Ruang
tengah sepi. Bukan karena tidak ada orang di sana. Sebaliknya, nyaris semua
orang hadir di tempat itu, berkutat dengan pikiran masing-masing, runyam dan
rumit. Meski sebenarnya telah terbiasa dirundung masalah yang mempersulit
mereka sejauh ini, atau juga mengatasi segala persoalan pelik ketika diminta,
baru kali ini—terlepas dari masalah apa yang dialami gadis yang dari luar
nampaknya baik-baik saja itu—mereka menyaksikan orang yang sengaja melenyapkan
diri. Tentu kasusnya akan berbeda jika dia bukan manusia. Makhluk berwujud
seperti manusia di bawah binaan Mr. Elios memang tidak akan mengerti maksudnya.
Sekali
mati, manusia akan hilang selamanya. Mereka makhluk lemah yang bisa mati hanya
gara-gara bakteri masuk ke pori-pori kulit.
Membiarkan
suara detik jarum jam memenuhi ruangan itu, mereka bungkam untuk alasan yang
kurang lebih sama—kecuali mungkin dua orang. Hidung Shin masih mengeluarkan darah.
Gadis itu mimisan hebat setelah menggunakan hampir seluruh energinya untuk
menumbuhkan tumbuhan sekejap untuk menolong Agatha. Zein memangku kepalanya dan
memegangi kantung es yang menutupi hampir seluruh bagian wajah Shin. Sementara
Eva… tidak diketahui rimbanya, mengingat di luar masih hujan deras. Yang pasti
dia masih ada di dalam rumah itu—Zein berani jamin, dan dia bersumpah masih
bisa mencium bau di sana.
“Baiklah…”
Mr. Elios akhirnya angkat bicara. “Lana, bagaimana dia?”
Lana
sedang berdiri bersandar dekat tepian pintu, melihat ranjang di kamar dekat
ruang tengah—kamar Shin. Gadis yang mereka tolong sedang berbaring di sana.
“Matanya
bergerak-gerak,” jawab Lana. “Dia akan bangun sebentar lagi.”
“Ada
yang tahu kenapa dia sampai senekat itu?” tanya Mr. Elios lagi. “Yang sering
kelihatan dengannya barangkali.”
Snare,
Zein, Eero, dan Laz kompak menoleh ke arah Agatha diikuti Audin. Gadis itu
sadar dengan pandangan yang ditujukan padanya namun dia memilih membisu. Dia
sedang duduk berselonjor kaki di atas sofa, dengan bagian lutut kaki kanan yang
diletakkan agak tinggi karena dijejali bantal. Audin telah mengoleskan obat ke
luka yang robek menganga di sana. Mungkin tersayat serpihan kayu yang hanyut di
dalam sungai.
Menghela
napas karena pertanyaannya tidak ditanggapi dan hening kembali membuat atmosfer
kaku, Mr. Elios pun mengalihkan pandangannya pada Laz.
“Hilangkan
tanaman sulur itu,” perintahnya. “Kau tidak perlu membunuhnya. Potong saja
supaya orang tidak akan tahu ada tanaman sebesar itu tumbuh di dasar sungai.”
Laz
mengangkat alis lalu menjawab santai, “Oke.” Setelahnya, laki-laki itupun
pergi.
Ketika
berjalan, dia mengeluarkan gantungan kunci dengan hiasan-hiasan yang
bergemerincing. Laz mengambil salah satunya yang berbentuk kapak. Detik
selanjutnya kapak itu membesar hingga seukuran pintu rumah mereka. Tidak mau
repot-repot mengangkat benda itu, Laz pun menyeretnya sampai ke sungai.
“Sleeping Beauty is awake,” umum Lana, menarik semuanya paksa dari lamunan.
Mr.
Elios hendak menghampiri gadis itu namun tiba-tiba bahunya disenggol oleh anak
yang berjalan cepat dan mencapai kamar itu pertama kali. Yang lainpun
menyusul—kecuali Shin yang kepalanya lebih dulu diletakkan ke atas bantal
dengan hati-hati oleh Zein.
“Perban—..”
Audin baru akan mengingatkannya namun urung.
Awalnya
gadis itu tampak kebingungan karena tidak mengenali tempat dia berada sekarang.
Ketika mengangkat wajah dan langsung melihat Agatha di hadapannya, dia
mematung.
“’Kenapa
aku masih hidup?’” Agatha menyindir sinis menggantikan pertanyaan yang tidak
sempat gadis itu ucapkan.
Dia—Dyar
mengerjap sambil menelan ludah, sementara tangannya meremas selimutnya
kuat-kuat. Mengalihkan pandangannya, dia tidak sadar sedetik kemudian Agatha
melangkah mendekatinya lalu menampar keras gadis itu.
Lana
dan Zein menganga, tidak jauh berbeda dengan ekspresi terkejut yang lain. Mr.
Elios menepuk bahu Eero, memberinya isyarat untuk menarik Agatha mundur.
Sekarang laki-laki itu memberanikan maju dengan air muka bingung.
“Masih
tidak tahu kenapa kau tidak kunjung berhasil? Masih menyalahkan orang yang
lebih hebat darimu dan selalu dimudahkan, sedangkan kau terus bekerja keras
tapi selalu gagal?! SADARLAH KAU, BRENGSEK!! AKU BAHKAN MENYESAL TELAH
MENOLONGMU!!!”
Semburat
perasaan aneh tiba-tiba menjalar dalam batin Audin.
“Wow!
Wow! Ayo kita keluar ya. Kita keluar!” Eero berusaha menghalaunya dan menarik
Agatha keluar, namun tetap saja dia tidak bisa langsung mengunci mulut gadis
itu.
“Kau
bilang kalau kau menyukainya lebih dari apa pun! Kau bilang kalau kau bisa
menuangkan jiwamu tiap kali melakukannya! Mau tahu kenapa kau kalah dan ayahmu
membuangmu?!!”
“Atha, please…” Zein mencoba menghentikannya.
“Sebut
namaku dengan benar, kau sialan!!” semprot Agatha beralih pada Zein namun hanya
sekejap. Mata tajamnya kembali pada Dyar yang berkaca-kaca. “Bukan karena orang
lain lebih hebat darimu! Persetan juga dengan mereka menyuap para juri! KAU
KALAH KARENA MENGOTORI PERMAINANMU DENGAN NAPSU MENJIJIKKAN DAN EGOISMU!!”
Tepat
saat itu, satu bulir air mata Dyar jatuh.
Agatha
menepis kasar tangan Eero yang masih akan mendorongnya keluar. Gadis itu lalu
berjalan agak pincang ke kamarnya yang terletak di lantai atas—itupun dengan
kaki yang sengaja dihentak-hentakkan. Audin miris membayangkan kalau lukanya
akan kembali menganga dan merembes keluar dari pembalut yang telah dia
pasang—tapi sepertinya copot sebagian ketika Agatha berjalan cepat menghampiri
Dyar tadi.
Dyar
terisak. Zein buru-buru duduk dekatnya lalu menghibur gadis itu. Mr. Elios pun
hanya bisa menghela napas panjang kemudian menyuruh yang lain pergi. Semuanya
kecuali dua gadis tadipun keluar ruangan hingga pintu kamar itu ditutup lagi.
Namun ketika yang lain kembali ke tempat masing-masing, Audin masih bergeming
di depan pintu. Tanpa ada yang melihat, gadis itu menunduk murung ketika
bersandar di pintu tersebut.
Entahlah,
mungkin... apa yang Dyar alami tidak jauh berbeda dengannya. Dulu.
***
Agatha memang
menaiki tangga sendirian. Tapi ketika menyadari ada seseorang yang mengikutinya
di belakang, gadis itu tidak segan-segan langsung membalikkan badan dengan
tangan kanan terangkat, hendak melayangkan tamparan sekali lagi. Namun orang
yang mengikutinya ternyata telah lebih dulu mengantisipasi hal tersebut hingga
dia berhasil menahan tangan Agatha.
“Untuk
apa tamparan ini?” tanya Snare.
“Aku
heran kau masih perlu bertanya,” balas Agatha sengit dan langsung menarik
tangannya lagi. Pandangan menyorot tajam menghujam mata Snare. “Jangan kira aku
tidak tahu apa yang belakangan kau lakukan.”
“Karena
tidak menolongnya?”
Satu
tamparan langsung mendarat di pipi Snare. Laki-laki itu termangu. Tentu saja
dia tidak mengira akan ada tamparan gelombang ke dua.
“Sedikit
saja kau sentuh Dyar, aku akan membunuhmu.”
Setelah
melontarkan kata ancaman itu, Snare melihat Agatha berbalik pergi. Gadis itu
kentara menunjukkan kekesalannya dengan membanting pintu keras-keras hingga
lantai yang Snare pijak sedikit bergetar. Alih-alih terdiam gusar, Snare justru
tersenyum. Setidaknya meski kasar, gadis itu jelas memperhatikannya—terutama
rasa lapar yang dirasakan Snare.
Oh,
baiklah. Snare hanya harus mencari mangsa lain. Sesederhana itu.
***
Audin
hanya sempat membeli sebungkus roti. Dia enggan makan di kantin karena tidak
ada seorang pun yang mengenalnya. Teman-teman DM yang lain pun menghilang entah
ke mana. Yang pasti mereka pasti sibuk atau asyik dengan urusan masing-masing
hingga tidak merasa perlu selalu bersama-sama tiap ada di sekolah. Toh pada
akhirnya semuanya akan pulang ke rumah yang sama.
“Kau tampak baik-baik saja. Merindukanku?”
Ingatan
akan semalam masih tampak jelas dalam benak Audin. Kembarannya itu—Demetrin
suka sekali menyeringai. Terakhir bahkan, dia berani menyentuh Audin lalu
mencium pipinya. Alih-alih menyentak kasar Demetrin, Audin menyembunyikan
amarahnya dalam mata yang nanar.
“Sampai kapan kau menatapku seperti itu?
Melunaklah. Karena aku yakin wajahmu akan persis seperti itu saat aku menjemputmu
suatu hari nanti.” Dia berbisik lembut. “Sampai jumpa lagi… Demetria..”
Karena
dia, Audin ingin melupakannya. Iblis yang membuat dia ingin mengubur nama
lahirnya dalam-dalam hingga tidak pernah ditemukan. Dia merasa sungguh bodoh
telah mempercayai Demetrin selama belasan tahun mereka tumbuh bersama. Pada
akhirnya iblis itu mengkhianatinya, sengaja mendorongnya ke jurang tercuram.
Audin
melihat bangku di bawah pohon samping barak sekolah kosong ketika tiba-tiba
seorang gadis menubruknya keras. Roti yang dibawa Audin jatuh sedangkan gelas
plastik yang dibawa gadis tadi menumpahkan isinya ke bajunya.
“Menjengkelkan
sekali!” umpat gadis itu lalu menatap tajam ke Audin—menyalahkannya. “Kau—!”
Bentakan gadis itu seketika berhenti tatkala dia merasakan panas menyengat di
saku roknya. Dia memekik. Ada asap samar-samar di sana. “Ponselku! Ponselku!!”
Audin
terbengong melihat gadis itu lalu buru-buru berlari meninggalkannya, lupa pada
bajunya yang basah dan kotor. Memungut bungkusan rotinya, Audin melihat Eero
berdiri bersandar ke dinding dekat pintu gedung serba guna tidak jauh darinya
sambil menyilangkan tangan. Laki-laki itu tersenyum pada Audin juga sedikit
melambaikan tangan.
“Aku
tidak bisa membiarkanmu punya masalah dengan anak tadi. Dia salah satu anak
paling menjengkelkan di sini. Zein bahkan tidak menyukainya,” kata Eero saat
dia dan Audin berjalan beriringan menuju kelas.
“Kalau
begitu.. ponselnya tadi.. perbuatanmu?” tanya Audin.
Eero
hanya tersenyum.
“Omong-omong,
aku selalu lupa menanyakan ini. Apakah orang luar selain Mr. Elios tahu kalau
penghuni DM bukan orang biasa?”
“Yang
lain tidak tahu. Kecuali Kepala Sekolah,” jawab Eero. “Mr. Elios telah
memantrai kita sehingga apa pun yang kita lakukan menggunakan kekuatan, tidak
akan terlalu terlihat aneh di mata mereka. Tentu saja, kita tetap harus
berusaha menyembunyikannya.”
“Seperti
perisai yang diciptakan Mr. Elios semalam?”
“Seperti
itu.” Eero mengangguk.
Keduanya
sama-sama mengerutkan kening ketika samar-samar mendengar suara derap kaki yang
makin lama makin dekat. Saat Audin dan Eero menoleh, mereka langsung melihat
Zein berlari seperti orang kesetanan.
“Audin!!
AUDIN!!” serunya, mengundang perhatian siswa-siswa lain yang ada di sekitar
situ. “Tolong!”
“Ha?”
Zein
berhenti berlari dan mencoba mengatur kembali napasnya dengan berpegangan pada
lutut.
“Tolong…
Rosalinda masuk ke lubang… dalam sekali lubangnya!”
“Siapa
Rosalinda?” Audin mengernyit. Bukannya menjawab, Zein langsung menyeretnya ke
belakang gedung sekolah, bagian kandang peliharaan. Di sana mereka mendapati
seekor anak ayam terperosok ke lubang di tanah yang sangat dalam.
Seseorang
mengamati mereka dari kejauhan. Pandangannya terarah tidak hanya pada Zein dan
Audin, melainkan juga di sekitar mereka. Orang itu lalu menghembuskan napas
kecewa. Orang yang dicarinya ternyata tidak ada di sana.
0 komentar:
Posting Komentar