang dia potong siap, gadis itu lalu memasukkannya ke dalam panci di atas kompor yang menyala. Kemudian sembari menunggu supnya matang, dia mengambil segelas jeruk tidak jauh darinya lalu minum. Saat itu juga dia menoleh ke belakang dan sontak jus jeruk di mulutnya menyembur tiba-tiba.

Amarta terkesiap keras. Gara-gara itu juga dia tersedak.

Orang yang ada di hadapannya sesaat menutup mata begitu menerima cairan jus yang memercik ke wajahnya. Kain yang membalut mata kirinya juga jadi basah. Dia lalu mengambil selembar sapu tangan dari saku coat lalu mengelap bagian yang terkena percikan jus. Seperti biasa matanya menyorot sendu tanpa emosi yang berarti.

Amarta tentu saja terkejut mengapa Ratimeria ada di tempatnya berada sekarang. Namun perlahan-lahan, semakin lama dia menerima tatapan halus gadis itu, matanya mulai berlinang. Beberapa detik setelahnya tangis Amarta pun pecah. Dia langsung menyongsong kembarannya, memberinya pelukan yang erat dengan posisi kakinya yang ditekuk bersujud. Isaknya tumpah di bagian tengah coat Ratimeria.

“Angkat wajahmu. Aku bukan ibu.” Ratimeria berkata. Tangan kirinya tergerak mengusap atas kepala kembaran bungsunya.

Amarta tetap saja menangis. Setidaknya setengah jam kemudian terlewat dengan posisi mereka yang tidak berubah.

Ratimeria menunggu Amarta tenang tanpa bicara sedikit pun. Mereka kemudian beralih ke ruang tengah yang suasananya lebih tenang juga terhindar dari resiko karyawan-karyawan bakery yang suka menguping. Karena di sana tidak tersedia macam-macam teh seperti di dapur rumah, Amarta pun hanya membuatkan teh celup hangat seadanya. Gadis itu diam menunduk menyembunyikan matanya yang sembab. Tadinya dia berharap Ratimeria akan menanyainya duluan, tapi setelah sekian menit terlewat, kembarannya itu belum juga mengucapkan sesuatu.

“Kau pulang ke rumah?” tanya Amarta basa-basi, tapi tidak direspon. “Matamu.. kenapa?”

Ratimeria masih terus memandangnya. Amarta sendiri tahu persis kalau gadis satu itu sungguh peka. Sorot matanya mampu menyibakkan semua tirai yang menutupi jalan pikirannya dari orang lain.

“Karena tidak menyambutmu waktu pulang ke rumah.. aku minta maaf…,” ucap Amarta lagi sambil meremas kedua tangannya yang masih dibalut kain putih.

“Kenapa kau menghindar?” Ratimeria akhirnya bertanya.

Amarta pun mengangkat wajah. Bibirnya bergetar seperti akan menangis lagi.

“Melihat wajahmu sekarang.. aku memperkirakan dua kemungkinan.. Satu, kau diancam..,” ujar gadis manekin. “Kedua.. karena kau layak mendapatkannya..”

Kedua bibir Amarta terkatup rapat. Air matanya menetes lagi. Gadis itu kembali diam menunduk.

“Maaf..,” kata Ratimeria lagi. “Sepertinya waktu seminggu yang kau minta tidak bisa dipenuhi..”

“Maksud..nya?”

“Melisma dan Tiara bahkan sepakat untuk menyamar jadi dirimu..”

“Apa?” Amarta membelalak terkejut. “Meli.. Tiara.. juga pulang? Berarti.. Vio…”

“Karena khawatir..,” jawab Ratimeria menyunggingkan senyuman tipis. “Aku juga khawatir..” Gadis itu bergerak mendekat dengan tangannya terangkat menyeka air mata yang membasahi pipi Amarta. “Lusa.. kembalilah. Lihat apa yang mereka lakukan pada orang yang berbuat jahat padamu..”

“A-apa… apa yang akan mereka lakukan..?” Amarta lagi-lagi terkejut. Kedua tangannya meremas lebih kuat.

Bagi Ratimeria, ekspresi itu jelas lebih dari sekedar rasa penasaran atau terkejut. Itu rona ketakutan. Sekali lagi, bukan pembenaran ketakutan karena diancam. Melainkan ketakutan karena pembalasan dari saudari-saudarinya akan berbalik mengarah pada dirinya.

***

Hari ke lima minggu itu—berkat Melisma yang benar-benar tidak sudi menyamar lagi, Viola dan Tiara tertegun saat tidak sengaja melihat seorang gadis yang mengenakan seragam yang berbeda dengan seragam sekolah mereka, berjalan beriringan dengan dua guru. Mereka agak tidak yakin awalnya. Namun setelah tubuh gadis itu tidak lagi menghadap ke samping, melainkan beralih berjalan mendekat ke tempat mereka berada, keduanya melongo mendapati gadis dengan mata kiri dibalut perban itu ada di sekolah.

“Bukannya dia bilang tidak akan ikut-ikutan?” tanya Viola tanpa menoleh pada Tiara.

“Teknisnya, dia tidak bilang apa pun.” Tiara meralat.

Ratimeria berhenti melangkah, begitu pun dengan dua guru yang mengirinya. Wajah satu pria dan wanita itu tampak sumringah—entah karena apa. Mereka pun memandang Viola dan Tiara bergantian.

“Oh, Viola dan Amarta,” kata si Guru pria. “Saya baru tahu kalian ternyata kembar tiga. Kenapa sebelumnya kalian nggak bilang kalau punya kembaran lagi di Rusia?”

Viola tersenyum hambar.

“Dia pulang baru-baru ini sih, Pak,” katanya. “Tapi… kau jadi murid pindahan?” Pertanyaan tadi ditujukan pada Ratimeria.

“Dia hanya ikut pertukaran pelajar saja,” jawab si Guru wanita. “Dia akan ke kelas IPA 1, berarti kalian sekelas kan?”

“Ah… gitu…”

Ratimeria menoleh ke arah lain sementara mereka berbasa-basi. Sekeliling mereka sepi karena hampir semua murid sedang mengikuti pelajaran di kelas. Viola dan Tiara hanya kebetulan saja ada di luar. Pandangan Ratimeria kemudian terpaku pada sepasang anak yang tengah berada di lantai dua. Dari arah wajah mereka berdua menghadap, Ratimeria menyimpulkan keduanya memandang ke arah dirinya dan kembarannya berada sekarang. Dia ragu dua orang itu mengenali wajahnya yang mirip dengan Viola atau Amarta dari jarak yang lumayan jauh. Kemungkinan besar mereka berdiri di sana, mengawasi baik Viola atau Tiara.

Pandangan tidak suka juga was-was bercampur jadi satu.

Perlahan, Ratimeria pun paham darimana sumber perpecahan itu berasal.


0 komentar: