Laz
sedang ada dalam minimarket yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari
asrama. Dia menenteng keranjang belanja plastik merah lalu seenaknya mengambil
minuman-minuman manis serta tidak lupa berbagai macam cemilan. Tingkahnya
mengabaikan pandangan mengawasi dan enggan dari kasir yang juga merangkap
sebagai pemilik minimarket tersebut. Laz memang pelanggan setia di sana, namun
ada satu hal yang membuat laki-laki itu kurang disukai.
Kelvin—nama
pria berumur empat puluhan, si Penjaga minimarket lalu memandang Laz penuh arti
ketika anak itu menaruh keranjang belanjaannya di atas meja kasir. Berdehem,
dia pun mulai menghitung makanan ringan dan minuman yang Laz ambil.
“Delapan
puluh tujuh ribu delapan ratus..,” kata Kelvin datar.
Dan
sesuai dugaannya, Laz pun mengeluarkan dompet spesialnya dari saku dalam jaket.
Bukan dompet tipis yang umumnya dimiliki orang lain, dompet yang Laz punyai
lebih cocok dikatakan kantung lusuh yang selama ada di tangannya tidak pernah
dicuci. Di dalam kantung itu, Laz tidak pernah mempunyai lembaran uang kertas,
melainkan ratusan keping uang logam.
Laz
tersenyum pada Kelvin yang memandangnya lesu. Memang berkat Laz, Kelvin tidak
pernah kekurangan uang receh. Tapi setiap anak itu datang, mereka harus
menunggu puluhan uang logam itu dihitung, baru urusan mereka selesai. Dan tiap
transaksi yang mereka lakukan, tidak pernah sekalipun Laz tidak membayar dengan
uang pas.
“Mari
kita hitung sampai delapan puluh tujuh!” tandas Laz semangat diiringi berisik
bunyi logam yang berjatuhan ke meja aluminium.
***
Zein
selalu jogging di sore hari minimal
tiga kilometer dia lalui. Dia selalu riang tatkala melihat beberapa anjing yang
juga berlari menemani majikannya, atau kucing yang digendong lembut, juga
kadang beberapa burung yang langsung bertengger di dahan pohon untuk berkicau.
Gadis itu berhenti sebentar saat sampai di tengah jembatan lalu minum air
mineral dalam botol yang dia bawa. Tiba-tiba seekor welsh corgi mendatanginya
sambil menyalak keras.
“Hai!”
balas Zein lalu berjongkok menyentuhnya. Ketika menangkupkan kedua tangannya ke
kepala anjing itu, raut wajah Zein berubah.
Seorang gadis.. berseragam sekolahnya..
selalu mematung di pinggir jembatan ketika siang hari…
“Nak,
kau tak apa-apa?” tanya wanita paruh baya yang memegang tali pengait leher
anjing tadi.
“Ah,
maaf!” Zein buru-buru melepaskan kepala si Welsh Corgi yang cantik. “Dia sehat
sekali. Siapa namanya?”
“Anya,”
kata wanita itu mengangguk-angguk dan tersenyum lalu pergi.
Wajah
Zein lagi-lagi keruh. Sepertinya karena hampir setiap hari diajak jalan-jalan
oleh majikannya, Anya selalu merekam apa yang ada di jembatan itu. Sesosok
gadis yang ada dalam ingatan Anya tampak lebih mencolok karena dia sering
melihatnya. Orang yang berlalu-lalang mungkin tidak terlalu memperhatikannya,
namun Anya lebih peka. Anjing itu bahkan seringkali melihat garis kemilau
menghiasi pipi si Gadis.
Siapa? Zein bertanya dalam
hati. Dia tidak begitu mengingat satu per satu teman sekolahnya yang berjumlah
ratusan hingga tidak merasa kenal akan wajah gadis itu. Tapi jujur, sorot mata
gadis itu yang direkam Anya cukup membuat Zein khawatir. Pandangan yang kosong
dengan kesedihan mendalam. Ekspresi itu… seperti orang yang hendak bunuh diri.
***
Audin
dan Lana duduk manis di ruang makan ketika Shin yang bercelemek membawakan
panci panas lalu diletakkan di atas meja. Shin melepas sarung tangannya lebih
dulu baru selanjutnya mengangkat tutup panci itu. Seketika uap panas dari dalam
keluar membawa aroma yang sedap juga menggugah selerah.
“Wah!
Sup kepiting pedasnya sudah jadi!” kata Lana girang. Cepat-cepat dia mengambil
kuah di dalamnya menggunakan sendok kuah lalu menyicipinya sedikit. “Ini
benar-benar salah satu dari warisan dunia!” Dia memuji Shin.
“Kau
tidak mau ambil?” tanya Shin pada Audin.
“Hah?
Eh, iya..” Audin buru-buru mengambil mangkuknya.
“Sini
aku ambilkan,” tawar Shin lalu meletakkan salah satu kepiting di sana ke
mangkuk Audin. “Jangan lupa makan pakai nasi.”
“Beres!”
balas Lana lalu menyeruput kuah supnya lagi.
“Yang
lain ke mana?” tanya Audin karena hanya ada mereka bertiga di sana.
“Aku
tidak melihat Snare, Laz, dan Eva dari tadi. Kalau Agatha, dia baru mandi. Zein
jogging. Eero mungkin masih tidur.
Dia begadang sepanjang malam main House
of Death, kau tahu. Heran aku. Apa menyenangkannya game macam itu,” ujar Shin lalu ikut duduk.
Audin
tersenyum. “Sepertinya rumah ini memang ramai sekali ya. Syukurlah.”
“Yang
kau lihat jelas belum semuanya,” tanggap Shin. “Omong-omong pengendalian
tanahmu bagus sekali. Dinding ruangan ini seperti baru. Mungkin akar terkuat
akan susah sekali menembusnya. Pantas Mr. Elios sangat mengandalkanmu.”
“Kau pengendali
tanah pertama yang kukenal,” sambung Lana meskipun mulutnya tengah penuh nasi.
“Masa’?”
Audin mengangkat alis. “Bukankah pulang melayang seperti kayangan banyak tokoh
pengendali tanah yang hebat?”
“Kayangan?
Entahlah. Aku tidak pernah ke sana.”
Audin
dan Shin saling berpandangan.
“Kau
bukan bidadari?” tanya Shin.
“Kalian
mengejekku?” Lana tertawa. “Mana ada bidadari seperti aku? Mereka congkak
sekali dengan paras yang khusus diciptakan untuk mereka.”
“Lalu…?”
“Aku
pengendali seperti kalian. Angin.”
Jawaban
itu cukup menjelaskan bagaimana Lana datang dengan melayang meskipun tanpa
sayap, biarpun dia bukan bidadari. Namun baik Audin dan Shin merasa harus
hati-hati karena mereka sama-sama tidak tahu seberapa kemampuan yang dimiliki
Lana. Bisa saja sewaktu-waktu gadis itu kehilangan kontrol dan menciptakan
tornado.
Tidak
lama kemudian, Zein datang. Sekujur tubuh gadis itu basah oleh keringat.
Bersamaan dengan itu Agatha keluar dari kamar mandi—juga dalam keadaan basah
kuyup. Tubuhnya hanya berbalut handuk berbentuk kimono.
“Ah,
kalian. Ke sini, gabung makan juga,” ajak Shin.
Agatha
mengabaikannya. Gadis itu pura-pura tidak mendengar lalu menaiki tangga menuju
kamarnya.
“Kepiting?
Malang sekali nasib kalian…,” gumam Zein ngeri. Dia langsung bergabung di meja
makan. “Buatku apa?”
“Ada
acar timun dan wortel. Ambil saja.”
“Omong-omong…
apa dia selalu seperti itu? Maksudku Agatha,” tanya Lana pada Shin. “Dia selalu
kelihatan membenci semua orang di rumah ini. Khususnya Eva. Snare juga. Kenapa
aku merasa tingkahnya seperti om-om mesum?”
Audin
diam. Sebenarnya dia punya pertanyaan yang sama, hanya saja dia merasa tidak
enak menanyakannya. Beda dengan Lana yang selalu berseloroh dengan jujurnya
sejauh ini.
“Dia
tidak selalu seperti itu,” jawab Zein yang menghampiri meja makan membawa
sepiring acar. “Aku butuh dua bulan supaya dia menganggapku teman.”
“Aku
butuh tiga bulan,” sambung Shin.
“Siapa
yang kalian maksud?” tanya Audin.
Shin
dan Zein bersamaan menjawab, “Agatha.” Mereka pun berpandangan penuh arti—dan
agaknya licik saat memutuskan untuk menceritakan hal yang penting menyangkut
gadis sinis dan galak itu.
“Sebenarnya…
ada cara supaya dia bisa bertingkah manis, tapi…” Ucapan Shin menggantung.
“Lebih
baik jangan. Kalian akan kehilangan napsu makan nanti,” kata Zein sok
misterius.
“Percayalah.
Kalian akan lebih suka Agatha yang ini dibanding yang lain.” Shin pun tersenyum
lalu menggeleng.
Baik
Lana dan Audin saling melemparkan pandangan tidak mengerti sama sekali.
“Ah ya,
hampir lupa,” tambah Shin kemudian. “Ini peringatan kalian soal Snare. Jangan
pernah terlena pada tingkah manisnya. Meskipun tampak tenang, Snare aslinya
vampir yang agresif. Untuk meredam rasa laparnya, aku selalu mencekokinya
dengan jus tomat. Bentuk pencegahan yang lain, seringkali Agatha yang lakukan.”
“Seperti?”
Audin mengernyit,
“Melayangkan
sepatu ke kepalanya.”
***
Siapa
yang tahu dalam ingatan Anya, tidak pernah ada sosok gadis di atas jembatan itu
ketika malam hari. Seperti biasa gadis itu berdiri dengan pandangan kosong di
tengah jembatan, menatap kilauan permukaan sungai di depannya. Orang-orang yang
berlalu lalang di sekitaran gadis itu tidak terlalu mempedulikannya. Kecuali
satu.
Snare
sedang mengawasinya di depan sebuah toko yang letaknya menghimpit gedung
sebelahnya. Laki-laki itu menyilangkan tangan dan bersandar pada dinding.
Beberapa saat kemudian dia mendengar langkah kaki samar yang perlahan mendekat.
Snare bisa mencium aromanya namun dia enggan menoleh karena sudah tahu siapa
itu.
“Apa
yang kau lakukan?” tanya Eva.
Snare
menutup mata sejenak lalu membalikkan pertanyaan tadi. “Apa yang kau lakukan?”
Eva
tertawa sekilas. “Membeli kembang api. Kau?”
“Mengintai,”
jawab Snare. Laki-laki itu kemudian menoleh pada Eva. “Bau mesiu. Kau yakin
tidak akan meledakkan DM untuk yang kedua kalinya?”
Eva
tertawa lagi. “Ayolah. Itu hanya salam permulaan. Aku harus berpikir ulang jika
hendak melakukannya lagi. Gadis itu akan membunuhku nanti. Berkat kejadian itu
dia memperlakukanku seperti hama pengganggu.”
Snare
diam mengetahui siapa yang Eva maksud. Tatapan Agatha lebih tajam berkali-kali
lipat ketika mendengar nama Eva disebut, apalagi ketika keduanya bertemu.
“Aku
mendengarnya dari Shin dan Zein. Dia memang tidak mudah akrab dengan orang
lain. Jadi aku maklum,” kata Eva lagi.
Snare
menyeringai, membuat Eva mengerjap.
“Dia
memang tidak suka orang asing,” katanya. “Tapi dia lebih tidak menyukai orang
yang licik. Aku pikir kau salah satunya.” Dan setelah mengatakannya, Snare
pergi.
Eva mengerutkan
kening mencerna perkataan Snare barusan. Tidak lama, gadis itu pun angkat
bahu—menyerah. Pandangannya lalu beralih ke arah di mana Snare melemparkan
perhatiannya tadi: pada sesosok gadis yang berdiri diam di tengah jembatan.
0 komentar:
Posting Komentar