Welcome to Disaster Maker Club (2)

Selasa, 17 November 2015



Gadis itu berjinjit mencoba mengambil obat kumur yang ada di laci gantung dekat kamar mandi tapi tidak kunjung bisa meraihnya. Menggembungkan pipi, dia pun melayang sedikit hingga obat kumur dalam botol kecil itu akhirnya berada dalam genggamannya. Dia lalu meraih tasnya sendiri kemudian mengeluarkan sebuah mug, sebatang sikat gigi yang masih tersegel, juga bebek karet. Membuka mulut, dia lalu bercermin, memastikan bagian mana yang harus disikat baik-baik kalau tidak ingin sisa cokelat yang dimakannya tadi menciptakan karang.

Sesudah menggosok gigi dan berkumur, dia pun kembali ke kamar. Letaknya ada di lantai dua. Gadis itu memperhatikan tangga di depannya sekilas lalu melayang naik. Barulah ketika sampai di lantai puncak, kakinya berpijak lagi di lantai.

Tepat saat itulah, pintu di belakangnya dibuka. Gadis itu menoleh dan sontak menjerit sejadi-jadinya sampai-sampai seluruh penghuni rumah merasakan bumi berguncang. Lupa akan kemampuannya melayang, gadis itupun terjengkang lemas kemudian berguling menciumi satu per satu anak tangga. Suaranya berkali-kali lipat lebih keras tatkala dia sampai di lantai dasar. Badannya tengkurap dengan kepala yang nyaris saja membentur pintu.

Beberapa detik selanjutnya, pintu itu dibuka. Gadis tadi mengerang lalu mendongak setelah sadar kalau di depan wajahnya persis, terlihat sepasang kaki.

Seorang laki-laki berambut keemasan tengah menatapnya heran. Dia lalu jongkok untuk melihat wajah si Gadis lebih dekat.

“Wajah baru,” ujarnya. “Kau siapa?”

Gadis itu bengong sesaat. Ketika kesadarannya kembali, dia buru-buru menegakkan punggung untuk menyetarakan tinggi mereka.

“Aku baru di sini. Namaku Lana.”

“Ah, pindahan ya?” Laki-laki itu tersenyum manis dan ramah. Senyuman itu bahkan membuat Lana merasa sempat berhenti bernapas. Dia mengulurkan tangannya pada Lana, mengajak bersalaman. “Aku Snare. Salam kenal.”

Lana menyambut uluran tangan itu. Dia sedikit terkesiap ketika Snare justru langsung menarik tangannya hingga di antara mereka tidak ada lagi jarak. Dada Snare menekan tubuh Lana hingga gadis itu bisa merasakan napas Snare dekat telinganya.

“Kau harum sekali. Apa golongan darahmu?” tanya Snare.

“Hah?” Lana mengangkat alis bingung.

Sedetik kemudian sebuah sepatu meluncur dari atas dan seketika menghantam kepala Snare. Lana langsung menarik tubuhnya menjauh. Matanya mengerjap kala melihat Snare tertawa geli.

“Jus tomatmu ada di kulkas,” kata suara yang ditangkap Lana. Suara itu terdengar diiringi langkah kaki seseorang yang menuruni tangga.

Snare dan Lana lalu berdiri. Lana menoleh ke belakang dan dia refleks membelalakkan mata serta menutup mulutnya dengan tangan. Orang itulah yang membuatnya serasa kena serangan jantung tadi. Seseorang yang berwajah putih mengerikan ditambah sorot matanya yang setajam silet.

Namun ketika Lana dan orang itu saling berhadapan dengan jarak yang lumayan dekat, Lana pun dapat bernapas lega. Ternyata dia hanyalah gadis seumurannya yang sedang memakai masker.

Berbeda dengan sambutan Snare tadi, gadis itu melengos begitu saja lalu menghilang di balik dinding kamar mandi.

“Siapa itu?” tanya Lana pada Snare.

Snare tersenyum. Alih-alih menjawab, dia memberitahu hal lain, “Kepalamu benjol.”

***

Sore hari berikutnya, mumpung sekolah mereka masih libur, dua laki-laki dalam asrama itu mem-booking televisi ruang tengah untuk bermain game petualangan Silent Hill. Karena player hanya bisa satu, kali ini giliran laki-laki berambut jabrik dan bertubuh bagaikan ranting yang memainkannya.

Keringat dingin mengucur menganak sungai melewati pelipis hingga meluncur ke leher. Tangannya bahkan gemetaran, terus bertanya-tanya dalam hati apakah ada mayat bergerak yang mengikuti di belakangnya, ataukan ada tengkorak terbang yang ingin menggorok lehernya.

“Laz, kiri. Kiri kataku!” suruh laki-laki di sebelahnya tidak kalah tegang.

“Bukannya kanan?” tanya Laz bimbang sekaligus takut.

“Nanti kalau kanan, kau jalannya ke kuburan! Banyak monster belatungnya!”

“Oh, oke.. bentar…”

Laz pun menurut. Dia mengarahkan player supaya berjalan ke kiri.  Tapi kurang dari semenit selanjutnya, mayat tanpa kepala menghampirinya. Laz pun memekik sejadi-jadinya sedangkan partner jahanam yang menjerumuskannya tertawa terbahak-bahak sampai tersedak.

“BERISIK!!! TOPLES TEPUNGNYA JATUH!!!” teriak Shin membuat dua kaum Adam itu menoleh ke arah dapur. Mereka mendapati kabut putih pekat menyelimuti udara di sana.

Audin dan Eva hadir di saat yang salah. Sampai dekat dapur mereka langsung bersin dan batuk-batuk. Eva menutup hidungnya menggunakan dua jari sedangkan Audin meniup-niup butir-butir tepung yang berterbangan—semakin ia melakukannya, semakin hebat bersinnya hingga terdengar bunyi-bunyi aneh di pekarangan.

“Tepung?” Eva mengernyit memandang ke sekeliling. Mendadak di otaknya lewat secuil ide brilian. “Coba nyalakan kompor,” sarannya.

“Memang kalau kompor menyala, tepungnya langsung hilang?” tanya Audin lalu bersin lagi.

Eva tersenyum meyakinkan pada Shin untuk menyalakan kompor. Ragu, Shin akhirnya menurut juga. Dia tidak sempat mendengar teriakan seseorang yang buru-buru menuruni tangga.

“SHIN!!! JANGAAAANNN!!!!!!”

Cklek! BLAAAAAAAAAAAAAAARRRR!!!!!

***

“Jadi… Eero membuat ulah lagi..?” tanya seorang pria dewasa yang bercambang kasar melihat ruang tengah asrama yang menjadi tanggung jawabnya enam puluh persen hancur dan penuh warna jelaga.

“Bukan aku!” sangkal laki-laki yang pria itu sebut namanya dengan keras serta membeo.

“Kau yakin?” Pria tadi mengangkat alis. Dia lalu beralih memandang para penghuni perempuan. “Ada apa dengan perempuan-perempuan di sini?” tanyanya melihat Shin, Audin, Eva, Zein, dan satu lagi gadis berwajah keruh, berpenampilan berantakan. Sebagian wajah mereka hitam legam dengan rambut yang amburadul.

“Aku tak tahu, Sir,” jawab Zein polos. “Sir tahu kamarku ada tepat di atas dapur. Waktu itu aku sedang menyisir bulu Pompom dan tiba-tiba DUARR!!! Aku terlempar dan menghantam genting sampai hancur. Lihat, kepalaku benjol.”

Shin, Audin, dan Eva diam. Namun bukan diam karena bingung harus mengadu atau tidak seperti yang Shin dan Audin lakukan, Eva diam karena dia mati-matian mengulum senyum.

“Tidak ada yang mau mengaku?” Mr. Elios kembali bertanya. Pandangannya lalu mengarah pada si Gadis berwajah keruh yang berdiri paling pinggir dari para gadis itu. “Ada yang mau kau katakan, Agatha?”

Anak-anak itu langsung menoleh pada gadis yang namanya disebut Mr. Elios. Gadis itu berdiri dengan tangan menyilang juga bibir yang terus-terusan menekan. Shin ingat. Agathalah yang berteriak keras melarangnya menyalakan kompor, tapi sayang terlambat.

“Ada iblis di sini,” kata Agatha lalu mendelik pada Eva, sementara gadis pengendali api itu bermain-main dengan udara yang memenuhi mulutnya hingga pipi gadis itu mengembung.

“Vampir maksudmu? Snare?” tanya Mr. Elios lagi. “Atau memang ada vampir di antara murid pindahan?”

Tidak ada yang menjawab.

“Kalau begitu, coba beritahu aku, bagaimana bisa dapurnya meledak?”

“Laz dan Eero mengagetkanku saat sedang menggeledah tepung,” papar Shin. “Ada yang bilang tepungnya bisa hilang kalau saya menyalakan kompor. Agatha sampai terjungkal dari tangga untuk menghentikan saya, tapi…”

“DUARR!! Just like that!” sambung Zein lalu terkekeh.

“Ah… tepung..,” gumam Mr. Elios mengangguk-angguk. “Itu pasti tepung kualitas baik dengan butiran yang sangat kecil dan lebih ringan dari debu…”

“Ya,” tambah Agatha. “Orang idiot macam apa yang tidak tahu soal kejadian pabrik tepung meledak di Minnesota?”

Shin menelan ludah dan memutar bola mata.

Setelah berdecap, Agatha beranjak pergi setelah melemparkan pandangan tajam lagi pada Eva yang justru membalasnya dengan seulas senyum licik.

Mr. Elios menghela napas panjang, menyimpulkan kejadian itu sebagai kecelakaan yang tidak disengaja. Tatapannya lalu beralih pada Audin.

“Aku bisa mengandalkanmu kan?” katanya.

Yes, Sir,” jawab Audin sembari tersenyum.

Zein dan Shin saling berpandangan. Tahu-tahu, sebagian tanah di sekeliling mereka bergerak masuk ke dalam asrama.

***

Beruntung ketika saat kejadian, Snare sedang tidak ada di asrama. Laki-laki itu sedang berjalan-jalan di tengah kota ketika hari beranjak malam. Dia melihat seorang wanita yang tampak resah menunggu di depan sebuah gedung bioskop. Wanita dewasa yang penuh aroma parfum yang menyegarkan. Snare punya penciuman yang amat tajam meskipun posisinya lumayan jauh dari wanita itu.

“Menunggu seseorang?” tanya Snare saat mendekati wanita tadi.

“Eh? I-iya..,” jawab wanita itu ragu-ragu sekaligus terpesona melihat wajah Snare yang begitu tampan dan berpenampilan amat maskulin. Muda namun menggoda.

“Mungkin dia takkan datang,” kata Snare. “Bagaimana kalau kutemani saja?”

Sang Wanita tampak tak bisa berkata apa pun untuk menolaknya.

Snare tersenyum lalu menggumam pelan, “Aku selalu terpesona pada gadis bergolongan darah A…”

0 komentar: