Welcome to Disaster Maker Club (4): Girl on the Bridge

Selasa, 17 November 2015



Besok akhirnya mereka akan mulai sekolah seperti biasa. Audin memang telah menyiapkan segalanya sesegera mungkin. Dia selalu mencari-cari apa yang bisa dia kerjakan karena nyaris dua bulan yang dihabiskan, dia tampaknya terlalu membiarkan benaknya diganggu oleh sosok orang itu. Seorang gadis yang selalu tampak menyeringai ketika akhirnya melihat Audin.

Audin selalu membenci wajahnya tertawa. Meski buruk untuk mengakuinya, mereka sebenarnya tidak jauh berbeda. Masing-masing sebenarnya menyembunyikan kebobrokan itu dalam senyum tanpa beban. Munafik.

Gadis itu tengah menggunting kertas-kertas warna yang telah dia tulis menggunakan spidol merah. Isinya antara lain jadwal kelas yang dia ikuti, juga beberapa kegiatan di mana Audin turut serta. Seharusnya dia senang. Banyak bertemu orang-orang baru setidaknya akan membuat Audin lupa—meski hanya sementara. Dia hanya harus melakukan semua hal yang bisa dia lakukan seperti orang gila.

Audin bersumpah dia harus terus-terusan memohon. Dia bersumpah mimpi-mimpi buruknya tidak akan pernah berakhir kalau dia belum benar-benar menyingkirkan kuk tersebut.

***

Mereka berlima—Audin, Shin, Zein, Lana dan Eva berjalan berbanjar, bersama-sama berangkat pagi itu setelah menyaksikan kaum Adam yang juga tinggal dengan mereka baru bangun saat sesi sarapan telah selesai. Alhasil Laz dan Eero berebutan siapa yang akan memakai kamar mandi duluan.

“Ah, aku lupa!” Zein mendadak teringat. “Aku mau ke taman samping dulu. Kemarin Esmeralda meriang. Aku ingin lihat apa dia sudah baikan atau belum.”

Shin mengangguk. Zein pun meninggalkan mereka setelah mengacungkan kedua jempolnya.

“Siapa Esmeralda?” tanya Audin. Mereka melanjutkan ngobrol sambil melangkah.

“Salah satu kelinci yang dipelihara sekolah,” jawab Shin. “Zein ada di sana saat kelinci itu lahir. Kebetulan Laz menemaninya. Karena Zein bingung harus memberi nama apa, lantas Laz memberinya nama Esmeralda.”

“Aku jadi ingat telenovela menyebalkan yang selalu ditonton ibu angkatku dulu,” gumam Lana ditanggapi dengan tawa kecil Eva.

“Ah, hampir lupa,” kata Shin. “Masih ada setengah jam sebelum masuk kan? Aku sarankan kalian bertiga ke ruang OSIS dulu. Di sini kalian wajib ikut klub. Klub apa pun terserah kalian. Form resminya ada di sana dan bisa langsung diisi. Karena aku dari klub pertamanan, aku sekalian promosi ya.” Gadis itu tersenyum manis. “Ruang OSISnya ada di sebelah perpustakaan, depan ruang siaran.”

Audin dan Lana mengangguk mengerti. Setelahnya giliran Shin yang memisah untuk masuk ke kelasnya sendiri. Mereka lalu mengikuti arah yang diberitahukan Shin dan akhirnya menemukannya dengan mudah. Terlihat beberapa anak di ruang siaran melalui kaca jendela yang transparan dan jernih. Ruang OSIS sebaliknya. Pintu kayunya seperti menutup rapat angkuh, ditambah kesan dingin kaca jendela yang gelap.

Eva mengetuk dan sedetik kemudian pintu itu dibuka.

“Oh, kalian.” Snare menoleh ke belakang ketika sedang mengambil buku dari rak.

Mereka bertiga masuk—sama-sama melebarkan mata karena terkejut.

“Snare, kau anggota OSIS?” tanya Lana yang langsung menghampirinya.

Laki-laki yang berwajah pucat dengan warna bibir yang merekah semerah darah itupun tersenyum.

“Semacam itu,” kata Snare membenarkan. “Kalian mau apa ke sini?”

“Shin yang menyarankan. Katanya kami harus mendaftar klub…” Ucapan Audin terpotong saat pintu lain di sana dibuka. Seorang gadis berambut pendek dan berkacamata sedang berbicara dengan orang di sebelahnya.

“Oh, ada siapa ini? Wajah baru ya?” kata si Gadis berkacamata tadi. “Murid pindahan?”

Yes,” tanggap Eva yang tanpa disuruh pun langsung duduk di sofa.

“Kalau tidak salah DM kedatangan tiga penghuni baru. Mereka temanmu kan?” tanya gadis tadi pada orang di sebelahnya. Seorang gadis juga, dengan ekspresi enggan yang tampak tidak ramah.

“Aku tidak kenal mereka,” kata Agatha pendek lalu duduk di kursi putar yang menghadap meja besar di ujung ruangan itu. Baik Audin dan Lana saling berpandangan membaca papan bertuliskan ‘ketua OSIS’ di sana.

“Oh ya? Berarti bukan?” Gadis berkacamata tadi mengerjap bingung.

“Mereka memang penghuni baru, Dyar.” Kali ini Snare membenarkan. Dia menyerahkan buku yang dipegangnya pada gadis itu kemudian menatap satu per satu murid baru tersebut. “Kenalkan, ini Dyar, sekretaris di sini.”

“Kalian pasti mau mendaftar klub kan? Sudah mengisi data di buku besar?”

“Belum,” jawab Lana.

“Sebentar ya, aku ambilkan,” kata Dyar lalu beranjak pergi lagi. Saat dia kembali, di tangannya ada sebuah buku besar dan tebal bersampul hitam yang telah dibukakan sampai halaman masukan yang terakhir.

Saat Audin dan Lana memusatkan perhatiannya pada buku besar itu, pandangan Eva yang menelisik tidak bisa lepas dari Dyar. Diam-diam juga, Agatha melakukan hal yang sama ketika memangku dagu dengan kedua tangannya yang berlipat.

***

Pada pertengahan jam hari itu, guru yang mengajar meminta Audin untuk membawakan berkas salinan materi dari koperasi sekolah. Menurut, gadis itupun lalu keluar kelas dan berjalan ke koperasi. Karena seluruh anak pastinya ada di dalam kelas karena pelajaran masih berlangsung, sekelilingnya lengang.

Audin melewati lapangan rumput ketika dia keluar dari gedung sekolah ketika angin mendadak menghembus menyatu ke arahnya. Gadis itu menghentikan langkah dan bergeming. Sekujur tubuhnya membeku seketika. Cepat, Audin menoleh. Bukan hanya arah belakangnya, namun juga ke atas.

Napasnya memburu sedang mata gadis itu melebar.

Tidak. Tidak mungkin, pikirnya. Audin telah datang sampai sejauh ini. Dia sedang dalam perlindungan sekarang. Orang itu tidak mungkin mengikutinya.

Semoga tidak.

***

Guyuran hujan deras yang tumpah sejak sore diamati Zein melalui jendela ruang tengah. Gadis itu berdiri dan kakinya tidak bisa tenang. Sementara itu tangan kanannya terangkat dekat mulut hingga dia bisa menggigiti ujung kuku ibu jarinya. Siapa pun tahu kalau Zein sedang amat gelisah. Bahkan dia sampai lupa pada jam makan malam sebentar lagi. Shin pun mengaduk-aduk nasi yang sudah matang sambil mengernyit ke arahnya.

“Shin, Eva mana?” tanya Lana lalu menguap. Matanya berair.

“Aku tidak lihat dia. Mungkin di kamar. Kenapa?”

“Kelompokku dan Eva ada acara pendakian minggu depan loh.”

“Sepertinya asyik. Klub pecinta alam kan? Kau pernah mendaki sebelum ini?”

“Tidak juga.” Lana meringis. “Kalau lelah, aku tinggal meringankan tubuhku saja.” Dia tertawa. “Waktu aku tanya Eva, dia bilang kalau dia akan sangat senang kalau kebagian tugas membuat api unggun.”

Shin tertawa kecil setengah hati.

Kegelisahan Zein bertambah. Puncaknya, gadis itu melesat keluar rumah dan tidak sengaja menyenggol vas bunga hingga jatuh dan pecah.

“Ada apa? Kenapa?” tanya Lana bingung.

Shin mendesis. Gadis itu terpaksa melepas celemeknya lalu menyusul Zein yang keluar tanpa pelindung tubuh apa pun padahal di luar dingin sekali. Teringat akan yang lain, Shin pun kembali sebentar untuk berpesan pada Lana.

“Panggil yang lain! Suruh mereka semua keluar! Akan lebih baik kalau kalian memanggil Mr. Elios.”

“Tu-tunggu! Ada apa sih?!” Pertanyaan Lana tidak terjawab karena Shin langsung enyah dari sana.

Tepat saat itu, Audin yang setengah melamun turun dari tangga. Lana pun langsung membuatnya sadar seratus persen dengan kata-kata yang dilontarkan dalam tempo yang cepat juga susunan yang berantakan.

***

Snare memakai jaket bertudung dan berteduh sekaligus bersembunyi di tempat biasanya dia mengamati dari kejauhan. Laki-laki itu membisu ketika gadis yang seringkali dia awasi selama beberapa waktu belakangan ini akhirnya menyerahkan semuanya lalu membiarkan tubuhnya sendiri terjun dari jembatan. Dia memang menginginkan kematian, lantas kenapa Snare harus menolongnya?

Hampir saja meninggalkan tempat itu, Snare mengerutkan kening ketika samar-samar dia mendengar suara Shin yang berseru memanggil.

“Zein!! ZEIN!!!”

Gadis yang dipanggil Shin itu berlari cepat menuju ke tengah-tengah jembatan, dan di sanalah dia: berdiri membeku sambil menatap ngeri ke permukaan air di bawahnya.

Apa yang harus dia lakukan? Di dalam sungai itu tidak ada yang bisa dia mintai tolong untuk menarik gadis yang mencoba membunuh dirinya itu! Apa yang harus… siapa…

Di tengah kekalutan itu, mata Zein menangkap sekelebat sosok yang terjun dari jembatan, tepat di sebelahnya. Sedetik kemudian terdengar bunyi benda yang jatuh terjebur ke dalam sungai yang berarus deras.

“Apa yang terjadi?” Shin menghampiri Zein sambil terengah-engah. Tidak lama, hampir semua penghuni DM telah ada setidaknya di sekitaran jembatan itu.

Mr. Elios datang dengan balutan jas hujan yang besar. Dia mengayunkan tangannya ke udara dan seketika muncullah cahaya yang membentuk perisai yang mengelilingi sekitaran tempat mereka berada.

“Ini perisai mantra…,” gumam Lana yang mengerjap. Tubuhnya juga Audin basah berkat hujan. “Mr. Elios… orang kayangan? Bidadari laki-laki?”

Mati-matian menekan kuat rasa takutnya, gerak Agatha memacu mengikuti arus sungai yang deras. Sebisa mungkin dia menantang gerak air supaya tidak mempersulitnya mencari gadis itu. Gadis yang amat dia kenal selama dua tahun ini. Sosok yang pura-pura tegar namun pelan-pelan larut dan hancur di dalamnya.

Tulang-tulangnya perlahan membatu karena air sungai begitu dingin. Sangat dingin sampai-sampai Agatha merasa ada ribuan jarum yang menghujam sekujur tubuhnya ketika dia terjun ke bawah. Beberapa saat ada di dalam air, gadis yang dicarinya kemudian ditemukan melayang di tengah-tengah. Kaku dan tidak sadarkan diri.

“Kenapa belum kelihatan juga…?” gumam Zein cemas—lagi-lagi sambil menggigiti ujung kukunya.

“Lihat!” seru Lana sambil menunjuk ke sebuah arah.

Agatha akhirnya muncul ke permukaan. Tangan kanannya melingkar menarik tubuh gadis tadi.

“Naik! Mereka harus naik!” seru Zein.

Lana berdecap. Gadis itu langsung terbang ke tengah-tengah sungai tempat Agatha dan gadis itu berada. Lana mengulurkan tangannya saat Agatha mencoba mengangkat tubuh gadis itu. Si Gadis yang tidak sadarkan diri itupun berhasil diangkat dengan Lana memeluk tubuhnya naik ke atas.

“Agatha!” Lana menjerit.

Snare langsung berlari ke arah sungai karena dia tahu apa yang terjadi. Anggota gerak gadis itu membatu seketika lebih cepat dari yang dia perkirakan. Saat Snare nyaris terjun ke sana, Agatha memberontak.

“Shin..! Shin!!” Suaranya sayup-sayup terdengar karena berulang kali hampir tenggelam penuh ke dalam sungai. “SHIN!!!!”

“Ugh…” Shin menggigit bibir. Tangannya langsung terangkat tinggi-tinggi ke udara. Saat itulah tiba-tiba tanah di sekeliling tempat itu berguncang.

Audin menutup matanya, merasakan sesuatu yang meringsek keluar dari tanah. Benda hidup yang besar dan kuat.

Sulur tumbuhan raksasa menerobos kuatnya arus sungai, menjadi penolong bagi Agatha untuk bisa menghirup udara lagi. Lemas, Shin pun langsung roboh dan Zein menolongnya.

Yang lain akhirnya bisa menghirup napas lega. Audin pun melihat mereka dan batinnya bisa berubah tenang sekarang. Namun sebuah suara yang terdengar begitu dekat dari telinganya, membuat gadis itu membelalak ngeri.

“Padahal tinggal sedikit lagi dia akan kubawa..”

Sontak, Audin menoleh ke belakang dan langkahnya refleks mundur. Tertegun, dia menatap wajah itu. Bibir berona hitam yang melengkung membentuk ulas senyum—senyumnya yang tampak begitu menakutkan bagi Audin. Kedua sayap hitamnya membentang lebar di masing-masing samping gadis itu.

Audin bersumpah. Sebelumnya dia bersumpah kalau tidak lagi ingin punya urusan dengannya! Meskipun wajah mereka sama, Audin berjanji dalam diri untuk melenyapkan gadis itu.

Demetrin—sang Bidadari Kematian.

Saudara kembarnya.

0 komentar: