“Aku paham makna kata-kata itu. Tapi..
meskipun tidak bisa jadi sahabat mereka.. kami masih bisa menjadi teman,” kata
Amarta. “Kau dulu pernah bilang kalau kita harus selalu menjaga hubungan baik
kita dengan orang lain. Aku juga akan melakukan hal yang sama.”
“Itu sebabnya kau mencampur sup Isabel
dengan kepiting tanpa memberitahunya meski tahu dia alergi?”
Amarta meremas kedua tangannya—merasa
sangat bersalah.
“Perbuatanku tidak bisa dibenarkan,”
nyatanya tegas. “Membiarkannya melakukan apa yang mereka mau.. juga karena
tidak mengadukannya pada orang lain, bukankah.. orang lain akan menganggap kalau
aku sudah membayarnya?”
Ratimeria menutup mata sejenak sebelum
merespon kalimat itu dengan senyuman samar. Amarta pun menangkap senyuman itu
sebagai tanda pembenaran. Walaupun gadis itu sempat kabur karena tidak tahan,
setidaknya dia telah berbesar hati dan berani menyelesaikan semuanya dengan
sempurna. Mudah mengatakan pada diri sendiri untuk minta maaf, namun diamnya
gadis itu telah menunjukkan segalanya.
“Aku punya permintaan…,” kata Amarta
kemudian.
“Katakan.”
“Biarkan aku mengadakan pesta kecil besok..
di sini.”
“Terserah saja.” Ratimeria memiringkan
kepala. “Rumah ini bukan atas namaku, jadi lakukan apa yang kalian mau.”
“спасибо.
(terimakasih)” Amarta tersenyum lalu segera beranjak dengan berlari-lari kecil
keluar ruangan.
***
Mansion itu punya gedung
olahraga yang jarang sekali dipakai. Tapi mumpung semua kembar ada dalam lokasi
yang sama, tempat itu kemudian ramai dengan suara-suara tawa dan bunyi bola
hijau yang berulang kali memantul berganti arah. Di masing-masing kubu di
lapangan, berdiri Melisma dan Tiara yang menguncir rambut mereka tinggi ke
belakang. Keduanya mengenakan shirt
polos berkerah khusus olahraga dan rok pendek di atas lutut. Tempat sepi itu
pun berubah menjadi arena bermain tenis.
Dalam
satu giliran tiba-tiba Tiara melakukan smash
kilat hingga Melisma refleks berlari lebih cepat menyongsong bola, tapi
yang ada gadis itu terjatuh keras.
Beberapa
pelayan rumah yang menyaksikan langsung heboh dan bertepuk tangan karena
menurut mereka pertandingan kali itu seru, tidak berbeda jauh dengan yang
mereka lihat di televisi.
Melisma
segera bangkit berdiri lalu membenarkan posisi wristband kuningnya yang berwarna sama juga dengan pita di rambut.
Seorang pelayan pria yang kali itu jadi petugas lapangan dadakan kemudian
melemparkan bola hijau padanya. Melisma tidak menunda sedikitpun untuk
menghantamkan bola itu pada Tiara. Mereka pun kembali asyik dengan pertandingan
kali ini.
Amarta
datang tidak lama kemudian diikuti pelayan-pelayan mereka yang mendorong troli
makanan yang telah gadis itu selesai buat. Dia mengarahkan mereka ke meja besar
di samping Ratimeria yang tengah duduk menonton. Cangkir teh Dimbula yang ada
di dekatnya telah kosong dan dingin. Amarta lalu menukarnya dengan cangkir baru
yang telah dihangatkan lebih dulu lalu menuangkan Green Pekoe dari teko merah muda yang cantik. Tidak lupa juga
bungsu itu menyiapkan kesukaan kembar yang lain: segelas besar susu tawar
hangat untuk Melisma, semangkuk besar marshmallow
warna-warni untuk Tiara, dan jus stroberi untuk Viola yang suka semua jenis
buah.
Karena
hari telah menjelang sore dan mereka semua setuju untuk mengadakan pesta kecil-kecilan,
Amarta membuat berbagai macam snack
sore yang hampir seluruhnya manis. Red velvet
cake dan cheesecake yang sudah
dipotong-potong, sekotak penuh macarons,
dan tujuh gelas sherry trifle. Tidak lupa
dia juga menyiapkan bunga segar dalam vas dan sekeranjang salad buah.
Seorang
pelayan datang kemudian membisikkan sesuatu pada Amarta dari jarak yang tidak
begitu dekat. Senyum gadis itu lalu mengembang dan dia pun berlari pergi.
“Mereka
sudah datang,” ujar Viola mendekat pada Ratimeria—dia juga membawa raket dan
mengenakan baju olahraga yang santai.
Tiba-tiba
terdengar bunyi bedebum keras disambut suara heboh lagi para pelayan yang
menonton. Kali ini Tiara yang terjungkal. Bukannya menekan bibir sebal seperti
Melisma tadi, dia justru tertawa terbahak-bahak sembari menyeka keringat di
dahinya. Melisma sendiri menggeleng-geleng dan berkacak pinggang. Gadis itu
lalu menoleh ke arah Viola dan Ratimeria.
“Giliran
siapa?” tanya si Gadis pualam yang sekarang memegangi kedua lututnya.
Viola
menoleh pada Ratimeria. “Kau mau main?”
Ratimeria
balas memandangnya. “Kau menantangku?”
“Hei,
ini cuma tenis. Kenapa bahasamu seperti itu?”
“Tidak
ada yang salah dengan bahasaku. Tanggapanmu yang salah.”
Viola
memutar bola mata lalu pandangannya beralih lagi ke lapangan. Melisma dan Tiara
sepertinya tidak lagi berminat untuk meneruskan pertandingan “santai” mereka.
“Siapa
yang menang tadi?” tanya Viola keras.
“SERI!!”
Melisma dan Tiara menjawab tidak kalah kerasnya.
“Oke,
enyah dari lapangan. Sekarang giliranku dan Meri.”
Meskipun
dari jauh, Melisma dan Tiara sempat berpandangan sekilas sebelum keluar garis
lapangan. Tadinya mereka sama-sama berpikir Viola akan bermain dengan Amarta.
Ratimeria biasanya hanya jadi penonton dan diam di satu sisi sementara pemain
lainnya sibuk berakting. Sebutan manekin sesungguhnya benar adanya karena gadis
itu jarang sekali menggerakkan seluruh tubuh dalam satu waktu—setidaknya itu
yang selama ini mereka lihat. Mendengar kalau dia setuju bermain tenis walau
hanya saat santai saja membuat atmosfer di sekeliling mereka mendadak terasa
aneh.
Viola
kemudian menempati bagian lapangan yang berjarak lebih jauh. Ratimeria
melepaskan cape-nya yang tipis lalu
melangkah masuk dalam arena setelah salah satu pelayan memberinya raket.
Melisma dan Tiara menonton mereka kaku saat menyadari Ratimeria membawa raket
seperti memegang pedang samurai.
Servis
pertama dilakukan oleh Ratimeria. Viola pun bersiap dengan kuda-kudanya. Bola itu
dipukul, memantul sekali kemudian dikembalikan ke arah sebaliknya. Saat itulah,
bola dipukul keras dan tajam ke sisi terjauh dari jangkauan Viola menggunakan pukulan
backhand yang tegas dan kuat. Terkesiap,
Viola berlari namun akibatnya bagian bawah sepatu yang dia kenakan mendadak
terasa sangat licin, membuat gadis itu terjatuh keras.
Melisma
bersiul, berujar pada Tiara, “Itu hasrat pro. Menjengkelkan menyadarinya tidak
pernah lunak pada siapa pun—meski di permainan santai seperti ini.”
Ratimeria
menempelkan kepala raket di belakang lehernya—seperti mengejek walau wajahnya datar
seperti biasa. Viola lalu bangkit berdiri. Padahal baru ronde pertama, namun
napasnya langsung berubah labil. Permainan itu pun diteruskan meski tidak
imbang.
Tidak
lama kemudian datang Amarta yang ceria bersama dengan Haven dan Isabel yang
memenuhi undangan untuk ikut hadir dalam pesta. Mereka sama-sama mengerjap
melihat Viola dan Ratimeria yang sedang beradu di lapangan.
“Kami
sudah lama tidak main tenis. Ini cuma tenis santai saja kok. Kalian boleh main
kalau kalian mau,” kata Amarta. Namun bagi Haven dan Isabel, yang mereka lihat
justru sebaliknya. “Duduk dulu,” katanya lagi lalu memberikan pada mereka
masing-masing segelas sherry trifle.
Bunyi
seseorang jatuh lagi—tentu saja Viola, dan ini sudah yang ketiga kalinya.
“Boleh
aku tanya sesuatu?” tanya Viola sambil menyeka peluh di leher samping.
“Apa?”
“Kapan
tepatnya kau belajar tenis?”
“Aku
mempelajari apa pun yang kulihat.” Ratimeria menjawab sambil mengayun-ayunkan
raket. “Semuanya aku latih waktu malam sebelum tidur.”
Viola
melirik Melisma dan Tiara disambut kedikan bahu.
“Termasuk
karate?” Viola bertanya lagi. Dia pernah mendengar dari salah satu laki-laki
yang pernah mengekor Ratimeria ke mana-mana kalau gadis itu telah mengenakan
sabuk hitam di dogi-nya. Viola tidak
pernah memercayai ucapan itu sampai sesaat lalu sebelum si Manekin
memberitahunya dengan mulutnya sendiri.
Padahal
hampir setiap hari yang Viola lihat, dia selalu bertingkah seperti kucing
malas!
Ratimeria
menjawab pertanyaan tadi dengan anggukan. Viola mendengus kemudian bersiap.
“Ayo
mulai lagi,” katanya.
“Tidak
mau.”
“What?!”
“Aku
tidak mau berkeringat lebih banyak. Tadi aku sudah mandi,” jawab Ratimeria
bernada bosan. Dagunya menunjuk ke arah Haven dan Isabel yang sedang mengobrol
dengan Amarta. “Tamunya sudah datang.”
Amarta
memberikan sepiring kecil red velvet cake
pada Isabel sementara Haven telah menelan segigit macaron ke mulutnya.
“Kamu
nggak bilang kalau punya lebih dari satu kembaran,” kata Isabel memperhatikan
empat kembar yang saling bicara di tepi lapangan.
Amarta
mengerjap. “Aku sudah pernah bilang kalau di keluargaku, kami lima bersaudara.”
“Ya,
tapi kami nggak tahu kalau kalian semua kembar,” respon Haven. “Apalagi
kemarin-kemarin, di antara mereka ada yang menyamar jadi kamu kan?”
Amarta
meringis sembari menyuapkan sesendok sherry
trifle ke mulut.
“Jadi
siapa yang menyamar jadi kamu kemarin-kemarin?” Haven kembali menginterogasi. “Aku
dengar dari Dania, waktu dia melemparmu.. maksudku, kembaranmu dengan telur,
dia langsung dijambak. Juga Kevin dan Willy, tahu kan? Kembaranmu itu juga
melempar mereka sampai terpental ke tembok.”
Mata
Isabel melebar sedangkan Amarta tertegun gugup.
“Oh dan
juga… Daren sepertinya suka padamu,” tambah Haven hingga Amarta tersedak. “Aku
nggak tahu kenapa mukanya babak belur baru-baru ini. Dia seperti baru saja
terjebak tawuran. Anehnya dia cengar-cengir persis idiot. Ah, satu lagi.. waktu
dia menyanyi di pensi kemarin, jelas-jelas kembaranmu tahu kalau aku yang bikin
kamu di-bully.”
“Suaranya
bagus sekali, juga cantik seperti artis.” Isabel mengomentari.
Amarta
bingung memutuskan apakah dia harus memberitahu mereka atau tidak mengenai
Tiara dan Melisma yang bergantian menyamar menjadi dirinya. Namun sebelum dia
selesai mendebat dalam hati, keempat kembarannya telah lebih dulu menghampiri
mereka.
“Hai,
Haven. Hai, Isabel,” sapa Viola dibalas ucapan yang sama. Gadis itu lalu
menggantikan Amarta memperkenalkan kembaran mereka yang lain. Pertama-tama dia
menunjuk gadis berambut ikal cokelat terang yang panjang di sebelahnya. “Kenalkan,
ini Tiara. Dia model, penyanyi, dan aktris, tapi di Singapura. Dia anak yang
lahir keempat.”
“Hai!”
Tiara melambaikan tangan rendah.
“Meskipun
tidak terlalu terkenal,” gumam Melisma pelan yang langsung merusak suasana. Balasannya,
Tiara langsung mendelik tajam ke arah gadis itu.
“Oh
jadi yang…”
“Ya,
dia yang menyanyi waktu di pensi kemarin.” Amarta memotong membenarkan tebakan
Isabel.
“Omong-omong
apa kabarnya Daren?” tanya Tiara. “Aku sempat menghajarnya karena telah
menaburi sup makan siangku dengan semut.”
Haven,
Isabel, dan Amarta langsung saling pandang bergantian. Pernyataan itu sekaligus
menjawab penasaran Haven tadi.
“Kamu
hajar dia?” ulang Haven tidak percaya.
“Tiara
sempat belajar tinju,” kata Amarta memberitahu.
“Ini
Melisma.” Viola buru-buru mengalihkan topik dengan memperkenalkan gadis pualam
di sebelahnya.
Isabel
dan Haven menoleh pada Melisma tapi mereka tidak mendapat ekspresi yang ramah. Gadis
itu tampak enggan dan berulang kali berdehem—entah karena gugup atau justru
kurang suka dengan suasananya.
“Dia
kembar ketiga,” kata Viola kemudian memelankan suaranya saat memberitahu Haven
dan Isabel, “Dania sempat melemparnya dengan telur, lalu… kalian tahu sendiri.”
Gadis itu lalu tertawa hambar diikuti Haven yang perlahan merinding.
Amarta
pun berbisik pada Haven, “Dia jago judo..”
“Dan
yang ini Meri.” Kali ini Viola menyebutkan nama gadis bermata sendu yang duduk
agak jauh.
Mata
kiri Ratimeria masih dibalut kain. Isabel dan Haven memandangnya namun gadis
itu tidak menoleh melainkan dengan tenang menyesap tehnya.
“Dia
kembar kedua,” terang Viola—hanya sebatas itu mendeskripsikan Ratimeria. “Aku
kembar pertama, sedangkan Amarta yang kelima.” Sikap dewasa Viola kemudian
nampak dari caranya bicara. Tidak mengherankan perannya di antara kembar yang
lain adalah si Penyelesai masalah. “Kalian tahu sejak tahu kalau Marta di-bully kemarin-kemarin.. aku yang
khawatir lalu menghubungi yang lain. Aku merasa tidak enak hati secara tidak
langsung meminta saudara-saudara kami yang sibuk ini kembali ke rumah. Dan seperti
yang kalian tahu, ada yang ngotot sampai menyamar jadi Amarta.”
“Maaf,”
ucap Haven dan Isabel bersamaan.
Viola
menggeleng. “Marta juga salah,” balasnya bijak. “Syukurlah kalian sudah baikan.”
Suasana
hening sesaat. Amarta lalu menghidupkannya kembali dengan menaruh piring-piring
kecil red velvet cake atau cheesecake dan segelas sherry trifle di depan masing-masing
mereka. Beberapa tertawa melontarkan gurauan, atau ada juga yang berdecap kesal
karena terus disindir.
Ratimeria
memperhatikan dalam diam kemudian tersenyum samar. Setidaknya mereka tidak
tanya lagi perihal balutan di mata kirinya, meski benar terluka, namun dengan
alasan yang jauh berbeda dengan yang dia sebut dulu. Di depannya contoh perihal
memaafkan telah jelas dibentangkan. Namun dia sendiri tidak yakin suasana
seperti itu juga berlaku untuknya.
Sederhana
sekaligus rumit. Itu saja.
“Forgiveness is a gift you give yourself.” -Tony
Robbins-
0 komentar:
Posting Komentar