Besok akhirnya
mereka akan mulai sekolah seperti biasa. Audin memang telah menyiapkan
segalanya sesegera mungkin. Dia selalu mencari-cari apa yang bisa dia kerjakan
karena nyaris dua bulan yang dihabiskan, dia tampaknya terlalu membiarkan
benaknya diganggu oleh sosok orang itu. Seorang gadis yang selalu tampak
menyeringai ketika akhirnya melihat Audin.
Audin
selalu membenci wajahnya tertawa. Meski buruk untuk mengakuinya, mereka
sebenarnya tidak jauh berbeda. Masing-masing sebenarnya menyembunyikan
kebobrokan itu dalam senyum tanpa beban. Munafik.
Gadis
itu tengah menggunting kertas-kertas warna yang telah dia tulis menggunakan
spidol merah. Isinya antara lain jadwal kelas yang dia ikuti, juga beberapa
kegiatan di mana Audin turut serta. Seharusnya dia senang. Banyak bertemu
orang-orang baru setidaknya akan membuat Audin lupa—meski hanya sementara. Dia
hanya harus melakukan semua hal yang bisa dia lakukan seperti orang gila.
Audin
bersumpah dia harus terus-terusan memohon. Dia bersumpah mimpi-mimpi buruknya
tidak akan pernah berakhir kalau dia belum benar-benar menyingkirkan kuk
tersebut.
***
Mereka
berlima—Audin, Shin, Zein, Lana dan Eva berjalan berbanjar, bersama-sama
berangkat pagi itu setelah menyaksikan kaum Adam yang juga tinggal dengan
mereka baru bangun saat sesi sarapan telah selesai. Alhasil Laz dan Eero
berebutan siapa yang akan memakai kamar mandi duluan.
“Ah,
aku lupa!” Zein mendadak teringat. “Aku mau ke taman samping dulu. Kemarin
Esmeralda meriang. Aku ingin lihat apa dia sudah baikan atau belum.”
Shin
mengangguk. Zein pun meninggalkan mereka setelah mengacungkan kedua jempolnya.
“Siapa
Esmeralda?” tanya Audin. Mereka melanjutkan ngobrol sambil melangkah.
“Salah
satu kelinci yang dipelihara sekolah,” jawab Shin. “Zein ada di sana saat
kelinci itu lahir. Kebetulan Laz menemaninya. Karena Zein bingung harus memberi
nama apa, lantas Laz memberinya nama Esmeralda.”
“Aku
jadi ingat telenovela menyebalkan yang selalu ditonton ibu angkatku dulu,”
gumam Lana ditanggapi dengan tawa kecil Eva.
“Ah, hampir
lupa,” kata Shin. “Masih ada setengah jam sebelum masuk kan? Aku sarankan
kalian bertiga ke ruang OSIS dulu. Di sini kalian wajib ikut klub. Klub apa pun
terserah kalian. Form resminya ada di
sana dan bisa langsung diisi. Karena aku dari klub pertamanan, aku sekalian
promosi ya.” Gadis itu tersenyum manis. “Ruang OSISnya ada di sebelah
perpustakaan, depan ruang siaran.”
Audin
dan Lana mengangguk mengerti. Setelahnya giliran Shin yang memisah untuk masuk
ke kelasnya sendiri. Mereka lalu mengikuti arah yang diberitahukan Shin dan
akhirnya menemukannya dengan mudah. Terlihat beberapa anak di ruang siaran
melalui kaca jendela yang transparan dan jernih. Ruang OSIS sebaliknya. Pintu
kayunya seperti menutup rapat angkuh, ditambah kesan dingin kaca jendela yang
gelap.
Eva
mengetuk dan sedetik kemudian pintu itu dibuka.
“Oh,
kalian.” Snare menoleh ke belakang ketika sedang mengambil buku dari rak.
Mereka
bertiga masuk—sama-sama melebarkan mata karena terkejut.
“Snare,
kau anggota OSIS?” tanya Lana yang langsung menghampirinya.
Laki-laki
yang berwajah pucat dengan warna bibir yang merekah semerah darah itupun
tersenyum.
“Semacam
itu,” kata Snare membenarkan. “Kalian mau apa ke sini?”
“Shin
yang menyarankan. Katanya kami harus mendaftar klub…” Ucapan Audin terpotong
saat pintu lain di sana dibuka. Seorang gadis berambut pendek dan berkacamata
sedang berbicara dengan orang di sebelahnya.
“Oh,
ada siapa ini? Wajah baru ya?” kata si Gadis berkacamata tadi. “Murid
pindahan?”
“Yes,” tanggap Eva yang tanpa disuruh pun
langsung duduk di sofa.
“Kalau
tidak salah DM kedatangan tiga penghuni baru. Mereka temanmu kan?” tanya gadis
tadi pada orang di sebelahnya. Seorang gadis juga, dengan ekspresi enggan yang
tampak tidak ramah.
“Aku
tidak kenal mereka,” kata Agatha pendek lalu duduk di kursi putar yang
menghadap meja besar di ujung ruangan itu. Baik Audin dan Lana saling
berpandangan membaca papan bertuliskan ‘ketua OSIS’ di sana.
“Oh ya?
Berarti bukan?” Gadis berkacamata tadi mengerjap bingung.
“Mereka
memang penghuni baru, Dyar.” Kali ini Snare membenarkan. Dia menyerahkan buku
yang dipegangnya pada gadis itu kemudian menatap satu per satu murid baru
tersebut. “Kenalkan, ini Dyar, sekretaris di sini.”
“Kalian
pasti mau mendaftar klub kan? Sudah mengisi data di buku besar?”
“Belum,”
jawab Lana.
“Sebentar
ya, aku ambilkan,” kata Dyar lalu beranjak pergi lagi. Saat dia kembali, di
tangannya ada sebuah buku besar dan tebal bersampul hitam yang telah dibukakan
sampai halaman masukan yang terakhir.
Saat
Audin dan Lana memusatkan perhatiannya pada buku besar itu, pandangan Eva yang
menelisik tidak bisa lepas dari Dyar. Diam-diam juga, Agatha melakukan hal yang
sama ketika memangku dagu dengan kedua tangannya yang berlipat.
***
Pada
pertengahan jam hari itu, guru yang mengajar meminta Audin untuk membawakan
berkas salinan materi dari koperasi sekolah. Menurut, gadis itupun lalu keluar
kelas dan berjalan ke koperasi. Karena seluruh anak pastinya ada di dalam kelas
karena pelajaran masih berlangsung, sekelilingnya lengang.
Audin
melewati lapangan rumput ketika dia keluar dari gedung sekolah ketika angin
mendadak menghembus menyatu ke arahnya. Gadis itu menghentikan langkah dan
bergeming. Sekujur tubuhnya membeku seketika. Cepat, Audin menoleh. Bukan hanya
arah belakangnya, namun juga ke atas.
Napasnya
memburu sedang mata gadis itu melebar.
Tidak.
Tidak mungkin, pikirnya. Audin telah datang sampai sejauh ini. Dia sedang dalam
perlindungan sekarang. Orang itu tidak mungkin mengikutinya.
Semoga
tidak.
***
Guyuran
hujan deras yang tumpah sejak sore diamati Zein melalui jendela ruang tengah.
Gadis itu berdiri dan kakinya tidak bisa tenang. Sementara itu tangan kanannya
terangkat dekat mulut hingga dia bisa menggigiti ujung kuku ibu jarinya. Siapa
pun tahu kalau Zein sedang amat gelisah. Bahkan dia sampai lupa pada jam makan
malam sebentar lagi. Shin pun mengaduk-aduk nasi yang sudah matang sambil
mengernyit ke arahnya.
“Shin,
Eva mana?” tanya Lana lalu menguap. Matanya berair.
“Aku
tidak lihat dia. Mungkin di kamar. Kenapa?”
“Kelompokku
dan Eva ada acara pendakian minggu depan loh.”
“Sepertinya
asyik. Klub pecinta alam kan? Kau pernah mendaki sebelum ini?”
“Tidak
juga.” Lana meringis. “Kalau lelah, aku tinggal meringankan tubuhku saja.” Dia
tertawa. “Waktu aku tanya Eva, dia bilang kalau dia akan sangat senang kalau
kebagian tugas membuat api unggun.”
Shin
tertawa kecil setengah hati.
Kegelisahan
Zein bertambah. Puncaknya, gadis itu melesat keluar rumah dan tidak sengaja
menyenggol vas bunga hingga jatuh dan pecah.
“Ada
apa? Kenapa?” tanya Lana bingung.
Shin
mendesis. Gadis itu terpaksa melepas celemeknya lalu menyusul Zein yang keluar
tanpa pelindung tubuh apa pun padahal di luar dingin sekali. Teringat akan yang
lain, Shin pun kembali sebentar untuk berpesan pada Lana.
“Panggil
yang lain! Suruh mereka semua keluar! Akan lebih baik kalau kalian memanggil
Mr. Elios.”
“Tu-tunggu!
Ada apa sih?!” Pertanyaan Lana tidak terjawab karena Shin langsung enyah dari
sana.
Tepat
saat itu, Audin yang setengah melamun turun dari tangga. Lana pun langsung
membuatnya sadar seratus persen dengan kata-kata yang dilontarkan dalam tempo
yang cepat juga susunan yang berantakan.
***
Snare
memakai jaket bertudung dan berteduh sekaligus bersembunyi di tempat biasanya
dia mengamati dari kejauhan. Laki-laki itu membisu ketika gadis yang seringkali
dia awasi selama beberapa waktu belakangan ini akhirnya menyerahkan semuanya
lalu membiarkan tubuhnya sendiri terjun dari jembatan. Dia memang menginginkan
kematian, lantas kenapa Snare harus menolongnya?
Hampir
saja meninggalkan tempat itu, Snare mengerutkan kening ketika samar-samar dia
mendengar suara Shin yang berseru memanggil.
“Zein!!
ZEIN!!!”
Gadis
yang dipanggil Shin itu berlari cepat menuju ke tengah-tengah jembatan, dan di
sanalah dia: berdiri membeku sambil menatap ngeri ke permukaan air di bawahnya.
Apa
yang harus dia lakukan? Di dalam sungai itu tidak ada yang bisa dia mintai
tolong untuk menarik gadis yang mencoba membunuh dirinya itu! Apa yang harus…
siapa…
Di
tengah kekalutan itu, mata Zein menangkap sekelebat sosok yang terjun dari
jembatan, tepat di sebelahnya. Sedetik kemudian terdengar bunyi benda yang
jatuh terjebur ke dalam sungai yang berarus deras.
“Apa
yang terjadi?” Shin menghampiri Zein sambil terengah-engah. Tidak lama, hampir
semua penghuni DM telah ada setidaknya di sekitaran jembatan itu.
Mr.
Elios datang dengan balutan jas hujan yang besar. Dia mengayunkan tangannya ke
udara dan seketika muncullah cahaya yang membentuk perisai yang mengelilingi
sekitaran tempat mereka berada.
“Ini
perisai mantra…,” gumam Lana yang mengerjap. Tubuhnya juga Audin basah berkat
hujan. “Mr. Elios… orang kayangan? Bidadari laki-laki?”
Mati-matian
menekan kuat rasa takutnya, gerak Agatha memacu mengikuti arus sungai yang deras.
Sebisa mungkin dia menantang gerak air supaya tidak mempersulitnya mencari
gadis itu. Gadis yang amat dia kenal selama dua tahun ini. Sosok yang pura-pura
tegar namun pelan-pelan larut dan hancur di dalamnya.
Tulang-tulangnya
perlahan membatu karena air sungai begitu dingin. Sangat dingin sampai-sampai
Agatha merasa ada ribuan jarum yang menghujam sekujur tubuhnya ketika dia
terjun ke bawah. Beberapa saat ada di dalam air, gadis yang dicarinya kemudian
ditemukan melayang di tengah-tengah. Kaku dan tidak sadarkan diri.
“Kenapa
belum kelihatan juga…?” gumam Zein cemas—lagi-lagi sambil menggigiti ujung
kukunya.
“Lihat!”
seru Lana sambil menunjuk ke sebuah arah.
Agatha
akhirnya muncul ke permukaan. Tangan kanannya melingkar menarik tubuh gadis
tadi.
“Naik!
Mereka harus naik!” seru Zein.
Lana
berdecap. Gadis itu langsung terbang ke tengah-tengah sungai tempat Agatha dan
gadis itu berada. Lana mengulurkan tangannya saat Agatha mencoba mengangkat
tubuh gadis itu. Si Gadis yang tidak sadarkan diri itupun berhasil diangkat
dengan Lana memeluk tubuhnya naik ke atas.
“Agatha!”
Lana menjerit.
Snare
langsung berlari ke arah sungai karena dia tahu apa yang terjadi. Anggota gerak
gadis itu membatu seketika lebih cepat dari yang dia perkirakan. Saat Snare
nyaris terjun ke sana, Agatha memberontak.
“Shin..!
Shin!!” Suaranya sayup-sayup terdengar karena berulang kali hampir tenggelam
penuh ke dalam sungai. “SHIN!!!!”
“Ugh…”
Shin menggigit bibir. Tangannya langsung terangkat tinggi-tinggi ke udara. Saat
itulah tiba-tiba tanah di sekeliling tempat itu berguncang.
Audin
menutup matanya, merasakan sesuatu yang meringsek keluar dari tanah. Benda
hidup yang besar dan kuat.
Sulur
tumbuhan raksasa menerobos kuatnya arus sungai, menjadi penolong bagi Agatha
untuk bisa menghirup udara lagi. Lemas, Shin pun langsung roboh dan Zein
menolongnya.
Yang
lain akhirnya bisa menghirup napas lega. Audin pun melihat mereka dan batinnya
bisa berubah tenang sekarang. Namun sebuah suara yang terdengar begitu dekat
dari telinganya, membuat gadis itu membelalak ngeri.
“Padahal
tinggal sedikit lagi dia akan kubawa..”
Sontak,
Audin menoleh ke belakang dan langkahnya refleks mundur. Tertegun, dia menatap
wajah itu. Bibir berona hitam yang melengkung membentuk ulas senyum—senyumnya
yang tampak begitu menakutkan bagi Audin. Kedua sayap hitamnya membentang lebar
di masing-masing samping gadis itu.
Audin
bersumpah. Sebelumnya dia bersumpah kalau tidak lagi ingin punya urusan
dengannya! Meskipun wajah mereka sama, Audin berjanji dalam diri untuk
melenyapkan gadis itu.
Demetrin—sang
Bidadari Kematian.
Saudara
kembarnya.
0 komentar:
Posting Komentar