Tangannya
memegang botol penyemprot, membasahi helai-helai daun mawarnya yang ditanam di
pot-pot kecil yang membentuk cabang. Dia berada dekat dengan jendelan di mana
sinar matahari pagi masuk tanpa halangan. Matanya silau, namun dia tidak
keberatan. Dia hanya harus menundukkan kepala, atau menundukkan matanya saja.
Saat terik matahari makin kuat, tubuhnya yang seringkali dingin kali ini
berkeringat. Mengerjap pelan, dia pun memandang ke sekeliling, melihat semua
mawar-mawarnya yang dirawat baik.
“Aku
pikir kau sudah pergi,” kata seorang gadis sebayanya yang membuka pintu tanpa
mengetuk lebih dulu. Wajah mereka mirip. Yang membedakan hanyalah rambutnya
yang cokelat dan pendek sebahu.
Gadis
itu—Kirana tersenyum samar seperti biasa lalu menaruh botol penyemprot kembali
ke rak.
“Ah,
kau telanjang kaki lagi…,” komentar gadis yang baru masuk tadi. “Serpihan
kayunya memang setiap hari dibersihkan, tapi kau tetap harus memakai alas kaki.
Sebentar..” Dia mengambil sepasang sandal kayu dengan hiasan bunga merah muda
tidak jauh dari sana. Selanjutnya yang dilakukan gadis itu adalah berjongkok di
depan manekin tadi dan menyodorkannya sandal tersebut.
Seperti
anak yang baru bisa berjalan, juga yang tidak nyaman memakai alas kaki,
ekspresinya tampak enggan memakainya.
“Hari
ini libur? Tidak kerja sambilan lagi?” tanya kembarannya.
Kirana
duduk di bangku panjang yang menghadap meja yang di atasnya berserakan pot
serta tanah.
“Kupikir
kau tidak suka aku bekerja sambilan.. Orchidee..,” balasnya pelan.
Gadis
yang dipanggilnya Orchidee itu langsung mengambil duduk di seberang Kirana.
“Aku
cuma khawatir.” Dia mengangkat bahu. “Kau selalu tampak sakit. Biasanya kau
hanya berdiam dalam ruangan. Aku hanya takut kau tiba-tiba pingsan setelah
bekerja delapan jam dalam sehari. Fellon yang memberitahu.”
Kirana
mengambil segenggam tanah dari sak kertas lalu menaruhnya ke dalam pot baru.
“Tapi
setelah beberapa hari ini.. aku menyerah,” kata Orchidee yang kemudian menopang
dagu dengan kedua tangan. “Kau kelihatan bahagia.”
Hening
sejenak. Kirana menunggu sampai tanah dalam potnya cukup untuk menanam bibit
tanaman mawar yang baru. Dia tetap diam sampai akhirnya kedua sudut bibirnya
terangkat membentuk seulas senyum.
“Sangat..
bahagia..”
***
Chan
sedang ada di rumahnya. Dia tinggal bersama dengan adik perempuannya yang baru
duduk di bangku SMP. Karena hari ini bukan jatah dia bekerja, laki-laki itu
berencana di rumah saja untuk membereskan pekerjaan rumah. Dia biasa
melakukannya ketika hari libur. Saat menggeledah ransel, Chan mengerutkan
kening mendapati celana jeans-nya
menjelma menjadi celana yang dalam kondisi yang bagus, bahkan seperti kembali
baru. Jahitan-jahitan yang menghiasi celana jeans-nya
dulu telah lenyap.
Itu
bukan miliknya, batin Chan bingung. Apa mungkin milik temannya tidak sengaja
masuk ke sana?
Chan
menggeledah ranselnya lagi, sampai-sampai isi ransel itu dia tumpahkan semua ke
lantai. Kerut di dahinya bertambah karena dia tidak menemukan jeans lusuhnya. Laki-laki itu pun
tertegun sembari menatap aneh ke jeans
baru tadi. Tangannya lalu meremas-remas celana itu, dan mendadak dia menemukan
secarik kertas yang terselip di sakunya.
Milikmu.
Satu
kata yang tertulis di sana langsung membuat alis Chan bertaut lagi. Siapa? Dia
membatin. Apa maksudnya mengganti jeans
lusuh Chan dengan celana sejenis yang baru?
***
Laki-laki
itu melangkah menyusuri jalan lengang ketika langit masih agak gelap. Pukul
empat pagi. Tubuhnya lalu berhenti tepat di depan pintu rumah makan tempatnya
bekerja kurang lebih enam bulan ini. Benaknya melamun. Dia memutar kunci dalam
keadaan setengah sadar. Setelah pintu itu dibuka, dia masuk lalu menutupnya.
Mendadak dia terkesiap keras melihat sesosok perempuan berambut hitam dan
berbaju putih menempati meja di sudut ruangan. Saat menyipitkan mata,
memperhatikan gadis itu baik-baik, barulah Cakra bisa menarik napas lega.
“Waktu
aku masuk tadi, pintunya masih terkunci,” katanya dengan nada memprotes sambil
menunjuk ke arah pintu.
Kirana
yang saat itu tengah mengelap satu per satu piring, balas memandangnya tanpa
ekspresi.
“Aku
punya kunci cadangan..,” tanggap gadis itu pelan.
Cakra
yang sebenarnya kesal lalu mengangguk-angguk sembari menenangkan jantungnya yang
sempat memompa dua kali lebih cepat. Melihat tidak ada orang selain mereka di
sana, laki-laki itu menghampiri Kirana lalu duduk di depannya setelah
menyampirkan tas selempangnya ke pinggiran sandaran kursi.
“Kau
selalu berangkat sepagi ini?” tanya Cakra.
Pandangan
Kirana beringsut ke bawah, mengamati piring yang sedang dia lap. Tanpa menatap
Cakra, dia menjawab.
“Aku
terbiasa bangun pagi..”
“Tetap
saja,” ujar Cakra tidak habis pikir. “Ini baru jam empat lewat sedikit.
Memangnya kau bangun jam berapa? Tidak seperti penampilanmu, sepertinya kau
tipe pekerja keras ya? Apa kau tidak merasa sayang bekerja di sini, bukannya
pergi ke sekolah?”
“Aku
tidak pernah sekolah..”
Cakra
mengerjap.
“Apa?”
Dia terkejut. “Nggak mungkin. Orangtuamu tidak pernah mendaftarkanmu ke
sekolah? Atau… keluargamu tidak bisa membiayai makanya kau bekerja?”
Kirana
diam. Dia memandang pantulan wajahnya sendiri di permukaan piring yang
mengkilap.
“Maaf,”
ucap Cakra. “Nggak seharusnya aku mengomentari seperti tadi.”
Keduanya
lalu saling diam, sama-sama berselimut kekakuan. Tanpa Cakra sadari, Kirana
mengamati wajah laki-laki itu lagi. Pandangan itu menelisik tiap perubahan pada
air muka Cakra.
“Kenapa
gelisah..?” tanya Kirana kemudian, matanya turun lagi pada piring yang dia lap.
“Hah?”
“Kau
sedang gelisah.. ada yang membuatmu khawatir..”
Cakra
mengerutkan kening. Sesaat kemudian dia tersenyum getir.
“Apa
sejelas itu dari wajahku?” Dia bertanya. “Yah… sayang sekali aku tidak bisa
memberitahumu. Tapi terimakasih sudah memperhatikanku. Aku harus siap-siap di
dapur.”
Cakra
beranjak berdiri. Kirana melihat sosok belakangnya setelah dia menyampirkan
kembali tas selempangnya di bahu. Sebelum Cakra masuk ke dapur, dering ponsel
langsung mengalihkan perhatiannya. Laki-laki itu mematung di tempat ketika
menatap layar benda kecil itu. Kirana mendengar dia berdecap lalu
terang-terangan mendengus keras. Dia bahkan melayangkan pukulan pelan ke
dinding.
Laki-laki
itu punya masalah—siapa pun tahu. Kirana tidak melihat apa pun yang bisa
menjadi alasan dia untuk membantunya, jadi… lebih baik kalau gadis itu tidak
bertanya lebih jauh lagi dengan meneruskan pertanyaan tadi.
Tapi
siapa yang sangka, Cakra kemudian berbalik menghampiri Kirana lagi. Dia menelan
ludah dulu sebelum mengatakannya secara jelas, dibumbui sedikit rasa putus asa.
“Temani
aku.. ke pesta. Aku akan membayarmu.”

0 komentar:
Posting Komentar