Welcome to Disaster Maker Club (3): Girl on the Bridge

Selasa, 17 November 2015



Laz sedang ada dalam minimarket yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari asrama. Dia menenteng keranjang belanja plastik merah lalu seenaknya mengambil minuman-minuman manis serta tidak lupa berbagai macam cemilan. Tingkahnya mengabaikan pandangan mengawasi dan enggan dari kasir yang juga merangkap sebagai pemilik minimarket tersebut. Laz memang pelanggan setia di sana, namun ada satu hal yang membuat laki-laki itu kurang disukai.

Kelvin—nama pria berumur empat puluhan, si Penjaga minimarket lalu memandang Laz penuh arti ketika anak itu menaruh keranjang belanjaannya di atas meja kasir. Berdehem, dia pun mulai menghitung makanan ringan dan minuman yang Laz ambil.

“Delapan puluh tujuh ribu delapan ratus..,” kata Kelvin datar.

Dan sesuai dugaannya, Laz pun mengeluarkan dompet spesialnya dari saku dalam jaket. Bukan dompet tipis yang umumnya dimiliki orang lain, dompet yang Laz punyai lebih cocok dikatakan kantung lusuh yang selama ada di tangannya tidak pernah dicuci. Di dalam kantung itu, Laz tidak pernah mempunyai lembaran uang kertas, melainkan ratusan keping uang logam.

Laz tersenyum pada Kelvin yang memandangnya lesu. Memang berkat Laz, Kelvin tidak pernah kekurangan uang receh. Tapi setiap anak itu datang, mereka harus menunggu puluhan uang logam itu dihitung, baru urusan mereka selesai. Dan tiap transaksi yang mereka lakukan, tidak pernah sekalipun Laz tidak membayar dengan uang pas.

“Mari kita hitung sampai delapan puluh tujuh!” tandas Laz semangat diiringi berisik bunyi logam yang berjatuhan ke meja aluminium.

***

Zein selalu jogging di sore hari minimal tiga kilometer dia lalui. Dia selalu riang tatkala melihat beberapa anjing yang juga berlari menemani majikannya, atau kucing yang digendong lembut, juga kadang beberapa burung yang langsung bertengger di dahan pohon untuk berkicau. Gadis itu berhenti sebentar saat sampai di tengah jembatan lalu minum air mineral dalam botol yang dia bawa. Tiba-tiba seekor welsh corgi mendatanginya sambil menyalak keras.

“Hai!” balas Zein lalu berjongkok menyentuhnya. Ketika menangkupkan kedua tangannya ke kepala anjing itu, raut wajah Zein berubah.

Seorang gadis.. berseragam sekolahnya.. selalu mematung di pinggir jembatan ketika siang hari…

“Nak, kau tak apa-apa?” tanya wanita paruh baya yang memegang tali pengait leher anjing tadi.

“Ah, maaf!” Zein buru-buru melepaskan kepala si Welsh Corgi yang cantik. “Dia sehat sekali. Siapa namanya?”

“Anya,” kata wanita itu mengangguk-angguk dan tersenyum lalu pergi.

Wajah Zein lagi-lagi keruh. Sepertinya karena hampir setiap hari diajak jalan-jalan oleh majikannya, Anya selalu merekam apa yang ada di jembatan itu. Sesosok gadis yang ada dalam ingatan Anya tampak lebih mencolok karena dia sering melihatnya. Orang yang berlalu-lalang mungkin tidak terlalu memperhatikannya, namun Anya lebih peka. Anjing itu bahkan seringkali melihat garis kemilau menghiasi pipi si Gadis.

Siapa? Zein bertanya dalam hati. Dia tidak begitu mengingat satu per satu teman sekolahnya yang berjumlah ratusan hingga tidak merasa kenal akan wajah gadis itu. Tapi jujur, sorot mata gadis itu yang direkam Anya cukup membuat Zein khawatir. Pandangan yang kosong dengan kesedihan mendalam. Ekspresi itu… seperti orang yang hendak bunuh diri.

***

Audin dan Lana duduk manis di ruang makan ketika Shin yang bercelemek membawakan panci panas lalu diletakkan di atas meja. Shin melepas sarung tangannya lebih dulu baru selanjutnya mengangkat tutup panci itu. Seketika uap panas dari dalam keluar membawa aroma yang sedap juga menggugah selerah.

“Wah! Sup kepiting pedasnya sudah jadi!” kata Lana girang. Cepat-cepat dia mengambil kuah di dalamnya menggunakan sendok kuah lalu menyicipinya sedikit. “Ini benar-benar salah satu dari warisan dunia!” Dia memuji Shin.

“Kau tidak mau ambil?” tanya Shin pada Audin.

“Hah? Eh, iya..” Audin buru-buru mengambil mangkuknya.

“Sini aku ambilkan,” tawar Shin lalu meletakkan salah satu kepiting di sana ke mangkuk Audin. “Jangan lupa makan pakai nasi.”

“Beres!” balas Lana lalu menyeruput kuah supnya lagi.

“Yang lain ke mana?” tanya Audin karena hanya ada mereka bertiga di sana.

“Aku tidak melihat Snare, Laz, dan Eva dari tadi. Kalau Agatha, dia baru mandi. Zein jogging. Eero mungkin masih tidur. Dia begadang sepanjang malam main House of Death, kau tahu. Heran aku. Apa menyenangkannya game macam itu,” ujar Shin lalu ikut duduk.

Audin tersenyum. “Sepertinya rumah ini memang ramai sekali ya. Syukurlah.”

“Yang kau lihat jelas belum semuanya,” tanggap Shin. “Omong-omong pengendalian tanahmu bagus sekali. Dinding ruangan ini seperti baru. Mungkin akar terkuat akan susah sekali menembusnya. Pantas Mr. Elios sangat mengandalkanmu.”

“Kau pengendali tanah pertama yang kukenal,” sambung Lana meskipun mulutnya tengah penuh nasi.

“Masa’?” Audin mengangkat alis. “Bukankah pulang melayang seperti kayangan banyak tokoh pengendali tanah yang hebat?”

“Kayangan? Entahlah. Aku tidak pernah ke sana.”

Audin dan Shin saling berpandangan.

“Kau bukan bidadari?” tanya Shin.

“Kalian mengejekku?” Lana tertawa. “Mana ada bidadari seperti aku? Mereka congkak sekali dengan paras yang khusus diciptakan untuk mereka.”

“Lalu…?”

“Aku pengendali seperti kalian. Angin.”

Jawaban itu cukup menjelaskan bagaimana Lana datang dengan melayang meskipun tanpa sayap, biarpun dia bukan bidadari. Namun baik Audin dan Shin merasa harus hati-hati karena mereka sama-sama tidak tahu seberapa kemampuan yang dimiliki Lana. Bisa saja sewaktu-waktu gadis itu kehilangan kontrol dan menciptakan tornado.

Tidak lama kemudian, Zein datang. Sekujur tubuh gadis itu basah oleh keringat. Bersamaan dengan itu Agatha keluar dari kamar mandi—juga dalam keadaan basah kuyup. Tubuhnya hanya berbalut handuk berbentuk kimono.

“Ah, kalian. Ke sini, gabung makan juga,” ajak Shin.

Agatha mengabaikannya. Gadis itu pura-pura tidak mendengar lalu menaiki tangga menuju kamarnya.

“Kepiting? Malang sekali nasib kalian…,” gumam Zein ngeri. Dia langsung bergabung di meja makan. “Buatku apa?”

“Ada acar timun dan wortel. Ambil saja.”

“Omong-omong… apa dia selalu seperti itu? Maksudku Agatha,” tanya Lana pada Shin. “Dia selalu kelihatan membenci semua orang di rumah ini. Khususnya Eva. Snare juga. Kenapa aku merasa tingkahnya seperti om-om mesum?”

Audin diam. Sebenarnya dia punya pertanyaan yang sama, hanya saja dia merasa tidak enak menanyakannya. Beda dengan Lana yang selalu berseloroh dengan jujurnya sejauh ini.

“Dia tidak selalu seperti itu,” jawab Zein yang menghampiri meja makan membawa sepiring acar. “Aku butuh dua bulan supaya dia menganggapku teman.”

“Aku butuh tiga bulan,” sambung Shin.

“Siapa yang kalian maksud?” tanya Audin.

Shin dan Zein bersamaan menjawab, “Agatha.” Mereka pun berpandangan penuh arti—dan agaknya licik saat memutuskan untuk menceritakan hal yang penting menyangkut gadis sinis dan galak itu.

“Sebenarnya… ada cara supaya dia bisa bertingkah manis, tapi…” Ucapan Shin menggantung.

“Lebih baik jangan. Kalian akan kehilangan napsu makan nanti,” kata Zein sok misterius.

“Percayalah. Kalian akan lebih suka Agatha yang ini dibanding yang lain.” Shin pun tersenyum lalu menggeleng.

Baik Lana dan Audin saling melemparkan pandangan tidak mengerti sama sekali.

“Ah ya, hampir lupa,” tambah Shin kemudian. “Ini peringatan kalian soal Snare. Jangan pernah terlena pada tingkah manisnya. Meskipun tampak tenang, Snare aslinya vampir yang agresif. Untuk meredam rasa laparnya, aku selalu mencekokinya dengan jus tomat. Bentuk pencegahan yang lain, seringkali Agatha yang lakukan.”

“Seperti?” Audin mengernyit,

“Melayangkan sepatu ke kepalanya.”

***

Siapa yang tahu dalam ingatan Anya, tidak pernah ada sosok gadis di atas jembatan itu ketika malam hari. Seperti biasa gadis itu berdiri dengan pandangan kosong di tengah jembatan, menatap kilauan permukaan sungai di depannya. Orang-orang yang berlalu lalang di sekitaran gadis itu tidak terlalu mempedulikannya. Kecuali satu.

Snare sedang mengawasinya di depan sebuah toko yang letaknya menghimpit gedung sebelahnya. Laki-laki itu menyilangkan tangan dan bersandar pada dinding. Beberapa saat kemudian dia mendengar langkah kaki samar yang perlahan mendekat. Snare bisa mencium aromanya namun dia enggan menoleh karena sudah tahu siapa itu.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Eva.

Snare menutup mata sejenak lalu membalikkan pertanyaan tadi. “Apa yang kau lakukan?”

Eva tertawa sekilas. “Membeli kembang api. Kau?”

“Mengintai,” jawab Snare. Laki-laki itu kemudian menoleh pada Eva. “Bau mesiu. Kau yakin tidak akan meledakkan DM untuk yang kedua kalinya?”

Eva tertawa lagi. “Ayolah. Itu hanya salam permulaan. Aku harus berpikir ulang jika hendak melakukannya lagi. Gadis itu akan membunuhku nanti. Berkat kejadian itu dia memperlakukanku seperti hama pengganggu.”

Snare diam mengetahui siapa yang Eva maksud. Tatapan Agatha lebih tajam berkali-kali lipat ketika mendengar nama Eva disebut, apalagi ketika keduanya bertemu.

“Aku mendengarnya dari Shin dan Zein. Dia memang tidak mudah akrab dengan orang lain. Jadi aku maklum,” kata Eva lagi.

Snare menyeringai, membuat Eva mengerjap.

“Dia memang tidak suka orang asing,” katanya. “Tapi dia lebih tidak menyukai orang yang licik. Aku pikir kau salah satunya.” Dan setelah mengatakannya, Snare pergi.

Eva mengerutkan kening mencerna perkataan Snare barusan. Tidak lama, gadis itu pun angkat bahu—menyerah. Pandangannya lalu beralih ke arah di mana Snare melemparkan perhatiannya tadi: pada sesosok gadis yang berdiri diam di tengah jembatan.

0 komentar: