Untuk Viola.
Tak usah cemas. Aku cuma butuh waktu
sendiri dulu.. setidaknya selama seminggu. Aku juga butuh waktu supaya bisa
cerita padamu. Namun aku pasti akan kembali dan menyelesaikan semuanya. Everything
will be okay…
Love, Amarta.
Surat
itu diletakkan di tengah-tengah meja ruang utama yang biasanya dipakai untuk
belajar dan menonton film. Satu per satu empat kembar bergantian membacanya dan
di sanalah mereka: duduk mengitar dengan ekspresi yang berbeda. Viola dengan
wajah tidak-habis pikir, Melisma yang menyilangkan tangan serta berulang kali
mendecap, Ratimeria yang tenang menghirup aroma teh seperti biasa, dan Tiara
yang berulang kali menghela napas lesu sambil sesekali memasukkan marshmallow ke mulut.
“Jadi
apa yang harus kita lakukan?” tanya Viola sambil menangkupkan kedua tangannya
ke wajah. “Dia jarang pergi ke mana-mana sendirian.. bagaimana kalau kita
mencarinya dulu?”
“Tidak.”
Ratimeria menanggapinya setelah menaruh cangkir teh kembali ke atas meja.
“Biarkan dia.”
“Tapi—…”
“Dia
baik-baik saja..” potong Ratimeria tenang. “Kau bisa percaya padaku..”
“Kau
tahu dia pergi ke mana?” Kali ini Melisma bertanya sembari mengernyit curiga.
Gadis
manekin hanya diam. Mata kanannya berkedip pelan seperti sedang mengantuk.
Pandangannya menyorot kosong tanpa minat.
Viola
yang kemudian teringat lagi akan kain yang membalut mata kiri Ratimeria,
memutuskan untuk bertanya walaupun dia tidak yakin gadis itu akan menjawab
jujur.
“Ada
apa dengan matamu?”
Pertanyaan
itu berhasil mengalihkan tatapan Ratimeria hingga kini dia melirik pada Viola,
namun hanya sekilas saja. Melisma dan Tiara pun bergantian memperhatikan dua
kembaran mereka itu.
“Aku
terpeset lalu menghantam kran waktu di kamar mandi..”
Hening.
Semua orang yang mendengar jawabannya kemudian mengerutkan dahi. Ketiganya lalu
kompak menyimpulkan dalam hati kalau ucapan si Manekin hanya bohong belaka.
Ratimeria
sendiri tidak heran sebab dari awal dia yakin kalau obrolan semacam itu
diangkat dan dia disuruh menjawab, mereka tidak akan percaya saat jawabannya tidak
sesuai dengan dugaan. Mereka hanya akan percaya apabila Ratimeria memberikan
paparan kisah yang dibumbui dengan kejadian tegang dan sifatnya sangat
dramatis.
“Meli
manis sekali.” Giliran Tiara yang bicara, memuji gadis pualam yang nampak
selalu tidak ramah. “Kupikir dulu kau sama sekali tidak suka potongan poni.”
Yang
dikomentari lalu membuang muka sejenak sambil tangan kanannya mengusap-usap
belakang leher. Dalam hati dia menimbang-nimbang apakah harus menceritakan
alasan konyol di balik potongan poninya atau tidak. Melisma tidak pernah suka
memiliki poni karena menurutnya potongan rambut pendek di dahi benar-benar
sangat menganggunya untuk fokus belajar. Gadis itu berdecap sekali sebelum
menjawab terus terang.
“Kira-kira
seminggu yang lalu aku menempelkan beberapa hiasan ke papan kayu. Saat tanganku
penuh lem, aku melupakannya dan mengusap keringat di dahi. Tangan dan rambut
bagian depanku tidak bisa lepas. Tiba-tiba seorang madame menolongku dengan cara mengguntingnya.”
Tiara
dan Viola langsung mengulum tawa. Melisma pun lagi-lagi berdecap sebal.
Buru-buru untuk mengusir suasana yang tidak disenanginya, dia mengalihkan
topik.
“Kalian
tidak sadar kembaran kita hilang satu?” tanyanya sekaligus menegur. Nadanya
naik satu oktaf. Senyum mereka pun berhenti sampai di situ. “Jadi.. kurang
lebih dia akan menghilang sampai seminggu. Apa itu tidak akan mengganggu
pelajarannya?”
“Meskipun
dia bukan siswa terbaik, anak itu rajin. Kegiatannya tidak terlalu banyak..
tapi guru-guru menyukainya. Aku rasa nanti banyak yang tanya alasan kenapa dia
tidak hadir. Apa kita harus buat surat keterangan sakit?” ujar Viola.
“Kalian
kan satu sekolah. Dia tidak cerita apa-apa padamu?” tanya Tiara.
“Kecuali
yang satu ini.” Viola menghela napas panjang. “Aku tahu sahabat baiknya, juga
hafal teman-teman sekelasnya. Dia… padahal aku yakin dia tidak punya musuh.”
“Barangkali
dia benar-benar orang brengsek,” komentar Melisma diikuti pandangan mengernyit
yang lain. “Maksudku orang yang mem-bully-nya.”
Suasana
hening lagi selama beberapa saat.
“Well… kurasa aku tidak punya pilihan
selain mencari tahu pelakunya sendiri..,” ujar Viola memutuskan secara sepihak
sementara tanpa dia ketahui kembarannya yang lain berpikir sebaliknya. “Aku
tahu kalian tidak tenang memikirkan Marta. Carilah dia tanpa sepengetahuannya,
hanya untuk memastikan dia baik-baik saja.”
“Kau
pikir cuma itu yang akan kami lakukan?” Melisma menyemprot. “Itu urusan dia mau
berkeliaran ke mana pun. Aku juga sebenarnya yakin dia baik-baik saja.”
“Kita
bisa sama-sama mencari tahu pelakunya.” Tiara langsung menyimpulkan maksud
Melisma.
Ratimeria
diam-diam melirik tanpa ada niatan menyambung.
“How?” tanya Viola.
“Lupa?”
Tiara tersenyum lebar dengan mata berbinar. “Kita kan kembar.”
***
Ukuran
baju mereka sama. Tiara dan Melisma hanya perlu mengambil beberapa helai
pakaian seragam dari lemari di kamar Amarta lalu memakainya. Hari ini mereka
menentukan giliran siapa yang akan menyamar untuk pertama kalinya. Tiara
mengeluarkan opsi batu, sedangkan Melisma kertas—yang mana yang menanglah yang
dapat giliran pertama. Dari aturannya saja Viola harus akui bahwa dua anak itu
sepertinya antusias sekali melaksanakan kejahatan kecil satu ini.
Melisma
cukup duduk manis dekat cermin rias, lalu Tiara dengan senang hati membuatnya
memiliki air muka yang sama persis dengan wajah keseharian Amarta yang lugu.
Tidak lupa juga gadis itu memakai rambut palsu pendek berwarna cokelat terang.
Tiara menatanya serapi mungkin sehingga orang lain tidak akan cepat menyadari
kalau itu rambut palsu.
Akhirnya
Viola pun berangkat sekolah seperti biasa, hanya kali ini ditemani Amarta palsu
alias Melisma.
“Ini
akan tampak aneh,” gumam Viola sewaktu mereka ada di dalam mobil. “Kau bahkan
tidak tahu nama teman-temannya di sana dan bagaimana cara berbicara dengan
mereka.”
“It’s okay. Aku cukup diam dan bertingkah
murung. Bukannya itu yang dilakukan Amarta kemarin-kemarin?”
Viola
kemudian diam. Bukan karena yakin penyamarannya akan berhasil, tapi sebaliknya
dia bertanya-tanya membayangkan resikonya untuk Amarta kalau apa yang mereka
perbuat justru ketahuan.
Sesampainya
mereka dekat gerbang sekolah, keduanya lalu turun dari pintu belakang yang
berbeda. Viola berjalan beriringan dekat Melisma. Selain sudah kebiasaan
seperti itu, kali ini dia juga menjadi penuntun arah karena si Gadis pualam
tentunya tidak tahu di mana kelas Amarta berada. Mereka menyusuri lorong
sekolah sambil mata Melisma tidak berhenti memandang ke sekeliling. Papan-papan
penanda di masing-masing pintu membuatnya mudah mengetahui kelas apa saja yang
mereka lewati.
“Ini
lorong kelas siswa IPA.” Viola menjelaskan. “Kelasku IPA 1. Kelasmu IPA 3.
Tidak apa-apa kan kalau tidak aku antar?”
Melisma
memandang gadis itu. “Memangnya kau pikir aku akan merengek minta diantar?”
Viola
mendengus. Baiklah, pertanyaan tadi memang bodoh.
“Pokoknya
jangan melakukan sesuatu yang menarik perhatian,” nasihat gadis itu. “Amarta
tidak pernah menonjol di sini selain di klub masak dan juga karena sifat ramah
juga supelnya. Tapi belakangan karena poin kedua mendadak lenyap, maka memang
tidak akan aneh kalau kau hanya bertingkah diam. Kalau ada sesuatu yang mau kau
tanyakan, chat ke nomorku saja.”
Melisma
mengangguk. Dia lalu melangkah ke kelas Amarta di IPA 3 diikuti pandangan
khawatir Viola. Sewaktu dia masuk, anak-anak di kelas itu sebagian besar sibuk
mengobrol. Selain kakinya, Melisma hanya menggerakkan mata memperhatikan satu
per satu penghuni kelas. Setidaknya ada tiga orang yang memperhatikannya
sekarang: seorang gadis dengan sorot mata lembut di meja depan, dan dua orang
lainnya yang duduk di barisan paling belakang. Dilihat dari gerak-gerik
sepasang siswi itu, mereka seperti sedang bergunjing mengenai dirinya.
“Hai,
Marta. Duduk dulu,” kata gadis yang berpandangan lembut padanya tadi.
Melisma
menurut lalu mengambil bangku di sebelahnya. Dia membaca name tag gadis itu bertuliskan Isabel Celeste. Aku harus memanggilnya apa? Melisma membatin bingung. Akhirnya dia
bertaruh dengan memanggil nama depan gadis itu.
“Ya?
Ada apa? Bilang saja ke aku.” Gadis itu meresponnya ramah.
Melisma
langsung menghela napas lega.
“Ah,
tak apa-apa. Selamat pagi,” katanya agak kaku.
Isabel
tersenyum meski nampak sedikit kecewa. Karena selanjutnya Melisma diam saja,
gadis itu akhirnya yang mengutarakan perasaannya duluan.
“Kamu..
belum baikan dengan Haven?”
“Haven?” Melisma menoleh ke arahnya dengan dahi
berkerut. Siapa Haven?
“Ayolah,
Marta… aku sudah berulang kali membujuk Haven.. tapi dia tetap tidak mau
cerita. Dia bilang kalau kamu yang akan cerita padaku. Kalau ada yang bisa
kulakukan, aku pasti bantu.. Aku bingung terombang-ambing begini sementara
kalian teman baikku..”
Maksudnya
sahabat? Isabel dan Haven sahabat Amarta?
“Haven…,”
kata Melisma. “Haven tidak cerita apa-apa?”
“Sama
sekali.” Isabel menggeleng lesu. “Apa dia membuat masalah lagi? Ada apa dengan
kalian berdua? Komplotan Haven paling banyak di sini, kamu tahu kan? Kalau kamu
punya masalah dengan Haven, berarti kamu juga akan punya masalah dengan
komplotannya.. cobalah lagi berbaikan dengannya, hm? Walaupun mungkin Haven
yang cari gara-gara duluan..”
Dalam
hati Melisma tertawa. Hanya karena Haven punya komplotan lantas Amarta yang
harus minta maaf padahal kesalahan bukan ada padanya? Dasar anak-anak konyol.
“Di
mana Haven?” tanya Melisma.
“Dia di
bangku belakang, kamu tidak lihat?”
Melisma
menoleh. Pandangannya langsung bertabrakan dengan dua orang gadis yang tadi
memandangnya tajam. Melisma menyimpulkan, Haven pasti salah satu dari mereka.
Tidak
lama kemudian, guru pelajaran pertama masuk. Seorang wanita yang gemuk dan
pendek juga memakai kacamata bundar yang membuatnya tampak jadi sumber bencana.
Melisma sempat melihat sekilas catatan Amarta semalam dan tahu siapa guru
biologi untuk kelas IPA 3. Dari coretan-coretan Amarta di bagian belakang buku,
Melisma tahu persis kalau dia sama sekali bukan guru yang menyenangkan.
“Pagi,
anak-anak. Minggu lalu saya sudah minta supaya kalian mempelajari Filum Mollusca. Kita akan review kembali apa yang sudah kalian
pelajari…” Guru wanita itu kemudian tersenyum licik bagai iblis yang mencari
buruan.
Pandangannya
kemudian jatuh pada Melisma yang tampak—benar-benar—mengabaikannya. Gadis itu
sedang memandang keluar jendela sembari membatin nanti akan turun hujan atau
tidak. Sang Guru bukannya sentimen pada Amarta. Hanya saja dia gemas dengan
tingkah kikuk dan linglung gadis itu ketika ditanya mengenai materi. Hal itu
membuatnya tidak pernah bosan menunjuk Amarta lalu berkali-kali membuatnya malu
di depan kelas. Sebenarnya guru wanita itu agak heran Amarta berani duduk di
barisan paling depan, padahal biasanya dia duduk di bagian tengah supaya tidak
kelihatan—khususnya pada jam pelajaran biologi.
“Amarta,”
panggil guru itu kemudian.
Mendengar
nama kembarannya disebut, Melisma pun menoleh kemudian menatapnya tenang—bahkan
terkesan enggan.
“Mungkin
untuk pembukaan, kamu bisa sebut dan jelaskan masing-masing kelas Mollusca?”
Hening.
Seisi kelas menutup rapat mulut mereka. Alih-alih membantu, mereka jauh lebih
takut pada harimau Benggala macam guru paruh baya mereka itu. Tanpa Melisma
tahu—tentu saja—dua orang yang ada di barisan paling belakang tersenyum
menertawai kesialan Amarta hari ini.
“Polyplacophora, atau Amphineura, berbentuk bundar dan
simetris. Di rongga mantelnya terdapat insang. Salah satu contohnya seperti Chiton.”
Sang
Guru mengerutkan kening sementara anak-anak lainnya menoleh padanya dengan raut
muka luar biasa heran.
“Gastropoda, atau biasa kita sebut siput
atau keong. Sebagian besar kelas ini memiliki cangkang rumah, spiral atau
terpilin. Bersifat hermaprodit serta bernapas menggunakan paru-paru pada apertura pulminalis… Pelecyphoda atau Bivalvia, merupakan jenis Mollusca
kerang-kerangan. Insang atau brankia
berupa lembaran-lembaran lamel dan
mantelnya menempel pada cangkok. Di tepi cangkok, mantel secara terus-menerus
membentuk bagian cangkok yang baru sehingga
cangkok makin lama makin besar. Salah satu contohnya adalah Maleagrina Margaretifera atau kerang
mutiara…”
Isabel
yang ada di sebelahnya bengong. Saat dia menoleh kembali pada guru mereka,
ekspresinya tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain.
“Kemudian
ada Scaphopoda dengan bentuk seperti
tanduk dengan habitat di lumpur atau pasir. Dan yang terakhir Cephalopoda yang mencakup segala jenis
cumi-cumi dan gurita. Ciri-ciri khasnya adalah memiliki tentakel.”
Setelah
menyelesaikan jawabannya, sang Guru butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya
dapat menanggapi—hanya dengan satu pilihan: pujian.
“Excellent…,” gumamnya pendek kemudian
berdehem lalu melanjutkan materi mereka. Sekalipun guru itu tidak lagi mengusik
Melisma sampai jam pelajaran biologi berakhir hari ini.
***
Setelah
bel istirahat dibunyikan, Melisma yang lapar pergi ke kantin di mana sebelumnya
dia sudah bertanya pada Viola letaknya. Gadis itu hanya membeli sekotak susu
tawar yang selalu dia minum setiap hari. Di situlah keanehan terjadi. Saat dia
sengaja mengambil jalan kembali ke kelas namun memutar, beberapa anak yang
melihatnya seperti sedang berbisik-bisik menggunjing tentangnya.
Pandangan
Melisma lalu menyusuri papan demi papan tulisan identitas kelas di sana. Kelas-kelas
IPS. Dia lantas berpikir, Amarta hanya punya masalah dengan satu anak namun
rasanya seisi sekolah memusuhinya.
Langkahnya
kemudian berhenti ketika menyadari seorang gadis dengan sengaja berdiri di
tengah jalan untuk menghalanginya. Melisma ingat wajah itu. Dia salah satu dari
sepasang anak yang menatap tajam dirinya waktu di kelas. Saat Melisma melangkah
lebih dekat, dia bisa membaca name tag-nya,
Haven Julianis.
“Kayaknya
make up-mu terlalu tebal. Salut juga
ternyata masih tahan setelah dikasih pelajaran seperti kemarin.”
Melisma
terdiam. Jadi dia yang…
Haven
baru saja melangkah hendak melewatinya tapi Melisma buru-buru menahan lengan
gadis itu. Haven tentu saja kaget dan refleks menyentak tangan Melisma kasar. Tepat
saat itulah sebutir telur mentah jatuh lantas menimpa kepala Melisma hingga
isinya yang kental membasahi rambut serta wajahnya.
Sontak
semua anak yang melihat kejadian itu lalu tertawa keras.
0 komentar:
Posting Komentar