That Time They were Learning (Complication 2)

Sabtu, 11 Juli 2015





Aromanya amis. Melisma tidak butuh waktu lama mengenali benda yang menghujam kepalanya. Hanya saja saking terkejutnya dia karena ini adalah kali pertama seseorang berani memperlakukannya secara luar biasa kurang ajar, dia merasa butuh kepastian kalau perbuatan pelakunya sama sekali bukan bermaksud sebagai candaan. Tangan kanannya kemudian terangkat menyentuh ujung kepalanya dan dia merasakan tekstur benda cair yang begitu kental.

Hampir semua anak yang melihat kejadian itu tertawa termasuk Haven. Berkat hal itu, emosinya perlahan-lahan mendidih. Melisma bahkan lupa pada perannya hari ini sebagai Amarta.

Masih dengan wajah syok, Melisma kemudian membalikkan badan lalu melangkah pergi, meninggalkan anak-anak sialan tadi yang masih sibuk dengan tawa mereka.

Haven tadinya mengira gadis itu akan mengunci diri di dalam kamar mandi untuk sesenggukan sambil membersihkan telur di rambut dan bajunya, namun dugaannya meleset. Senyum Haven menghilang saat melihat Melisma ternyata berjalan tanpa ragu menaiki tangga ke lantai dua. Perkiraan Haven selanjutnya hanya satu: gadis itu akan mendatangi anak yang telah melemparnya dengan telur.

Sesampainya Melisma di lantai dua, dia mendapati ada lima orang anak yang sedang tertawa geli. Awalnya mereka tidak menyadari kehadiran Melisma. Begitu jaraknya dekat, mereka baru menoleh tanpa menyembunyikan kesan mengejek. Saat itu sklera mata Melisma memerah. Mereka jelas tahu kalau gadis itu marah, namun mengingat setahu mereka orang yang saat ini berdiri mematung bermandikan telur itu adalah Amarta, mereka sama sekali tidak merasa terancam.

“Siapa yang tadi melemparku dengan telur?” tanya Melisma.

Pertanyaan itu langsung direspon, tapi berupa gelak tawa heboh. Salah satu dari mereka—seorang gadis yang kira-kira sedikit lebih tinggi dari Melisma kemudian berjalan mendekat. Wajahnya menyebalkan.

“Maaf ya,” ucapnya geli. “Telur itu sebenarnya untuk praktek biologi nanti, tapi malah nggak sengaja jatuh.”

“Kau ya?” Melisma mendelik ke arahnya tajam.

“Tuli ya? Aku kan sudah minta ma— AAAAA!!!!”

Gadis itu sontak menjerit karena tiba-tiba Melisma menjambak rambutnya keras. Kroni-kroni gadis itu langsung mencoba melepaskannya, termasuk dua orang laki-laki yang punya perawakan kasar. Tapi sebelum mereka bisa menyentuh Melisma, tubuh dua orang itu bergantian terlempar hingga membentur dinding hanya dengan sekali bantingan. Padahal tangan kirinya masih tetap menjambak gadis menyebalkan tadi.

“Aku ulangi tanyaku baik-baik…,” kata Melisma berbisik dekat telinganya. “Siapa yang melemparku dengan telur?”

Tepat saat gadis itu akan menjawab di tengah kesakitannya, sebatang besi tiba-tiba terlentang di depan Melisma, persis dekat lehernya. Baik Melisma maupun anak-anak lain yang melihatnya langsung membelalak.

Besi hitam dengan setitik tanda di tengahnya, Melisma hafal betul siapa pemiliknya.

“Main-mainnya sudah ya. Yuk masuk ke kelas!” ajak Viola dengan nada ramah yang dibuat-buat.

“Singkirkan ini!”  bentak Melisma.

“Lepasin dia dulu, atau kuseret kau sambil bergantung di tongkat ini.”

Posisi mereka aneh. Anak-anak di sana bengong melihatnya. Melisma masih mengunci rambut gadis yang dia sangka melempar telur padanya sedangkan dia sendiri terkunci dengan sebatang besi kembarannya yang menyerang dari belakang.

Viola tahu itu memalukan. Namun setidaknya itu lebih baik dibanding menyerang Melisma terang-terangan dari depan. Toh Viola juga datang dari arah belakang gadis itu dan dia harus cepat bertindak. Dia menyadari rambut dan sebagian baju Melisma kotor akibat telur, tapi tetap saja kalau gadis itu gegabah dalam mengontrol emosinya, reputasi Amarta akan tercemar. Satu hal lagi: sekali pun, Viola tidak akan pernah menyerang terang-terangan salah satu kembarannya itu, apalagi di saat dia berada dalam tingkat Dan 2 judo baru-baru ini. Terlihat jelas dari caranya memperlakukan dua orang tadi bagaikan melempar bantal.

Padahal Amarta adalah tipe gadis lembut yang tidak suka kekerasan.

Akhirnya Melisma melepaskan jambakannya dari rambut gadis tadi. Viola pun bernapas lega menarik kembali tongkatnya. Tapi sebelum gadis itu mengucapkan sesuatu, Melisma langsung pergi tanpa menoleh. Setelah sosoknya menghilang di balik tembok, pandangan Viola beralih kembali pada anak-anak yang mengusik Melisma.

“Coba kalau kalian berani adukan yang tadi ke guru…” Dia berkata. “Kalian tak akan utuh bahkan sebelum masuk ke rumah.”

Mereka menelan ludah. Seisi sekolah tahu Viola tidak ada bedanya dengan sipir penjara yang bisa menggunakan sebatang tongkat seperti sebilah pisau. Rumor berkembang kalau Viola bahkan disegani oleh ketua organisasi kendo yang berdomisili di sana. Gadis itu memang selalu bersikap lembut, sama seperti adiknya namun tidak ada yang berani cari gara-gara dengannya. Akhir-akhir ini kroni Haven berani memberi pelajaran pada Amarta adalah karena mereka yakin kalau gadis dengan wajah tidak berdosa itu akan menutup mulutnya rapat-rapat.

“Aturan tadi terus akan berlaku kalau kalian masih ganggu Amarta,” tambah Viola dalam peringatannya. Setelah mengatakan itu dia pun pergi. Gadis itu menghela napas panjang tatkala melihat dari balkon, Melisma keluar sekolah setelah membuka gerbangnya dengan kasar.

***

“Apa? Dia dilempar pakai telur?” Tiara yang mendengar langsung dari Viola langsung membelalak kaget. “Aih… pantas waktu sampai tadi ada bau-bau amis..”

“Di mana dia sekarang?” tanya Viola yang duduk di sofa, masih mengenakan seragam.

“Di kamarnya. Tidak keluar sejak tadi.”

“Meri?”

“Minum teh di halaman samping.”

Viola lagi-lagi menghela napas panjang. Tidak ada gunanya mendatangi Melisma sekarang, yang ada dia akan membentak habis-habisan lalu menyinggung kejadian tadi berulang-ulang. Mengingat perbuatannya tadi, Viola tahu benar tabiatnya belum berubah dari yang lalu. Viola juga berani bertaruh dia tidak akan lagi sudi menginjakkan kaki di sekolahnya mengingat untuk pertama kalinya harga dirinya yang super tinggi seperti diinjak-injak hanya karena sebutir telur.

“Omong-omong, Vio… besok giliranku,” kata Tiara lalu tersenyum.

Viola menatapnya. “Kau tahu Melisma sampai dilempar telur tapi masih tetap mau pergi ke sana?”

“Mm!” Tiara mengangguk. “Kau mungkin tidak tahu, tapi aku iri sekali dengan seragam kalian yang manis,” katanya. “Kalau Melisma tidak mau lagi menyamar jadi Amarta, biar aku saja yang gantikan. Tiga hari sudah cukup bagiku untuk memberi anak-anak itu pelajaran..”

***

Jadilah keesokan harinya, sepasang kembar itu berdiri tepat di gerbang sekolah setelah turun dari mobil yang mengantar mereka. Viola yang masih mengingat jelas kejadian kemarin tidak bisa tenang, sementara di sampingnya Tiara tetap ceria seperti biasa.

“Ayo kuantar ke kelasmu..,” kata Viola lalu melangkah ke barisan kelas-kelas IPA.

Sepanjang lorong ketika anak-anak melihatnya, Tiara selalu melemparkan senyum dibalas dengan alis terangkat atau justru kerutan di dahi anak-anak itu. Itu sudah jadi kebiasaannya karena Gladys selalu mengajarkan kalau seorang artis harus selalu terlihat hangat dan ramah—bukan arogan dan menjengkelkan seperti tabiat aslinya.

Tiara masuk ke kelas Amarta diiringi tatapan aneh penghuni kelas. Mereka tentunya sudah mendengar soal kejadian saat Melisma dilempar telur dan apa yang dilakukan gadis itu setelahnya. Ada yang ragu karena mereka tahu Amarta tidak pernah memberitahu kalau dia bisa beladiri, juga ada yang percaya karena biarpun selalu bersikap lembut Amarta masihlah manusia biasa yang bisa marah.

Tiara mengambil tempat duduk yang berada di barisan tengah—karena tentu saja dia suka menjadi pusat perhatian. Melihatnya menempati bangkunya seperti biasa, Haven dan Isabel kemudian menyimpulkan Amarta telah kembali seperti dulu.

Pelajaran pertama Bahasa Indonesia oleh seorang guru pria yang sudah hampir berkepala lima. Setiap jam pelajarannya, anak yang tidak membawa buku teks utama harus keluar kelas dan tidak boleh menerima pelajaran.

“Buka buku teksnya halaman enam puluh sembilan!” instruksi guru itu jelas dan tidak terbantahkan.

Semua anak langsung mengambil buku teks dalam laci mereka lalu membuka halaman yang dimaksud. Tiara juga melakukan hal yang sama, hanya saja dia tertegun mendapati buku teksnya telah tercabik-cabik nyaris seluruhnya, sengaja dirusak menggunakan cutter atau gunting. Dalam hati dia tertawa karena lucu sekaligus sebal.

Guru itu mengernyit saat mengetahui ada satu anak yang justru mematung. Atas mejanya bersih, tidak ada buku teks yang wajib ada dalam pelajarannya.

“Amarta.” Guru itu memanggilnya. “Mana bukumu?”

Tiara diam beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang lalu menjawab dengan senyum manis yang merekah. “Maaf, Pak. Buku saya ketinggalan.”

Hening. Guru itu pun mengerutkan dahi tidak senang.

“Kamu tahu aturannya. Silakan meninggalkan kelas,” katanya tegas.

“Ya, Pak,” tanggap Tiara—masih tetap tersenyum. Dia pun beranjak berdiri lalu melangkah keluar kelas diikuti pandangan aneh yang lain karena dia pergi seolah tanpa beban.

Tiara lalu berjalan-jalan sejenak. Memastikan tidak ada orang lain yang melihat, dia pun menghela napas panjang. Wajahnya menjadi serius mengingat kondisi buku tadi. Benar-benar… Sebenarnya bukan masalah kalau bentuk intimidasi itu ditujukan untuknya. Masalahnya ancaman itu diarahkan pada Amarta yang dibandingkan kembaran Tiara yang lain, dialah yang paling lemah dan seperti tidak pernah mencari-cari masalah dengan orang lain. Kenapa ada yang tega memberinya tekanan seperti ini?

Gadis itu mendesah lesu lagi saat kemudian matanya tidak sengaja menemukan papan mading yang dihias menarik. Karena tidak ada kerjaan, dia pun menghampiri mading itu dan menemukan poster yang menarik di sana.

Pensi dua hari lagi. Pendaftaran masih dibuka untuk yang ingin mengisi acara.

Tiara tersenyum. Tangannya kemudian mengeluarkan ponsel bersarung merah muda dari saku roknya.

***

Saat bel istirahat dibunyikan, gadis itu terperanjat karena telah tertidur di perpustakaan. Dia menguap lalu mengucek matanya sebelum memutuskan untuk pergi ke kantin. Sesampainya di sana tempat itu cukup ramai. Tiara mengedarkan pandangan ke sekeliling namun tidak menemukan sosok Viola. Dia pun mendengus kecewa karena tadinya berniat makan siang dengannya.

Tidak mempedulikan tatapan aneh anak-anak di sana untuknya, Tiara hanya fokus mengambil makanan secukupnya lalu mengambil tempat duduk yang kosong. Satu suap pertama, gadis itu cukup senang rasa makan siang kali itu lumayan. Namun mendadak titik-titik hitam bermunculan pada kuah supnya. Gadis itu mengerutkan kening saat menyadari permukaan supnya kini penuh dengan bangkai semut. Seseorang ternyata menaburinya dari belakang Tiara duduk.

Seorang murid laki-laki.

Tiara menoleh ke arahnya  lalu menatapnya lekat-lekat, memperhatikan tiap detil di wajah anak brengsek itu.

“Kenapa?” Bocah itu tertawa kecil. “Peneliti bilang kalau dalam serangga terkandung banyak protein. Semut termasuk jenis serangga kan?”

Lalu kroni bocah itu tertawa bersamaan.

Tiara pun ikut tertawa. Bahkan dalam emosinya yang saat ini tengah meluap-luap, gadis itu tetap bisa tersenyum manis. Akhirnya dia pun meletakkan kembali sendok dan garpunya lalu mengusap bibir menggunakan tisu. Setelah itu, tanpa banyak tingkah dia meninggalkan kantin diiringi dengan cemoohan para anak pencari gara-gara.

***

“Hah? Bilang apa tadi?” tanya Viola.

Siang esoknya, ketika sudah waktunya pulang, gadis itu terheran mendengar Tiara menolak untuk langsung kembali ke rumah.

“Aku mau mampir ke satu tempat dulu. Pulanglah duluan,” jawab Tiara mengulang niatnya untuk tidak pulang bersama.

“Ke mana?”

“Ada deh.” Gadis itu tersenyum.

Viola awalnya ragu meninggalkan Amarta palsu kali ini sendirian. Tapi begitu dia ingat kalau Tiara merupakan atlet tinju di negara tempatnya tinggal dua tahun ini, kekhawatiran itu pun menghilang.

“Jangan sampai pulang larut,” pesan Viola sebelum masuk ke dalam mobil.

Tiara mengangguk. Saat mobil itu berjalan, dia pun melambaikan tangan tinggi-tinggi. Kemudian setelah sosok mobil hitam itu lenyap, senyumnya juga ikut lenyap. Buru-buru gadis itu berlari ke tempat parkir menuju motor yang sudah lebih dulu dia siapkan. Matanya mencari-cari satu sosok laki-laki. Ketika menemukannya, gadis itu tersenyum lalu memakai helm.

Namanya Daren Renaldi. Berangkat dan pulang sekolah dia menaiki motor. Dia seorang player yang doyan gonta-ganti pacar. Peringkatnya di kelas tidak begitu bagus, sama halnya dengan prestasi non-akademik. Kalau otaknya begitu dangkal, kenapa dia begitu yakin semut punya banyak protein yang bagus untuk manusia? Nutrisi otaknya pasti bersumber dari serangga menjijikkan itu.

Informasi yang Tiara dapat berasal dari teman sekelas Daren yang telah gadis itu suap dengan dua lembar uang lima puluh ribuan.

Segera setelah Daren meninggalkan sekolah, Tiara pun mengikutinya. Gadis itu cukup menunggu mereka lewat di jalan yang agak sepi. Kemudian setelah menemukan area yang tepat, Tiara langsung menendang langsung motor itu hingga terjungkal ke samping. Dia beruntung sekali Daren lewat di jalan di mana sisi kanan kirinya hanya terdapat bangunan tua yang sepertinya tidak dihuni lagi.

Sebelum Daren sempat mengumpat, Tiara lebih dulu melingkarkan sikunya ke leher laki-laki itu dan menyeretnya masuk ke salah satu rumah kosong di sana. Daren pun terbelalak mengenali wajah di balik helm orang yang membuatnya jatuh dari motor.

“Mau apa lo?” tanya Daren selanjutnya dijawab dengan hantaman kepalan tangan Tiara tepat di perutnya. Laki-laki itu pun terbatuk-batuk lalu meringis.

Merasa belum cukup, Tiara lalu meninjunya lagi sebanyak tiga kali di bagian wajah sampai rona wajah laki-laki itu memerah lebam. Dia sempat akan membalas, namun sebagai gantinya Tiara memukulnya lagi di perut.

Daren pun tersungkur. Tiara kemudian mencengkeram kerahnya sehingga tubuh laki-laki itu terpaksa berdiri dengan punggung menekan dinding.

So now you know... what you get if you keep irritating me..,” kata gadis itu berbisik dekat telinganya.

Daren menelan ludah ketika akhirnya menyadari Amarta yang saat ini ada di depannya begitu menakutkan. Bahkan ukuran tubuh mereka tidak sama, namun dia dengan mudah membuat Daren babak belur sekarang.

“Aku hanya akan memberi peringatan satu kali…,” kata Tiara lagi. “Kalau sampai berani ganggu aku, ataupun kembaranku, tulang-tulangmu tidak akan utuh lagi.. Itu juga berlaku kalau kejadian ini sampai kau sebarkan…” Dia tersenyum.

Daren mengangguk, tidak punya pilihan selain menurut. Matanya melebar tatkala Tiara mencium sekilas pipinya.

“Terimakasih,” kata gadis itu lalu berbalik pergi dengan meloncat-loncat riang kembali ke motornya.

0 komentar: