Welcome to Disaster Maker Club (5): Girl on the Bridge (End)

Selasa, 17 November 2015



Ruang tengah sepi. Bukan karena tidak ada orang di sana. Sebaliknya, nyaris semua orang hadir di tempat itu, berkutat dengan pikiran masing-masing, runyam dan rumit. Meski sebenarnya telah terbiasa dirundung masalah yang mempersulit mereka sejauh ini, atau juga mengatasi segala persoalan pelik ketika diminta, baru kali ini—terlepas dari masalah apa yang dialami gadis yang dari luar nampaknya baik-baik saja itu—mereka menyaksikan orang yang sengaja melenyapkan diri. Tentu kasusnya akan berbeda jika dia bukan manusia. Makhluk berwujud seperti manusia di bawah binaan Mr. Elios memang tidak akan mengerti maksudnya.

Sekali mati, manusia akan hilang selamanya. Mereka makhluk lemah yang bisa mati hanya gara-gara bakteri masuk ke pori-pori kulit.

Membiarkan suara detik jarum jam memenuhi ruangan itu, mereka bungkam untuk alasan yang kurang lebih sama—kecuali mungkin dua orang. Hidung Shin masih mengeluarkan darah. Gadis itu mimisan hebat setelah menggunakan hampir seluruh energinya untuk menumbuhkan tumbuhan sekejap untuk menolong Agatha. Zein memangku kepalanya dan memegangi kantung es yang menutupi hampir seluruh bagian wajah Shin. Sementara Eva… tidak diketahui rimbanya, mengingat di luar masih hujan deras. Yang pasti dia masih ada di dalam rumah itu—Zein berani jamin, dan dia bersumpah masih bisa mencium bau di sana.

“Baiklah…” Mr. Elios akhirnya angkat bicara. “Lana, bagaimana dia?”

Lana sedang berdiri bersandar dekat tepian pintu, melihat ranjang di kamar dekat ruang tengah—kamar Shin. Gadis yang mereka tolong sedang berbaring di sana.

“Matanya bergerak-gerak,” jawab Lana. “Dia akan bangun sebentar lagi.”

“Ada yang tahu kenapa dia sampai senekat itu?” tanya Mr. Elios lagi. “Yang sering kelihatan dengannya barangkali.”

Snare, Zein, Eero, dan Laz kompak menoleh ke arah Agatha diikuti Audin. Gadis itu sadar dengan pandangan yang ditujukan padanya namun dia memilih membisu. Dia sedang duduk berselonjor kaki di atas sofa, dengan bagian lutut kaki kanan yang diletakkan agak tinggi karena dijejali bantal. Audin telah mengoleskan obat ke luka yang robek menganga di sana. Mungkin tersayat serpihan kayu yang hanyut di dalam sungai.

Menghela napas karena pertanyaannya tidak ditanggapi dan hening kembali membuat atmosfer kaku, Mr. Elios pun mengalihkan pandangannya pada Laz.

“Hilangkan tanaman sulur itu,” perintahnya. “Kau tidak perlu membunuhnya. Potong saja supaya orang tidak akan tahu ada tanaman sebesar itu tumbuh di dasar sungai.”

Laz mengangkat alis lalu menjawab santai, “Oke.” Setelahnya, laki-laki itupun pergi.

Ketika berjalan, dia mengeluarkan gantungan kunci dengan hiasan-hiasan yang bergemerincing. Laz mengambil salah satunya yang berbentuk kapak. Detik selanjutnya kapak itu membesar hingga seukuran pintu rumah mereka. Tidak mau repot-repot mengangkat benda itu, Laz pun menyeretnya sampai ke sungai.

Sleeping Beauty is awake,” umum Lana, menarik semuanya paksa dari lamunan.

Mr. Elios hendak menghampiri gadis itu namun tiba-tiba bahunya disenggol oleh anak yang berjalan cepat dan mencapai kamar itu pertama kali. Yang lainpun menyusul—kecuali Shin yang kepalanya lebih dulu diletakkan ke atas bantal dengan hati-hati oleh Zein.

“Perban—..” Audin baru akan mengingatkannya namun urung.

Awalnya gadis itu tampak kebingungan karena tidak mengenali tempat dia berada sekarang. Ketika mengangkat wajah dan langsung melihat Agatha di hadapannya, dia mematung.

“’Kenapa aku masih hidup?’” Agatha menyindir sinis menggantikan pertanyaan yang tidak sempat gadis itu ucapkan.

Dia—Dyar mengerjap sambil menelan ludah, sementara tangannya meremas selimutnya kuat-kuat. Mengalihkan pandangannya, dia tidak sadar sedetik kemudian Agatha melangkah mendekatinya lalu menampar keras gadis itu.

Lana dan Zein menganga, tidak jauh berbeda dengan ekspresi terkejut yang lain. Mr. Elios menepuk bahu Eero, memberinya isyarat untuk menarik Agatha mundur. Sekarang laki-laki itu memberanikan maju dengan air muka bingung.

“Masih tidak tahu kenapa kau tidak kunjung berhasil? Masih menyalahkan orang yang lebih hebat darimu dan selalu dimudahkan, sedangkan kau terus bekerja keras tapi selalu gagal?! SADARLAH KAU, BRENGSEK!! AKU BAHKAN MENYESAL TELAH MENOLONGMU!!!”

Semburat perasaan aneh tiba-tiba menjalar dalam batin Audin.

“Wow! Wow! Ayo kita keluar ya. Kita keluar!” Eero berusaha menghalaunya dan menarik Agatha keluar, namun tetap saja dia tidak bisa langsung mengunci mulut gadis itu.

“Kau bilang kalau kau menyukainya lebih dari apa pun! Kau bilang kalau kau bisa menuangkan jiwamu tiap kali melakukannya! Mau tahu kenapa kau kalah dan ayahmu membuangmu?!!”

“Atha, please…” Zein mencoba menghentikannya.

“Sebut namaku dengan benar, kau sialan!!” semprot Agatha beralih pada Zein namun hanya sekejap. Mata tajamnya kembali pada Dyar yang berkaca-kaca. “Bukan karena orang lain lebih hebat darimu! Persetan juga dengan mereka menyuap para juri! KAU KALAH KARENA MENGOTORI PERMAINANMU DENGAN NAPSU MENJIJIKKAN DAN EGOISMU!!”

Tepat saat itu, satu bulir air mata Dyar jatuh.

Agatha menepis kasar tangan Eero yang masih akan mendorongnya keluar. Gadis itu lalu berjalan agak pincang ke kamarnya yang terletak di lantai atas—itupun dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakkan. Audin miris membayangkan kalau lukanya akan kembali menganga dan merembes keluar dari pembalut yang telah dia pasang—tapi sepertinya copot sebagian ketika Agatha berjalan cepat menghampiri Dyar tadi.

Dyar terisak. Zein buru-buru duduk dekatnya lalu menghibur gadis itu. Mr. Elios pun hanya bisa menghela napas panjang kemudian menyuruh yang lain pergi. Semuanya kecuali dua gadis tadipun keluar ruangan hingga pintu kamar itu ditutup lagi. Namun ketika yang lain kembali ke tempat masing-masing, Audin masih bergeming di depan pintu. Tanpa ada yang melihat, gadis itu menunduk murung ketika bersandar di pintu tersebut.

Entahlah, mungkin... apa yang Dyar alami tidak jauh berbeda dengannya. Dulu.

***

Agatha memang menaiki tangga sendirian. Tapi ketika menyadari ada seseorang yang mengikutinya di belakang, gadis itu tidak segan-segan langsung membalikkan badan dengan tangan kanan terangkat, hendak melayangkan tamparan sekali lagi. Namun orang yang mengikutinya ternyata telah lebih dulu mengantisipasi hal tersebut hingga dia berhasil menahan tangan Agatha.

“Untuk apa tamparan ini?” tanya Snare.

“Aku heran kau masih perlu bertanya,” balas Agatha sengit dan langsung menarik tangannya lagi. Pandangan menyorot tajam menghujam mata Snare. “Jangan kira aku tidak tahu apa yang belakangan kau lakukan.”

“Karena tidak menolongnya?”

Satu tamparan langsung mendarat di pipi Snare. Laki-laki itu termangu. Tentu saja dia tidak mengira akan ada tamparan gelombang ke dua.

“Sedikit saja kau sentuh Dyar, aku akan membunuhmu.”

Setelah melontarkan kata ancaman itu, Snare melihat Agatha berbalik pergi. Gadis itu kentara menunjukkan kekesalannya dengan membanting pintu keras-keras hingga lantai yang Snare pijak sedikit bergetar. Alih-alih terdiam gusar, Snare justru tersenyum. Setidaknya meski kasar, gadis itu jelas memperhatikannya—terutama rasa lapar yang dirasakan Snare.

Oh, baiklah. Snare hanya harus mencari mangsa lain. Sesederhana itu.

***

Audin hanya sempat membeli sebungkus roti. Dia enggan makan di kantin karena tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Teman-teman DM yang lain pun menghilang entah ke mana. Yang pasti mereka pasti sibuk atau asyik dengan urusan masing-masing hingga tidak merasa perlu selalu bersama-sama tiap ada di sekolah. Toh pada akhirnya semuanya akan pulang ke rumah yang sama.

“Kau tampak baik-baik saja. Merindukanku?”

Ingatan akan semalam masih tampak jelas dalam benak Audin. Kembarannya itu—Demetrin suka sekali menyeringai. Terakhir bahkan, dia berani menyentuh Audin lalu mencium pipinya. Alih-alih menyentak kasar Demetrin, Audin menyembunyikan amarahnya dalam mata yang nanar.

“Sampai kapan kau menatapku seperti itu? Melunaklah. Karena aku yakin wajahmu akan persis seperti itu saat aku menjemputmu suatu hari nanti.” Dia berbisik lembut. “Sampai jumpa lagi… Demetria..”

Karena dia, Audin ingin melupakannya. Iblis yang membuat dia ingin mengubur nama lahirnya dalam-dalam hingga tidak pernah ditemukan. Dia merasa sungguh bodoh telah mempercayai Demetrin selama belasan tahun mereka tumbuh bersama. Pada akhirnya iblis itu mengkhianatinya, sengaja mendorongnya ke jurang tercuram.

Audin melihat bangku di bawah pohon samping barak sekolah kosong ketika tiba-tiba seorang gadis menubruknya keras. Roti yang dibawa Audin jatuh sedangkan gelas plastik yang dibawa gadis tadi menumpahkan isinya ke bajunya.

“Menjengkelkan sekali!” umpat gadis itu lalu menatap tajam ke Audin—menyalahkannya. “Kau—!” Bentakan gadis itu seketika berhenti tatkala dia merasakan panas menyengat di saku roknya. Dia memekik. Ada asap samar-samar di sana. “Ponselku! Ponselku!!”

Audin terbengong melihat gadis itu lalu buru-buru berlari meninggalkannya, lupa pada bajunya yang basah dan kotor. Memungut bungkusan rotinya, Audin melihat Eero berdiri bersandar ke dinding dekat pintu gedung serba guna tidak jauh darinya sambil menyilangkan tangan. Laki-laki itu tersenyum pada Audin juga sedikit melambaikan tangan.

“Aku tidak bisa membiarkanmu punya masalah dengan anak tadi. Dia salah satu anak paling menjengkelkan di sini. Zein bahkan tidak menyukainya,” kata Eero saat dia dan Audin berjalan beriringan menuju kelas.

“Kalau begitu.. ponselnya tadi.. perbuatanmu?” tanya Audin.

Eero hanya tersenyum.

“Omong-omong, aku selalu lupa menanyakan ini. Apakah orang luar selain Mr. Elios tahu kalau penghuni DM bukan orang biasa?”

“Yang lain tidak tahu. Kecuali Kepala Sekolah,” jawab Eero. “Mr. Elios telah memantrai kita sehingga apa pun yang kita lakukan menggunakan kekuatan, tidak akan terlalu terlihat aneh di mata mereka. Tentu saja, kita tetap harus berusaha menyembunyikannya.”

“Seperti perisai yang diciptakan Mr. Elios semalam?”

“Seperti itu.” Eero mengangguk.

Keduanya sama-sama mengerutkan kening ketika samar-samar mendengar suara derap kaki yang makin lama makin dekat. Saat Audin dan Eero menoleh, mereka langsung melihat Zein berlari seperti orang kesetanan.

“Audin!! AUDIN!!” serunya, mengundang perhatian siswa-siswa lain yang ada di sekitar situ. “Tolong!”

“Ha?”

Zein berhenti berlari dan mencoba mengatur kembali napasnya dengan berpegangan pada lutut.

“Tolong… Rosalinda masuk ke lubang… dalam sekali lubangnya!”

“Siapa Rosalinda?” Audin mengernyit. Bukannya menjawab, Zein langsung menyeretnya ke belakang gedung sekolah, bagian kandang peliharaan. Di sana mereka mendapati seekor anak ayam terperosok ke lubang di tanah yang sangat dalam.

Seseorang mengamati mereka dari kejauhan. Pandangannya terarah tidak hanya pada Zein dan Audin, melainkan juga di sekitar mereka. Orang itu lalu menghembuskan napas kecewa. Orang yang dicarinya ternyata tidak ada di sana.

0 komentar: