Welcome to Disaster Maker Club (7): The Nerd Boy is Falling in Love

Selasa, 17 November 2015



Kertas-kertas warna berserakan memenuhi meja di sisi paling ujung. Di baliknya, gadis itu sabar menggunting satu per satu kertas yang belum dipotong, sesuai pola yang tergambar di sana. Matanya menerawang seperti sedang melamun. Gadis itu tadinya sempat menggerutu kalau dia akan mati kebosanan dengan hanya menggunting saja hiasan untuk majalah dinding sekolah, meski begitu dia tidak menolak. Dia membisu ketika membawa kardus berisi kertas-kertas itu ke ruang OSIS yang selalu sepi.

“Kau sepertinya senang sekali melakukan hal yang sama berulang-ulang,” komentar Snare yang bergelantungan di lubang ventilasi. Kepalanya ada di bawah, dan kakinya berselonjor keluar. Entah sudah berapa anak yang terkaget-kaget melihat sepasang kaki keluar dari sana.

Agatha tetap diam seperti tidak mendengar.

“Aku lapar. Kau tidak mau ke kantin? Belikan jus tomat buatku,” pinta Snare.

Lagi-lagi tidak ada tanggapan.

“Atau mungkin kau lebih senang aku menghisap di leher salah satu anak.”

Gunting yang digunakan Agatha tetap pada iramanya, tidak ada perubahan. Snare yakin Agatha meragukan kalau dia akan sungguh-sungguh melakukannya. Snare sedang tidak lapar. Baru kemarin dia menghisap darah seekor domba sampai tandas, dan aromanya bahkan masih dirasakan Snare. Jus tomat hanya kadang-kadang dia minum untuk pengganjal perut—meski rasanya tidak terlalu enak.

Beberapa menit lagi terlewat, Snare mulai bosan. Dia akhirnya turun dari ventilasi lalu melangkah mendekati Agatha. Dia menarik kursi sebelahnya, kemudian duduk di hadapan gadis itu. Wajahnya datar namun Snare menangkap aura keruh di sana.

Mendapat ide brilian, Snare pun berkata, “Dyar masih membuat harimu buruk? Harus kuapakan dia?”

Tiba-tiba air dalam akuarium bergerak secepat kilat seperti cambuk mengarah ke Snare. Air itu menyayat wajahnya seketika hingga darah mengalir dari luka robek di pelipis hingga dagu Snare—membuatnya tampak mengerikan. Snare tersenyum, matanya langsung berubah merah menyala padahal yang dia cium adalah bau darahnya sendiri. Laki-laki itu tidak terkejut karena dia memang sengaja memancing emosi Agatha. Hanya saja kali ini emosinya singkat dan ringkas, bukan dengan gertakan atau umpatan.

“Jangan ganggu aku,” kata Agatha pelan dengan tetap menggunting.

Luka memanjang yang ada di wajah Snare perlahan menutup dengan sendirinya. Agak menyakitkan memang, tamparan tadi.

“Mungkin kau akan tertarik dengan hal lain,” kata Snare lagi. “Ini soal gadis yang kau sebut iblis. Kau tahu dia sengaja mencederai salah satu anak di sini kemarin?”

***

“Ada orang di luar.” Zein menggumam sebelum memasukkan sepotong roti ke dalam mulut. Dia tidak melihatnya, hanya merasakan kehadiran seseorang dekat pagar asrama mereka.

“Siapa?” tanya Shin sambil memotong-motong sawi putih.

“Aku tidak kenal. Dia sedang mondar-mandir.”

“Kenapa dia tidak memencet bel? Apa jangan-jangan penguntit?”

“Tidak. Dia teman kita,” kata Audin memberitahu. Dia mengintip keluar lewat jendela. “Namanya Gael. Dia pasti mencari Eva.”

“Gael?” Shin mengerutkan kening. “Anak aneh itu? Darimana kau tahu dia mencari Eva?”

“Aku akan menemuinya.” Audin beranjak keluar. Ketika dia membuka pintu depan, Gael terperanjat. Melihat Audin menghampirinya, dia pun salah tingkah apalagi saat pagar besi itu dibuka gemboknya.

“Ma-maaf.. aku ingin memencet bel, tapi..”

“Mau bertemu Eva?” tanya Audin.

“Ti-tidak! Bukan begitu… Aku memang ingin bertemu dengannya, tapi dia tidak membalas pesanku, jadi… mungkin dia sedang sibuk, atau istirahat.. aku tidak mau mengganggu.”

Terdiam, Audin merasa tidak enak hati pada orang di hadapannya kini. Gael jelas tidak sama dengan Laz ataupun Eero. Guru-guru selalu berkomentar kalau Gael begitu jenius. Nilai-nilainya luar biasa, terutama karena dia anak akselerasi. Tapi melihatnya sekarang, Audin merasa kasihan. Flashdisk milik Gael telah Audin berikan pada Eva, namun tanggapannya menyedihkan.

“Dari Gael? Tidak. Terimakasih. Katakan padanya aku sudah muak dengan film sejarah. Dulu aku memang sering menontonnya karena nilai sejarahku jeblok. Sekarang tidak lagi, jadi… mungkin kapan-kapan saja kalau aku butuh.”

Dengan kata lain, Eva hanya memanfaatkannya saja.

Audin menghela napas panjang. Apa yang harus dia lakukan? Gael tampak seperti sebatang korek api yang akan langsung menjadi abu jika dinyalakan. Gael korek kayunya, sedangkan Eva api. Persis sekali.

“Ka-kalau begitu, aku pulang dulu..”

“Tunggu sebentar,” tahan Audin. “Bagaimana kalau masuk dulu sebentar? Sebentar lagi sepertinya akan hujan. Shin akan membuatkanmu teh.”

Gael sempat ragu, tapi Audin yang tidak sabar langsung menarik lengannya masuk. Di sana laki-laki itu celingukan gugup melihat penghuni-penghuni DM lain yang asing baginya. Zein menatap ke arahnya, tersenyum dengan pipi yang menggembung karena sedang mengunyah. Shin juga tersenyum padanya sekilas lalu kembali mengaduk-aduk kuah dalam panci. Sementara itu Laz dan Eero seperti biasa sedang memutar video games, kali ini bertema balapan liar. Mereka tidak menyadari kehadiran Gael.

“Duduk dulu,” kata Audin menunjuk sofa di belakang Laz dan Eero. Gael mengangguk.

Audin mengambil satu cangkir di lemari layang.

“Sedang apa?” tanya Shin.

“Membuatkan dia teh.”

“Biar aku saja. Kau panggil saja Eva. Katamu tadi dia mencari Eva.”

“Oh, itu…” Audin sempat terdiam. Dia ragu apakah Eva mau menemuinya.

Ketika ditanya kenapa dia tidak menyukai Gael, Audin mendapatkan dua alasan konyol: Eva tidak suka orang yang bergigi kawat. Dia juga tidak suka laki-laki berambut belah tengah. Tapi biar bagaimana pun Gael sudah di sini. Memberitahu Eva tanpa memaksanya ke ruang tengah seharusnya tidak jadi masalah. Siapa tahu meski tidak punya nurani, Eva masih berpegang pada etika.

“Ya, kenapa tidak?” balas Audin lalu segera berlari kecil menaiki tangga.

Bersamaan dengan itu, Lana melayang turun dari lantai dua. Gadis itu terbang, hendak ke ruang tengah. Shin terkesiap. Tanaman sulur yang ada di pojok dapur langsung memanjang dan menjambak rambut Lana hingga gadis itu memekik. Suara bedebum keras terdengar sedetik kemudian.

“Ap—!”

Lana akan protes tapi Zein langsung membekap mulutnya.

“Ada manusia di situ. Mengerti? Manusia. Lazimnya, manusia tidak bisa terbang.” Zein berbisik.

Lana bungkam. Dia kemudian mengangguk mengerti.

Shin dan Zein menghela napas lega. Mereka lalu membiarkan Lana yang berjalan ke ruang tengah. Diam-diam gadis itu mengintip ada siapa di sana selain Laz dan Eero. Dia melihat Gael. Giginya menggigit bibir bawah mengenali anak itu serta gosip yang beredar tentangnya. Hanya sekilas, tapi dia tahu kalau keberadaannya di sini akan sia-sia saja.

Terbukti setelahnya sampai Gael pamit pulang pun, Eva tidak menemuinya.

***

Mr. Elios datang ke asrama sore hari berikutnya dan memberikan instruksi semua penghuni DM harus berkumpul saat itu juga. Yang jelas mereka semua baru saja pulang sekolah dengan baju seragam yang masih melekat di badan. Sekarang setelah mereka semua ada di ruang tengah—kecuali Snare, Mr. Elios yang duduk di sofa paling ujung mengutarakan maksudnya.

“Pagi ini ada aroma dari jejak seekor iblis tercium. Penjaga yang semalam ceroboh, tidak mengetahui ada anak yang menyusup ke kelasnya sendiri. Mungkin ada barang yang tertinggal. Yang jelas sekarang, dia menghilang.”

“Tunggu sebentar.” Laz menyela. “Kenapa iblis bisa masuk ke sana? Bukankah anda sendiri yang menciptakan perisai pelindungnya? Kalau anak itu diculik di luar sekolah mungkin saja. Tapi kenapa bisa di dalam?”

“Iblis memang tidak akan bisa masuk selama perisai itu terpasang.” Mr. Elios membenarkan. “Iblis kali ini kurasa cukup pintar. Dia pasti mengarahkan seseorang untuk melepas salah satu kertas mantra yang kupasang. Mantra itu tidak punya pengaruh apa pun selain pada iblis dan siluman, atau makhluk semacam mereka.”

“Karena sudah terlanjur terjadi, Mr. Elios mau kami mencari dua anak itu?” Kali ini Zein menyambung.

“Yang diculik ada dua anak?” tanya Eero heran.

Zein mengangguk. “Tangan salah satunya menggores sepanjang jalan di lorong dekat barak. Sepertinya diseret dalam keadaan tidak sadar. Sementara yang satunya lagi—perempuan. Ada beberapa helai rambutnya yang rontok di sana. Mereka mengarah ke Diadra—kata Michael.”

“Siapa itu?” tanya Audin.

“Salah satu gagak yang berdiam dekat sana,” jawab Zein.

Hening. Diadra merupakan hutan yang jarang disentuh, letaknya di sisi paling utara kota yang mereka tinggali ini. Jaraknya lumayan jauh dari sekolah. Kenapa iblis itu nekat sekali berburu mangsa di sekolah?

“Iblis tidak akan semudah itu melahap jiwa mereka. Hanya yang punya sisi gelap yang bisa dimakan—itupun harus dengan mental yang lemah. Akan tambah runyam kalau siluman juga terlibat,” papar Eva yang menyilangkan tangan. “Mereka makan daging—bukan roh.”

“Mereka masih hidup,” kata Mr. Elios. “Kita masih bisa menyelamatkan mereka.”

Shin menggigiti ujung kuku.

Mr. Elios lalu bangkit berdiri. Dia menepuk tangannya sekali kemudian memberikan perintah yang tidak bisa dibantah.

“Eero, kau tinggal. Buat kristal perpindahan sesegera mungkin. Hanya lima anak yang kuizinkan pergi ke sana: Zein, Audin, Laz, Eva, dan Agatha. Lana, kau bisa memantau dari udara, pertajam tangkapan gelombang suara. Shin…”

Gadis yang namanya disebut terakhir oleh Mr. Elios itu mengerjap dan beraut bingung. Shin memang ingin ikut membantu, tapi dia tidak pernah ingin memprotes Mr. Elios. Apa mungkin gurunya itu khawatir dia akan terlalu jauh bertindak seperti ketika Dyar lompat ke sungai dulu? Shin memang kuat, tapi responnya buruk dalam keadaan genting.

“Kau juga tinggal,” kata Mr. Elios akhirnya setelah menghela napas panjang. “Pastikan Eero tidak mengacau. Bersiaplah satu jam lagi.”

Mr. Elios pun pergi setelah menyelesaikan instruksinya, menyisakan keheningan panjang. Shin menggenggam tangannya erat-erat—sedikit kecewa. Eero yang biasanya memecah kekakuan dengan tawa pun kali ini tegang. Laki-laki itu langsung pergi ke kamarnya untuk menciptakan kristal perpindahan. Tidak lama, ruang tengah itupun kosong karena semuanya harus bersiap. Tentunya tidak ada yang mau seragam mereka rusak di tengah perburuan malam nanti.

0 komentar: