That Time They were Learning (Complication)

Kamis, 09 Juli 2015





Untuk Viola.
Tak usah cemas. Aku cuma butuh waktu sendiri dulu.. setidaknya selama seminggu. Aku juga butuh waktu supaya bisa cerita padamu. Namun aku pasti akan kembali dan menyelesaikan semuanya. Everything will be okay
Love, Amarta.


Surat itu diletakkan di tengah-tengah meja ruang utama yang biasanya dipakai untuk belajar dan menonton film. Satu per satu empat kembar bergantian membacanya dan di sanalah mereka: duduk mengitar dengan ekspresi yang berbeda. Viola dengan wajah tidak-habis pikir, Melisma yang menyilangkan tangan serta berulang kali mendecap, Ratimeria yang tenang menghirup aroma teh seperti biasa, dan Tiara yang berulang kali menghela napas lesu sambil sesekali memasukkan marshmallow ke mulut.

“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya Viola sambil menangkupkan kedua tangannya ke wajah. “Dia jarang pergi ke mana-mana sendirian.. bagaimana kalau kita mencarinya dulu?”

“Tidak.” Ratimeria menanggapinya setelah menaruh cangkir teh kembali ke atas meja. “Biarkan dia.”

“Tapi—…”

“Dia baik-baik saja..” potong Ratimeria tenang. “Kau bisa percaya padaku..”

“Kau tahu dia pergi ke mana?” Kali ini Melisma bertanya sembari mengernyit curiga.

Gadis manekin hanya diam. Mata kanannya berkedip pelan seperti sedang mengantuk. Pandangannya menyorot kosong tanpa minat.

Viola yang kemudian teringat lagi akan kain yang membalut mata kiri Ratimeria, memutuskan untuk bertanya walaupun dia tidak yakin gadis itu akan menjawab jujur.

“Ada apa dengan matamu?”

Pertanyaan itu berhasil mengalihkan tatapan Ratimeria hingga kini dia melirik pada Viola, namun hanya sekilas saja. Melisma dan Tiara pun bergantian memperhatikan dua kembaran mereka itu.

“Aku terpeset lalu menghantam kran waktu di kamar mandi..”

Hening. Semua orang yang mendengar jawabannya kemudian mengerutkan dahi. Ketiganya lalu kompak menyimpulkan dalam hati kalau ucapan si Manekin hanya bohong belaka.

Ratimeria sendiri tidak heran sebab dari awal dia yakin kalau obrolan semacam itu diangkat dan dia disuruh menjawab, mereka tidak akan percaya saat jawabannya tidak sesuai dengan dugaan. Mereka hanya akan percaya apabila Ratimeria memberikan paparan kisah yang dibumbui dengan kejadian tegang dan sifatnya sangat dramatis.

“Meli manis sekali.” Giliran Tiara yang bicara, memuji gadis pualam yang nampak selalu tidak ramah. “Kupikir dulu kau sama sekali tidak suka potongan poni.”

Yang dikomentari lalu membuang muka sejenak sambil tangan kanannya mengusap-usap belakang leher. Dalam hati dia menimbang-nimbang apakah harus menceritakan alasan konyol di balik potongan poninya atau tidak. Melisma tidak pernah suka memiliki poni karena menurutnya potongan rambut pendek di dahi benar-benar sangat menganggunya untuk fokus belajar. Gadis itu berdecap sekali sebelum menjawab terus terang.

“Kira-kira seminggu yang lalu aku menempelkan beberapa hiasan ke papan kayu. Saat tanganku penuh lem, aku melupakannya dan mengusap keringat di dahi. Tangan dan rambut bagian depanku tidak bisa lepas. Tiba-tiba seorang madame menolongku dengan cara mengguntingnya.”

Tiara dan Viola langsung mengulum tawa. Melisma pun lagi-lagi berdecap sebal. Buru-buru untuk mengusir suasana yang tidak disenanginya, dia mengalihkan topik.

“Kalian tidak sadar kembaran kita hilang satu?” tanyanya sekaligus menegur. Nadanya naik satu oktaf. Senyum mereka pun berhenti sampai di situ. “Jadi.. kurang lebih dia akan menghilang sampai seminggu. Apa itu tidak akan mengganggu pelajarannya?”

“Meskipun dia bukan siswa terbaik, anak itu rajin. Kegiatannya tidak terlalu banyak.. tapi guru-guru menyukainya. Aku rasa nanti banyak yang tanya alasan kenapa dia tidak hadir. Apa kita harus buat surat keterangan sakit?” ujar Viola.

“Kalian kan satu sekolah. Dia tidak cerita apa-apa padamu?” tanya Tiara.

“Kecuali yang satu ini.” Viola menghela napas panjang. “Aku tahu sahabat baiknya, juga hafal teman-teman sekelasnya. Dia… padahal aku yakin dia tidak punya musuh.”

“Barangkali dia benar-benar orang brengsek,” komentar Melisma diikuti pandangan mengernyit yang lain. “Maksudku orang yang mem-bully-nya.”

Suasana hening lagi selama beberapa saat.

Well… kurasa aku tidak punya pilihan selain mencari tahu pelakunya sendiri..,” ujar Viola memutuskan secara sepihak sementara tanpa dia ketahui kembarannya yang lain berpikir sebaliknya. “Aku tahu kalian tidak tenang memikirkan Marta. Carilah dia tanpa sepengetahuannya, hanya untuk memastikan dia baik-baik saja.”

“Kau pikir cuma itu yang akan kami lakukan?” Melisma menyemprot. “Itu urusan dia mau berkeliaran ke mana pun. Aku juga sebenarnya yakin dia baik-baik saja.”

“Kita bisa sama-sama mencari tahu pelakunya.” Tiara langsung menyimpulkan maksud Melisma.

Ratimeria diam-diam melirik tanpa ada niatan menyambung.

How?” tanya Viola.

“Lupa?” Tiara tersenyum lebar dengan mata berbinar. “Kita kan kembar.”

***

Ukuran baju mereka sama. Tiara dan Melisma hanya perlu mengambil beberapa helai pakaian seragam dari lemari di kamar Amarta lalu memakainya. Hari ini mereka menentukan giliran siapa yang akan menyamar untuk pertama kalinya. Tiara mengeluarkan opsi batu, sedangkan Melisma kertas—yang mana yang menanglah yang dapat giliran pertama. Dari aturannya saja Viola harus akui bahwa dua anak itu sepertinya antusias sekali melaksanakan kejahatan kecil satu ini.

Melisma cukup duduk manis dekat cermin rias, lalu Tiara dengan senang hati membuatnya memiliki air muka yang sama persis dengan wajah keseharian Amarta yang lugu. Tidak lupa juga gadis itu memakai rambut palsu pendek berwarna cokelat terang. Tiara menatanya serapi mungkin sehingga orang lain tidak akan cepat menyadari kalau itu rambut palsu.

Akhirnya Viola pun berangkat sekolah seperti biasa, hanya kali ini ditemani Amarta palsu alias Melisma.

“Ini akan tampak aneh,” gumam Viola sewaktu mereka ada di dalam mobil. “Kau bahkan tidak tahu nama teman-temannya di sana dan bagaimana cara berbicara dengan mereka.”

It’s okay. Aku cukup diam dan bertingkah murung. Bukannya itu yang dilakukan Amarta kemarin-kemarin?”

Viola kemudian diam. Bukan karena yakin penyamarannya akan berhasil, tapi sebaliknya dia bertanya-tanya membayangkan resikonya untuk Amarta kalau apa yang mereka perbuat justru ketahuan.

Sesampainya mereka dekat gerbang sekolah, keduanya lalu turun dari pintu belakang yang berbeda. Viola berjalan beriringan dekat Melisma. Selain sudah kebiasaan seperti itu, kali ini dia juga menjadi penuntun arah karena si Gadis pualam tentunya tidak tahu di mana kelas Amarta berada. Mereka menyusuri lorong sekolah sambil mata Melisma tidak berhenti memandang ke sekeliling. Papan-papan penanda di masing-masing pintu membuatnya mudah mengetahui kelas apa saja yang mereka lewati.

“Ini lorong kelas siswa IPA.” Viola menjelaskan. “Kelasku IPA 1. Kelasmu IPA 3. Tidak apa-apa kan kalau tidak aku antar?”

Melisma memandang gadis itu. “Memangnya kau pikir aku akan merengek minta diantar?”

Viola mendengus. Baiklah, pertanyaan tadi memang bodoh.

“Pokoknya jangan melakukan sesuatu yang menarik perhatian,” nasihat gadis itu. “Amarta tidak pernah menonjol di sini selain di klub masak dan juga karena sifat ramah juga supelnya. Tapi belakangan karena poin kedua mendadak lenyap, maka memang tidak akan aneh kalau kau hanya bertingkah diam. Kalau ada sesuatu yang mau kau tanyakan, chat ke nomorku saja.”

Melisma mengangguk. Dia lalu melangkah ke kelas Amarta di IPA 3 diikuti pandangan khawatir Viola. Sewaktu dia masuk, anak-anak di kelas itu sebagian besar sibuk mengobrol. Selain kakinya, Melisma hanya menggerakkan mata memperhatikan satu per satu penghuni kelas. Setidaknya ada tiga orang yang memperhatikannya sekarang: seorang gadis dengan sorot mata lembut di meja depan, dan dua orang lainnya yang duduk di barisan paling belakang. Dilihat dari gerak-gerik sepasang siswi itu, mereka seperti sedang bergunjing mengenai dirinya.

“Hai, Marta. Duduk dulu,” kata gadis yang berpandangan lembut padanya tadi.

Melisma menurut lalu mengambil bangku di sebelahnya. Dia membaca name tag gadis itu bertuliskan Isabel Celeste. Aku harus memanggilnya apa? Melisma membatin bingung. Akhirnya dia bertaruh dengan memanggil nama depan gadis itu.

“Ya? Ada apa? Bilang saja ke aku.” Gadis itu meresponnya ramah.

Melisma langsung menghela napas lega.

“Ah, tak apa-apa. Selamat pagi,” katanya agak kaku.

Isabel tersenyum meski nampak sedikit kecewa. Karena selanjutnya Melisma diam saja, gadis itu akhirnya yang mengutarakan perasaannya duluan.

“Kamu.. belum baikan dengan Haven?”

“Haven?”  Melisma menoleh ke arahnya dengan dahi berkerut. Siapa Haven?

“Ayolah, Marta… aku sudah berulang kali membujuk Haven.. tapi dia tetap tidak mau cerita. Dia bilang kalau kamu yang akan cerita padaku. Kalau ada yang bisa kulakukan, aku pasti bantu.. Aku bingung terombang-ambing begini sementara kalian teman baikku..”

Maksudnya sahabat? Isabel dan Haven sahabat Amarta?

“Haven…,” kata Melisma. “Haven tidak cerita apa-apa?”

“Sama sekali.” Isabel menggeleng lesu. “Apa dia membuat masalah lagi? Ada apa dengan kalian berdua? Komplotan Haven paling banyak di sini, kamu tahu kan? Kalau kamu punya masalah dengan Haven, berarti kamu juga akan punya masalah dengan komplotannya.. cobalah lagi berbaikan dengannya, hm? Walaupun mungkin Haven yang cari gara-gara duluan..”

Dalam hati Melisma tertawa. Hanya karena Haven punya komplotan lantas Amarta yang harus minta maaf padahal kesalahan bukan ada padanya? Dasar anak-anak konyol.

“Di mana Haven?” tanya Melisma.

“Dia di bangku belakang, kamu tidak lihat?”

Melisma menoleh. Pandangannya langsung bertabrakan dengan dua orang gadis yang tadi memandangnya tajam. Melisma menyimpulkan, Haven pasti salah satu dari mereka.

Tidak lama kemudian, guru pelajaran pertama masuk. Seorang wanita yang gemuk dan pendek juga memakai kacamata bundar yang membuatnya tampak jadi sumber bencana. Melisma sempat melihat sekilas catatan Amarta semalam dan tahu siapa guru biologi untuk kelas IPA 3. Dari coretan-coretan Amarta di bagian belakang buku, Melisma tahu persis kalau dia sama sekali bukan guru yang menyenangkan.

“Pagi, anak-anak. Minggu lalu saya sudah minta supaya kalian mempelajari Filum Mollusca. Kita akan review kembali apa yang sudah kalian pelajari…” Guru wanita itu kemudian tersenyum licik bagai iblis yang mencari buruan.

Pandangannya kemudian jatuh pada Melisma yang tampak—benar-benar—mengabaikannya. Gadis itu sedang memandang keluar jendela sembari membatin nanti akan turun hujan atau tidak. Sang Guru bukannya sentimen pada Amarta. Hanya saja dia gemas dengan tingkah kikuk dan linglung gadis itu ketika ditanya mengenai materi. Hal itu membuatnya tidak pernah bosan menunjuk Amarta lalu berkali-kali membuatnya malu di depan kelas. Sebenarnya guru wanita itu agak heran Amarta berani duduk di barisan paling depan, padahal biasanya dia duduk di bagian tengah supaya tidak kelihatan—khususnya pada jam pelajaran biologi.

“Amarta,” panggil guru itu kemudian.

Mendengar nama kembarannya disebut, Melisma pun menoleh kemudian menatapnya tenang—bahkan terkesan enggan.

“Mungkin untuk pembukaan, kamu bisa sebut dan jelaskan masing-masing kelas Mollusca?”

Hening. Seisi kelas menutup rapat mulut mereka. Alih-alih membantu, mereka jauh lebih takut pada harimau Benggala macam guru paruh baya mereka itu. Tanpa Melisma tahu—tentu saja—dua orang yang ada di barisan paling belakang tersenyum menertawai kesialan Amarta hari ini.

Polyplacophora, atau Amphineura, berbentuk bundar dan simetris. Di rongga mantelnya terdapat insang. Salah satu contohnya seperti Chiton.”

Sang Guru mengerutkan kening sementara anak-anak lainnya menoleh padanya dengan raut muka luar biasa heran.

Gastropoda, atau biasa kita sebut siput atau keong. Sebagian besar kelas ini memiliki cangkang rumah, spiral atau terpilin. Bersifat hermaprodit serta bernapas menggunakan paru-paru pada apertura pulminalisPelecyphoda atau Bivalvia, merupakan jenis Mollusca kerang-kerangan. Insang atau brankia berupa lembaran-lembaran lamel dan mantelnya menempel pada cangkok. Di tepi cangkok, mantel secara terus-menerus membentuk bagian cangkok yang baru sehingga  cangkok makin lama makin besar. Salah satu contohnya adalah Maleagrina Margaretifera atau kerang mutiara…”

Isabel yang ada di sebelahnya bengong. Saat dia menoleh kembali pada guru mereka, ekspresinya tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain.

“Kemudian ada Scaphopoda dengan bentuk seperti tanduk dengan habitat di lumpur atau pasir. Dan yang terakhir Cephalopoda yang mencakup segala jenis cumi-cumi dan gurita. Ciri-ciri khasnya adalah memiliki tentakel.”

Setelah menyelesaikan jawabannya, sang Guru butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya dapat menanggapi—hanya dengan satu pilihan: pujian.

Excellent…,” gumamnya pendek kemudian berdehem lalu melanjutkan materi mereka. Sekalipun guru itu tidak lagi mengusik Melisma sampai jam pelajaran biologi berakhir hari ini.

***

Setelah bel istirahat dibunyikan, Melisma yang lapar pergi ke kantin di mana sebelumnya dia sudah bertanya pada Viola letaknya. Gadis itu hanya membeli sekotak susu tawar yang selalu dia minum setiap hari. Di situlah keanehan terjadi. Saat dia sengaja mengambil jalan kembali ke kelas namun memutar, beberapa anak yang melihatnya seperti sedang berbisik-bisik menggunjing tentangnya.

Pandangan Melisma lalu menyusuri papan demi papan tulisan identitas kelas di sana. Kelas-kelas IPS. Dia lantas berpikir, Amarta hanya punya masalah dengan satu anak namun rasanya seisi sekolah memusuhinya.

Langkahnya kemudian berhenti ketika menyadari seorang gadis dengan sengaja berdiri di tengah jalan untuk menghalanginya. Melisma ingat wajah itu. Dia salah satu dari sepasang anak yang menatap tajam dirinya waktu di kelas. Saat Melisma melangkah lebih dekat, dia bisa membaca name tag-nya, Haven Julianis.

“Kayaknya make up-mu terlalu tebal. Salut juga ternyata masih tahan setelah dikasih pelajaran seperti kemarin.”

Melisma terdiam. Jadi dia yang…

Haven baru saja melangkah hendak melewatinya tapi Melisma buru-buru menahan lengan gadis itu. Haven tentu saja kaget dan refleks menyentak tangan Melisma kasar. Tepat saat itulah sebutir telur mentah jatuh lantas menimpa kepala Melisma hingga isinya yang kental membasahi rambut serta wajahnya.

Sontak semua anak yang melihat kejadian itu lalu tertawa keras.

0 komentar: