Gadis
itu berjinjit mencoba mengambil obat kumur yang ada di laci gantung dekat kamar
mandi tapi tidak kunjung bisa meraihnya. Menggembungkan pipi, dia pun melayang
sedikit hingga obat kumur dalam botol kecil itu akhirnya berada dalam
genggamannya. Dia lalu meraih tasnya sendiri kemudian mengeluarkan sebuah mug,
sebatang sikat gigi yang masih tersegel, juga bebek karet. Membuka mulut, dia
lalu bercermin, memastikan bagian mana yang harus disikat baik-baik kalau tidak
ingin sisa cokelat yang dimakannya tadi menciptakan karang.
Sesudah
menggosok gigi dan berkumur, dia pun kembali ke kamar. Letaknya ada di lantai
dua. Gadis itu memperhatikan tangga di depannya sekilas lalu melayang naik.
Barulah ketika sampai di lantai puncak, kakinya berpijak lagi di lantai.
Tepat
saat itulah, pintu di belakangnya dibuka. Gadis itu menoleh dan sontak menjerit
sejadi-jadinya sampai-sampai seluruh penghuni rumah merasakan bumi berguncang.
Lupa akan kemampuannya melayang, gadis itupun terjengkang lemas kemudian
berguling menciumi satu per satu anak tangga. Suaranya berkali-kali lipat lebih
keras tatkala dia sampai di lantai dasar. Badannya tengkurap dengan kepala yang
nyaris saja membentur pintu.
Beberapa
detik selanjutnya, pintu itu dibuka. Gadis tadi mengerang lalu mendongak setelah
sadar kalau di depan wajahnya persis, terlihat sepasang kaki.
Seorang
laki-laki berambut keemasan tengah menatapnya heran. Dia lalu jongkok untuk
melihat wajah si Gadis lebih dekat.
“Wajah
baru,” ujarnya. “Kau siapa?”
Gadis
itu bengong sesaat. Ketika kesadarannya kembali, dia buru-buru menegakkan
punggung untuk menyetarakan tinggi mereka.
“Aku
baru di sini. Namaku Lana.”
“Ah,
pindahan ya?” Laki-laki itu tersenyum manis dan ramah. Senyuman itu bahkan
membuat Lana merasa sempat berhenti bernapas. Dia mengulurkan tangannya pada
Lana, mengajak bersalaman. “Aku Snare. Salam kenal.”
Lana
menyambut uluran tangan itu. Dia sedikit terkesiap ketika Snare justru langsung
menarik tangannya hingga di antara mereka tidak ada lagi jarak. Dada Snare
menekan tubuh Lana hingga gadis itu bisa merasakan napas Snare dekat
telinganya.
“Kau harum sekali. Apa golongan darahmu?”
tanya Snare.
“Hah?”
Lana mengangkat alis bingung.
Sedetik
kemudian sebuah sepatu meluncur dari atas dan seketika menghantam kepala Snare.
Lana langsung menarik tubuhnya menjauh. Matanya mengerjap kala melihat Snare
tertawa geli.
“Jus
tomatmu ada di kulkas,” kata suara yang ditangkap Lana. Suara itu terdengar
diiringi langkah kaki seseorang yang menuruni tangga.
Snare
dan Lana lalu berdiri. Lana menoleh ke belakang dan dia refleks membelalakkan
mata serta menutup mulutnya dengan tangan. Orang itulah yang membuatnya serasa
kena serangan jantung tadi. Seseorang yang berwajah putih mengerikan ditambah
sorot matanya yang setajam silet.
Namun
ketika Lana dan orang itu saling berhadapan dengan jarak yang lumayan dekat,
Lana pun dapat bernapas lega. Ternyata dia hanyalah gadis seumurannya yang
sedang memakai masker.
Berbeda
dengan sambutan Snare tadi, gadis itu melengos begitu saja lalu menghilang di
balik dinding kamar mandi.
“Siapa
itu?” tanya Lana pada Snare.
Snare
tersenyum. Alih-alih menjawab, dia memberitahu hal lain, “Kepalamu benjol.”
***
Sore
hari berikutnya, mumpung sekolah mereka masih libur, dua laki-laki dalam asrama
itu mem-booking televisi ruang tengah
untuk bermain game petualangan Silent
Hill. Karena player hanya bisa
satu, kali ini giliran laki-laki berambut jabrik dan bertubuh bagaikan ranting
yang memainkannya.
Keringat
dingin mengucur menganak sungai melewati pelipis hingga meluncur ke leher.
Tangannya bahkan gemetaran, terus bertanya-tanya dalam hati apakah ada mayat
bergerak yang mengikuti di belakangnya, ataukan ada tengkorak terbang yang
ingin menggorok lehernya.
“Laz,
kiri. Kiri kataku!” suruh laki-laki di sebelahnya tidak kalah tegang.
“Bukannya
kanan?” tanya Laz bimbang sekaligus takut.
“Nanti
kalau kanan, kau jalannya ke kuburan! Banyak monster belatungnya!”
“Oh,
oke.. bentar…”
Laz pun
menurut. Dia mengarahkan player
supaya berjalan ke kiri. Tapi kurang
dari semenit selanjutnya, mayat tanpa kepala menghampirinya. Laz pun memekik
sejadi-jadinya sedangkan partner
jahanam yang menjerumuskannya tertawa terbahak-bahak sampai tersedak.
“BERISIK!!!
TOPLES TEPUNGNYA JATUH!!!” teriak Shin membuat dua kaum Adam itu menoleh ke
arah dapur. Mereka mendapati kabut putih pekat menyelimuti udara di sana.
Audin
dan Eva hadir di saat yang salah. Sampai dekat dapur mereka langsung bersin dan
batuk-batuk. Eva menutup hidungnya menggunakan dua jari sedangkan Audin
meniup-niup butir-butir tepung yang berterbangan—semakin ia melakukannya,
semakin hebat bersinnya hingga terdengar bunyi-bunyi aneh di pekarangan.
“Tepung?”
Eva mengernyit memandang ke sekeliling. Mendadak di otaknya lewat secuil ide
brilian. “Coba nyalakan kompor,” sarannya.
“Memang
kalau kompor menyala, tepungnya langsung hilang?” tanya Audin lalu bersin lagi.
Eva
tersenyum meyakinkan pada Shin untuk menyalakan kompor. Ragu, Shin akhirnya
menurut juga. Dia tidak sempat mendengar teriakan seseorang yang buru-buru
menuruni tangga.
“SHIN!!!
JANGAAAANNN!!!!!!”
Cklek!
BLAAAAAAAAAAAAAAARRRR!!!!!
***
“Jadi…
Eero membuat ulah lagi..?” tanya seorang pria dewasa yang bercambang kasar
melihat ruang tengah asrama yang menjadi tanggung jawabnya enam puluh persen
hancur dan penuh warna jelaga.
“Bukan
aku!” sangkal laki-laki yang pria itu sebut namanya dengan keras serta membeo.
“Kau
yakin?” Pria tadi mengangkat alis. Dia lalu beralih memandang para penghuni
perempuan. “Ada apa dengan perempuan-perempuan di sini?” tanyanya melihat Shin,
Audin, Eva, Zein, dan satu lagi gadis berwajah keruh, berpenampilan berantakan.
Sebagian wajah mereka hitam legam dengan rambut yang amburadul.
“Aku
tak tahu, Sir,” jawab Zein polos. “Sir tahu kamarku ada tepat di atas
dapur. Waktu itu aku sedang menyisir bulu Pompom dan tiba-tiba DUARR!!! Aku
terlempar dan menghantam genting sampai hancur. Lihat, kepalaku benjol.”
Shin,
Audin, dan Eva diam. Namun bukan diam karena bingung harus mengadu atau tidak
seperti yang Shin dan Audin lakukan, Eva diam karena dia mati-matian mengulum
senyum.
“Tidak
ada yang mau mengaku?” Mr. Elios kembali bertanya. Pandangannya lalu mengarah
pada si Gadis berwajah keruh yang berdiri paling pinggir dari para gadis itu.
“Ada yang mau kau katakan, Agatha?”
Anak-anak
itu langsung menoleh pada gadis yang namanya disebut Mr. Elios. Gadis itu
berdiri dengan tangan menyilang juga bibir yang terus-terusan menekan. Shin
ingat. Agathalah yang berteriak keras melarangnya menyalakan kompor, tapi
sayang terlambat.
“Ada
iblis di sini,” kata Agatha lalu mendelik pada Eva, sementara gadis pengendali
api itu bermain-main dengan udara yang memenuhi mulutnya hingga pipi gadis itu
mengembung.
“Vampir
maksudmu? Snare?” tanya Mr. Elios lagi. “Atau memang ada vampir di antara murid
pindahan?”
Tidak
ada yang menjawab.
“Kalau
begitu, coba beritahu aku, bagaimana bisa dapurnya meledak?”
“Laz
dan Eero mengagetkanku saat sedang menggeledah tepung,” papar Shin. “Ada yang
bilang tepungnya bisa hilang kalau saya menyalakan kompor. Agatha sampai
terjungkal dari tangga untuk menghentikan saya, tapi…”
“DUARR!!
Just like that!” sambung Zein lalu
terkekeh.
“Ah…
tepung..,” gumam Mr. Elios mengangguk-angguk. “Itu pasti tepung kualitas baik
dengan butiran yang sangat kecil dan lebih ringan dari debu…”
“Ya,”
tambah Agatha. “Orang idiot macam apa yang tidak tahu soal kejadian pabrik
tepung meledak di Minnesota?”
Shin
menelan ludah dan memutar bola mata.
Setelah
berdecap, Agatha beranjak pergi setelah melemparkan pandangan tajam lagi pada
Eva yang justru membalasnya dengan seulas senyum licik.
Mr.
Elios menghela napas panjang, menyimpulkan kejadian itu sebagai kecelakaan yang
tidak disengaja. Tatapannya lalu beralih pada Audin.
“Aku
bisa mengandalkanmu kan?” katanya.
“Yes, Sir,” jawab Audin sembari
tersenyum.
Zein
dan Shin saling berpandangan. Tahu-tahu, sebagian tanah di sekeliling mereka
bergerak masuk ke dalam asrama.
***
Beruntung
ketika saat kejadian, Snare sedang tidak ada di asrama. Laki-laki itu sedang
berjalan-jalan di tengah kota ketika hari beranjak malam. Dia melihat seorang
wanita yang tampak resah menunggu di depan sebuah gedung bioskop. Wanita dewasa
yang penuh aroma parfum yang menyegarkan. Snare punya penciuman yang amat tajam
meskipun posisinya lumayan jauh dari wanita itu.
“Menunggu
seseorang?” tanya Snare saat mendekati wanita tadi.
“Eh?
I-iya..,” jawab wanita itu ragu-ragu sekaligus terpesona melihat wajah Snare
yang begitu tampan dan berpenampilan amat maskulin. Muda namun menggoda.
“Mungkin
dia takkan datang,” kata Snare. “Bagaimana kalau kutemani saja?”
Sang
Wanita tampak tak bisa berkata apa pun untuk menolaknya.
Snare
tersenyum lalu menggumam pelan, “Aku selalu terpesona pada gadis bergolongan
darah A…”
0 komentar:
Posting Komentar