That Time They were Learning (Coda)

Sabtu, 18 Juli 2015





“Aku paham makna kata-kata itu. Tapi.. meskipun tidak bisa jadi sahabat mereka.. kami masih bisa menjadi teman,” kata Amarta. “Kau dulu pernah bilang kalau kita harus selalu menjaga hubungan baik kita dengan orang lain. Aku juga akan melakukan hal yang sama.”

“Itu sebabnya kau mencampur sup Isabel dengan kepiting tanpa memberitahunya meski tahu dia alergi?”

Amarta meremas kedua tangannya—merasa sangat bersalah.

“Perbuatanku tidak bisa dibenarkan,” nyatanya tegas. “Membiarkannya melakukan apa yang mereka mau.. juga karena tidak mengadukannya pada orang lain, bukankah.. orang lain akan menganggap kalau aku sudah membayarnya?”

Ratimeria menutup mata sejenak sebelum merespon kalimat itu dengan senyuman samar. Amarta pun menangkap senyuman itu sebagai tanda pembenaran. Walaupun gadis itu sempat kabur karena tidak tahan, setidaknya dia telah berbesar hati dan berani menyelesaikan semuanya dengan sempurna. Mudah mengatakan pada diri sendiri untuk minta maaf, namun diamnya gadis itu telah menunjukkan segalanya.

“Aku punya permintaan…,” kata Amarta kemudian.

“Katakan.”

“Biarkan aku mengadakan pesta kecil besok.. di sini.”

“Terserah saja.” Ratimeria memiringkan kepala. “Rumah ini bukan atas namaku, jadi lakukan apa yang kalian mau.”

спасибо. (terimakasih)” Amarta tersenyum lalu segera beranjak dengan berlari-lari kecil keluar ruangan.

***

Mansion itu punya gedung olahraga yang jarang sekali dipakai. Tapi mumpung semua kembar ada dalam lokasi yang sama, tempat itu kemudian ramai dengan suara-suara tawa dan bunyi bola hijau yang berulang kali memantul berganti arah. Di masing-masing kubu di lapangan, berdiri Melisma dan Tiara yang menguncir rambut mereka tinggi ke belakang. Keduanya mengenakan shirt polos berkerah khusus olahraga dan rok pendek di atas lutut. Tempat sepi itu pun berubah menjadi arena bermain tenis.

Dalam satu giliran tiba-tiba Tiara melakukan smash kilat hingga Melisma refleks berlari lebih cepat menyongsong bola, tapi yang ada gadis itu terjatuh keras.

Beberapa pelayan rumah yang menyaksikan langsung heboh dan bertepuk tangan karena menurut mereka pertandingan kali itu seru, tidak berbeda jauh dengan yang mereka lihat di televisi.

Melisma segera bangkit berdiri lalu membenarkan posisi wristband kuningnya yang berwarna sama juga dengan pita di rambut. Seorang pelayan pria yang kali itu jadi petugas lapangan dadakan kemudian melemparkan bola hijau padanya. Melisma tidak menunda sedikitpun untuk menghantamkan bola itu pada Tiara. Mereka pun kembali asyik dengan pertandingan kali ini.

Amarta datang tidak lama kemudian diikuti pelayan-pelayan mereka yang mendorong troli makanan yang telah gadis itu selesai buat. Dia mengarahkan mereka ke meja besar di samping Ratimeria yang tengah duduk menonton. Cangkir teh Dimbula yang ada di dekatnya telah kosong dan dingin. Amarta lalu menukarnya dengan cangkir baru yang telah dihangatkan lebih dulu lalu menuangkan Green Pekoe dari teko merah muda yang cantik. Tidak lupa juga bungsu itu menyiapkan kesukaan kembar yang lain: segelas besar susu tawar hangat untuk Melisma, semangkuk besar marshmallow warna-warni untuk Tiara, dan jus stroberi untuk Viola yang suka semua jenis buah.

Karena hari telah menjelang sore dan mereka semua setuju untuk mengadakan pesta kecil-kecilan, Amarta membuat berbagai macam snack sore yang hampir seluruhnya manis. Red velvet cake dan cheesecake yang sudah dipotong-potong, sekotak penuh macarons, dan tujuh gelas sherry trifle. Tidak lupa dia juga menyiapkan bunga segar dalam vas dan sekeranjang salad buah.

Seorang pelayan datang kemudian membisikkan sesuatu pada Amarta dari jarak yang tidak begitu dekat. Senyum gadis itu lalu mengembang dan dia pun berlari pergi.

“Mereka sudah datang,” ujar Viola mendekat pada Ratimeria—dia juga membawa raket dan mengenakan baju olahraga yang santai.

Tiba-tiba terdengar bunyi bedebum keras disambut suara heboh lagi para pelayan yang menonton. Kali ini Tiara yang terjungkal. Bukannya menekan bibir sebal seperti Melisma tadi, dia justru tertawa terbahak-bahak sembari menyeka keringat di dahinya. Melisma sendiri menggeleng-geleng dan berkacak pinggang. Gadis itu lalu menoleh ke arah Viola dan Ratimeria.

“Giliran siapa?” tanya si Gadis pualam yang sekarang memegangi kedua lututnya.

Viola menoleh pada Ratimeria. “Kau mau main?”

Ratimeria balas memandangnya. “Kau menantangku?”

“Hei, ini cuma tenis. Kenapa bahasamu seperti itu?”

“Tidak ada yang salah dengan bahasaku. Tanggapanmu yang salah.”

Viola memutar bola mata lalu pandangannya beralih lagi ke lapangan. Melisma dan Tiara sepertinya tidak lagi berminat untuk meneruskan pertandingan “santai” mereka.

“Siapa yang menang tadi?” tanya Viola keras.

“SERI!!” Melisma dan Tiara menjawab tidak kalah kerasnya.

“Oke, enyah dari lapangan. Sekarang giliranku dan Meri.”

Meskipun dari jauh, Melisma dan Tiara sempat berpandangan sekilas sebelum keluar garis lapangan. Tadinya mereka sama-sama berpikir Viola akan bermain dengan Amarta. Ratimeria biasanya hanya jadi penonton dan diam di satu sisi sementara pemain lainnya sibuk berakting. Sebutan manekin sesungguhnya benar adanya karena gadis itu jarang sekali menggerakkan seluruh tubuh dalam satu waktu—setidaknya itu yang selama ini mereka lihat. Mendengar kalau dia setuju bermain tenis walau hanya saat santai saja membuat atmosfer di sekeliling mereka mendadak terasa aneh.

Viola kemudian menempati bagian lapangan yang berjarak lebih jauh. Ratimeria melepaskan cape-nya yang tipis lalu melangkah masuk dalam arena setelah salah satu pelayan memberinya raket. Melisma dan Tiara menonton mereka kaku saat menyadari Ratimeria membawa raket seperti memegang pedang samurai.

Servis pertama dilakukan oleh Ratimeria. Viola pun bersiap dengan kuda-kudanya. Bola itu dipukul, memantul sekali kemudian dikembalikan ke arah sebaliknya. Saat itulah, bola dipukul keras dan tajam ke sisi terjauh dari jangkauan Viola menggunakan pukulan backhand yang tegas dan kuat. Terkesiap, Viola berlari namun akibatnya bagian bawah sepatu yang dia kenakan mendadak terasa sangat licin, membuat gadis itu terjatuh keras.

Melisma bersiul, berujar pada Tiara, “Itu hasrat pro. Menjengkelkan menyadarinya tidak pernah lunak pada siapa pun—meski di permainan santai seperti ini.”

Ratimeria menempelkan kepala raket di belakang lehernya—seperti mengejek walau wajahnya datar seperti biasa. Viola lalu bangkit berdiri. Padahal baru ronde pertama, namun napasnya langsung berubah labil. Permainan itu pun diteruskan meski tidak imbang.

Tidak lama kemudian datang Amarta yang ceria bersama dengan Haven dan Isabel yang memenuhi undangan untuk ikut hadir dalam pesta. Mereka sama-sama mengerjap melihat Viola dan Ratimeria yang sedang beradu di lapangan.

“Kami sudah lama tidak main tenis. Ini cuma tenis santai saja kok. Kalian boleh main kalau kalian mau,” kata Amarta. Namun bagi Haven dan Isabel, yang mereka lihat justru sebaliknya. “Duduk dulu,” katanya lagi lalu memberikan pada mereka masing-masing segelas sherry trifle.

Bunyi seseorang jatuh lagi—tentu saja Viola, dan ini sudah yang ketiga kalinya.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Viola sambil menyeka peluh di leher samping.

“Apa?”

“Kapan tepatnya kau belajar tenis?”

“Aku mempelajari apa pun yang kulihat.” Ratimeria menjawab sambil mengayun-ayunkan raket. “Semuanya aku latih waktu malam sebelum tidur.”

Viola melirik Melisma dan Tiara disambut kedikan bahu.

“Termasuk karate?” Viola bertanya lagi. Dia pernah mendengar dari salah satu laki-laki yang pernah mengekor Ratimeria ke mana-mana kalau gadis itu telah mengenakan sabuk hitam di dogi-nya. Viola tidak pernah memercayai ucapan itu sampai sesaat lalu sebelum si Manekin memberitahunya dengan mulutnya sendiri.

Padahal hampir setiap hari yang Viola lihat, dia selalu bertingkah seperti kucing malas!

Ratimeria menjawab pertanyaan tadi dengan anggukan. Viola mendengus kemudian bersiap.

“Ayo mulai lagi,” katanya.

“Tidak mau.”

What?!”

“Aku tidak mau berkeringat lebih banyak. Tadi aku sudah mandi,” jawab Ratimeria bernada bosan. Dagunya menunjuk ke arah Haven dan Isabel yang sedang mengobrol dengan Amarta. “Tamunya sudah datang.”

Amarta memberikan sepiring kecil red velvet cake pada Isabel sementara Haven telah menelan segigit macaron ke mulutnya. 

“Kamu nggak bilang kalau punya lebih dari satu kembaran,” kata Isabel memperhatikan empat kembar yang saling bicara di tepi lapangan.

Amarta mengerjap. “Aku sudah pernah bilang kalau di keluargaku, kami lima bersaudara.”

“Ya, tapi kami nggak tahu kalau kalian semua kembar,” respon Haven. “Apalagi kemarin-kemarin, di antara mereka ada yang menyamar jadi kamu kan?”

Amarta meringis sembari menyuapkan sesendok sherry trifle ke mulut.

“Jadi siapa yang menyamar jadi kamu kemarin-kemarin?” Haven kembali menginterogasi. “Aku dengar dari Dania, waktu dia melemparmu.. maksudku, kembaranmu dengan telur, dia langsung dijambak. Juga Kevin dan Willy, tahu kan? Kembaranmu itu juga melempar mereka sampai terpental ke tembok.”

Mata Isabel melebar sedangkan Amarta tertegun gugup.

“Oh dan juga… Daren sepertinya suka padamu,” tambah Haven hingga Amarta tersedak. “Aku nggak tahu kenapa mukanya babak belur baru-baru ini. Dia seperti baru saja terjebak tawuran. Anehnya dia cengar-cengir persis idiot. Ah, satu lagi.. waktu dia menyanyi di pensi kemarin, jelas-jelas kembaranmu tahu kalau aku yang bikin kamu di-bully.”

“Suaranya bagus sekali, juga cantik seperti artis.” Isabel mengomentari.

Amarta bingung memutuskan apakah dia harus memberitahu mereka atau tidak mengenai Tiara dan Melisma yang bergantian menyamar menjadi dirinya. Namun sebelum dia selesai mendebat dalam hati, keempat kembarannya telah lebih dulu menghampiri mereka.

“Hai, Haven. Hai, Isabel,” sapa Viola dibalas ucapan yang sama. Gadis itu lalu menggantikan Amarta memperkenalkan kembaran mereka yang lain. Pertama-tama dia menunjuk gadis berambut ikal cokelat terang yang panjang di sebelahnya. “Kenalkan, ini Tiara. Dia model, penyanyi, dan aktris, tapi di Singapura. Dia anak yang lahir keempat.”

“Hai!” Tiara melambaikan tangan rendah.

“Meskipun tidak terlalu terkenal,” gumam Melisma pelan yang langsung merusak suasana. Balasannya, Tiara langsung mendelik tajam ke arah gadis itu.

“Oh jadi yang…”

“Ya, dia yang menyanyi waktu di pensi kemarin.” Amarta memotong membenarkan tebakan Isabel.

“Omong-omong apa kabarnya Daren?” tanya Tiara. “Aku sempat menghajarnya karena telah menaburi sup makan siangku dengan semut.”

Haven, Isabel, dan Amarta langsung saling pandang bergantian. Pernyataan itu sekaligus menjawab penasaran Haven tadi.

“Kamu hajar dia?” ulang Haven tidak percaya.

“Tiara sempat belajar tinju,” kata Amarta memberitahu.

“Ini Melisma.” Viola buru-buru mengalihkan topik dengan memperkenalkan gadis pualam di sebelahnya.

Isabel dan Haven menoleh pada Melisma tapi mereka tidak mendapat ekspresi yang ramah. Gadis itu tampak enggan dan berulang kali berdehem—entah karena gugup atau justru kurang suka dengan suasananya.

“Dia kembar ketiga,” kata Viola kemudian memelankan suaranya saat memberitahu Haven dan Isabel, “Dania sempat melemparnya dengan telur, lalu… kalian tahu sendiri.” Gadis itu lalu tertawa hambar diikuti Haven yang perlahan merinding.

Amarta pun berbisik pada Haven, “Dia jago judo..”

“Dan yang ini Meri.” Kali ini Viola menyebutkan nama gadis bermata sendu yang duduk agak jauh.

Mata kiri Ratimeria masih dibalut kain. Isabel dan Haven memandangnya namun gadis itu tidak menoleh melainkan dengan tenang menyesap tehnya.

“Dia kembar kedua,” terang Viola—hanya sebatas itu mendeskripsikan Ratimeria. “Aku kembar pertama, sedangkan Amarta yang kelima.” Sikap dewasa Viola kemudian nampak dari caranya bicara. Tidak mengherankan perannya di antara kembar yang lain adalah si Penyelesai masalah. “Kalian tahu sejak tahu kalau Marta di-bully kemarin-kemarin.. aku yang khawatir lalu menghubungi yang lain. Aku merasa tidak enak hati secara tidak langsung meminta saudara-saudara kami yang sibuk ini kembali ke rumah. Dan seperti yang kalian tahu, ada yang ngotot sampai menyamar jadi Amarta.”

“Maaf,” ucap Haven dan Isabel bersamaan.

Viola menggeleng. “Marta juga salah,” balasnya bijak. “Syukurlah kalian sudah baikan.”

Suasana hening sesaat. Amarta lalu menghidupkannya kembali dengan menaruh piring-piring kecil red velvet cake atau cheesecake dan segelas sherry trifle di depan masing-masing mereka. Beberapa tertawa melontarkan gurauan, atau ada juga yang berdecap kesal karena terus disindir.

Ratimeria memperhatikan dalam diam kemudian tersenyum samar. Setidaknya mereka tidak tanya lagi perihal balutan di mata kirinya, meski benar terluka, namun dengan alasan yang jauh berbeda dengan yang dia sebut dulu. Di depannya contoh perihal memaafkan telah jelas dibentangkan. Namun dia sendiri tidak yakin suasana seperti itu juga berlaku untuknya.

Sederhana sekaligus rumit. Itu saja.


“Forgiveness is a gift you give yourself.” -Tony Robbins-

0 komentar: