Kertas-kertas
warna berserakan memenuhi meja di sisi paling ujung. Di baliknya, gadis itu
sabar menggunting satu per satu kertas yang belum dipotong, sesuai pola yang
tergambar di sana. Matanya menerawang seperti sedang melamun. Gadis itu tadinya
sempat menggerutu kalau dia akan mati kebosanan dengan hanya menggunting saja
hiasan untuk majalah dinding sekolah, meski begitu dia tidak menolak. Dia
membisu ketika membawa kardus berisi kertas-kertas itu ke ruang OSIS yang
selalu sepi.
“Kau
sepertinya senang sekali melakukan hal yang sama berulang-ulang,” komentar
Snare yang bergelantungan di lubang ventilasi. Kepalanya ada di bawah, dan
kakinya berselonjor keluar. Entah sudah berapa anak yang terkaget-kaget melihat
sepasang kaki keluar dari sana.
Agatha
tetap diam seperti tidak mendengar.
“Aku
lapar. Kau tidak mau ke kantin? Belikan jus tomat buatku,” pinta Snare.
Lagi-lagi
tidak ada tanggapan.
“Atau
mungkin kau lebih senang aku menghisap di leher salah satu anak.”
Gunting
yang digunakan Agatha tetap pada iramanya, tidak ada perubahan. Snare yakin
Agatha meragukan kalau dia akan sungguh-sungguh melakukannya. Snare sedang
tidak lapar. Baru kemarin dia menghisap darah seekor domba sampai tandas, dan
aromanya bahkan masih dirasakan Snare. Jus tomat hanya kadang-kadang dia minum
untuk pengganjal perut—meski rasanya tidak terlalu enak.
Beberapa
menit lagi terlewat, Snare mulai bosan. Dia akhirnya turun dari ventilasi lalu
melangkah mendekati Agatha. Dia menarik kursi sebelahnya, kemudian duduk di
hadapan gadis itu. Wajahnya datar namun Snare menangkap aura keruh di sana.
Mendapat
ide brilian, Snare pun berkata, “Dyar masih membuat harimu buruk? Harus
kuapakan dia?”
Tiba-tiba
air dalam akuarium bergerak secepat kilat seperti cambuk mengarah ke Snare. Air
itu menyayat wajahnya seketika hingga darah mengalir dari luka robek di pelipis
hingga dagu Snare—membuatnya tampak mengerikan. Snare tersenyum, matanya
langsung berubah merah menyala padahal yang dia cium adalah bau darahnya
sendiri. Laki-laki itu tidak terkejut karena dia memang sengaja memancing emosi
Agatha. Hanya saja kali ini emosinya singkat dan ringkas, bukan dengan gertakan
atau umpatan.
“Jangan
ganggu aku,” kata Agatha pelan dengan tetap menggunting.
Luka
memanjang yang ada di wajah Snare perlahan menutup dengan sendirinya. Agak
menyakitkan memang, tamparan tadi.
“Mungkin
kau akan tertarik dengan hal lain,” kata Snare lagi. “Ini soal gadis yang kau
sebut iblis. Kau tahu dia sengaja mencederai salah satu anak di sini kemarin?”
***
“Ada
orang di luar.” Zein menggumam sebelum memasukkan sepotong roti ke dalam mulut.
Dia tidak melihatnya, hanya merasakan kehadiran seseorang dekat pagar asrama
mereka.
“Siapa?”
tanya Shin sambil memotong-motong sawi putih.
“Aku
tidak kenal. Dia sedang mondar-mandir.”
“Kenapa
dia tidak memencet bel? Apa jangan-jangan penguntit?”
“Tidak.
Dia teman kita,” kata Audin memberitahu. Dia mengintip keluar lewat jendela.
“Namanya Gael. Dia pasti mencari Eva.”
“Gael?”
Shin mengerutkan kening. “Anak aneh itu? Darimana kau tahu dia mencari Eva?”
“Aku
akan menemuinya.” Audin beranjak keluar. Ketika dia membuka pintu depan, Gael
terperanjat. Melihat Audin menghampirinya, dia pun salah tingkah apalagi saat
pagar besi itu dibuka gemboknya.
“Ma-maaf..
aku ingin memencet bel, tapi..”
“Mau
bertemu Eva?” tanya Audin.
“Ti-tidak!
Bukan begitu… Aku memang ingin bertemu dengannya, tapi dia tidak membalas
pesanku, jadi… mungkin dia sedang sibuk, atau istirahat.. aku tidak mau
mengganggu.”
Terdiam,
Audin merasa tidak enak hati pada orang di hadapannya kini. Gael jelas tidak
sama dengan Laz ataupun Eero. Guru-guru selalu berkomentar kalau Gael begitu
jenius. Nilai-nilainya luar biasa, terutama karena dia anak akselerasi. Tapi
melihatnya sekarang, Audin merasa kasihan. Flashdisk milik Gael telah Audin
berikan pada Eva, namun tanggapannya menyedihkan.
“Dari Gael? Tidak. Terimakasih. Katakan
padanya aku sudah muak dengan film sejarah. Dulu aku memang sering menontonnya
karena nilai sejarahku jeblok. Sekarang tidak lagi, jadi… mungkin kapan-kapan
saja kalau aku butuh.”
Dengan
kata lain, Eva hanya memanfaatkannya saja.
Audin
menghela napas panjang. Apa yang harus dia lakukan? Gael tampak seperti sebatang
korek api yang akan langsung menjadi abu jika dinyalakan. Gael korek kayunya,
sedangkan Eva api. Persis sekali.
“Ka-kalau
begitu, aku pulang dulu..”
“Tunggu
sebentar,” tahan Audin. “Bagaimana kalau masuk dulu sebentar? Sebentar lagi
sepertinya akan hujan. Shin akan membuatkanmu teh.”
Gael
sempat ragu, tapi Audin yang tidak sabar langsung menarik lengannya masuk. Di
sana laki-laki itu celingukan gugup melihat penghuni-penghuni DM lain yang
asing baginya. Zein menatap ke arahnya, tersenyum dengan pipi yang menggembung
karena sedang mengunyah. Shin juga tersenyum padanya sekilas lalu kembali
mengaduk-aduk kuah dalam panci. Sementara itu Laz dan Eero seperti biasa sedang
memutar video games, kali ini bertema
balapan liar. Mereka tidak menyadari kehadiran Gael.
“Duduk
dulu,” kata Audin menunjuk sofa di belakang Laz dan Eero. Gael mengangguk.
Audin
mengambil satu cangkir di lemari layang.
“Sedang
apa?” tanya Shin.
“Membuatkan
dia teh.”
“Biar
aku saja. Kau panggil saja Eva. Katamu tadi dia mencari Eva.”
“Oh,
itu…” Audin sempat terdiam. Dia ragu apakah Eva mau menemuinya.
Ketika
ditanya kenapa dia tidak menyukai Gael, Audin mendapatkan dua alasan konyol:
Eva tidak suka orang yang bergigi kawat. Dia juga tidak suka laki-laki berambut
belah tengah. Tapi biar bagaimana pun Gael sudah di sini. Memberitahu Eva tanpa
memaksanya ke ruang tengah seharusnya tidak jadi masalah. Siapa tahu meski
tidak punya nurani, Eva masih berpegang pada etika.
“Ya,
kenapa tidak?” balas Audin lalu segera berlari kecil menaiki tangga.
Bersamaan
dengan itu, Lana melayang turun dari lantai dua. Gadis itu terbang, hendak ke
ruang tengah. Shin terkesiap. Tanaman sulur yang ada di pojok dapur langsung
memanjang dan menjambak rambut Lana hingga gadis itu memekik. Suara bedebum
keras terdengar sedetik kemudian.
“Ap—!”
Lana
akan protes tapi Zein langsung membekap mulutnya.
“Ada
manusia di situ. Mengerti? Manusia.
Lazimnya, manusia tidak bisa terbang.” Zein berbisik.
Lana
bungkam. Dia kemudian mengangguk mengerti.
Shin
dan Zein menghela napas lega. Mereka lalu membiarkan Lana yang berjalan ke
ruang tengah. Diam-diam gadis itu mengintip ada siapa di sana selain Laz dan
Eero. Dia melihat Gael. Giginya menggigit bibir bawah mengenali anak itu serta
gosip yang beredar tentangnya. Hanya sekilas, tapi dia tahu kalau keberadaannya
di sini akan sia-sia saja.
Terbukti
setelahnya sampai Gael pamit pulang pun, Eva tidak menemuinya.
***
Mr.
Elios datang ke asrama sore hari berikutnya dan memberikan instruksi semua
penghuni DM harus berkumpul saat itu juga. Yang jelas mereka semua baru saja
pulang sekolah dengan baju seragam yang masih melekat di badan. Sekarang
setelah mereka semua ada di ruang tengah—kecuali Snare, Mr. Elios yang duduk di
sofa paling ujung mengutarakan maksudnya.
“Pagi
ini ada aroma dari jejak seekor iblis tercium. Penjaga yang semalam ceroboh,
tidak mengetahui ada anak yang menyusup ke kelasnya sendiri. Mungkin ada barang
yang tertinggal. Yang jelas sekarang, dia menghilang.”
“Tunggu
sebentar.” Laz menyela. “Kenapa iblis bisa masuk ke sana? Bukankah anda sendiri
yang menciptakan perisai pelindungnya? Kalau anak itu diculik di luar sekolah
mungkin saja. Tapi kenapa bisa di dalam?”
“Iblis
memang tidak akan bisa masuk selama perisai itu terpasang.” Mr. Elios
membenarkan. “Iblis kali ini kurasa cukup pintar. Dia pasti mengarahkan
seseorang untuk melepas salah satu kertas mantra yang kupasang. Mantra itu
tidak punya pengaruh apa pun selain pada iblis dan siluman, atau makhluk
semacam mereka.”
“Karena
sudah terlanjur terjadi, Mr. Elios mau kami mencari dua anak itu?” Kali ini
Zein menyambung.
“Yang
diculik ada dua anak?” tanya Eero heran.
Zein
mengangguk. “Tangan salah satunya menggores sepanjang jalan di lorong dekat
barak. Sepertinya diseret dalam keadaan tidak sadar. Sementara yang satunya
lagi—perempuan. Ada beberapa helai rambutnya yang rontok di sana. Mereka
mengarah ke Diadra—kata Michael.”
“Siapa
itu?” tanya Audin.
“Salah
satu gagak yang berdiam dekat sana,” jawab Zein.
Hening.
Diadra merupakan hutan yang jarang disentuh, letaknya di sisi paling utara kota
yang mereka tinggali ini. Jaraknya lumayan jauh dari sekolah. Kenapa iblis itu
nekat sekali berburu mangsa di sekolah?
“Iblis
tidak akan semudah itu melahap jiwa mereka. Hanya yang punya sisi gelap yang
bisa dimakan—itupun harus dengan mental yang lemah. Akan tambah runyam kalau
siluman juga terlibat,” papar Eva yang menyilangkan tangan. “Mereka makan
daging—bukan roh.”
“Mereka
masih hidup,” kata Mr. Elios. “Kita masih bisa menyelamatkan mereka.”
Shin
menggigiti ujung kuku.
Mr.
Elios lalu bangkit berdiri. Dia menepuk tangannya sekali kemudian memberikan
perintah yang tidak bisa dibantah.
“Eero,
kau tinggal. Buat kristal perpindahan sesegera mungkin. Hanya lima anak yang
kuizinkan pergi ke sana: Zein, Audin, Laz, Eva, dan Agatha. Lana, kau bisa
memantau dari udara, pertajam tangkapan gelombang suara. Shin…”
Gadis
yang namanya disebut terakhir oleh Mr. Elios itu mengerjap dan beraut bingung.
Shin memang ingin ikut membantu, tapi dia tidak pernah ingin memprotes Mr. Elios.
Apa mungkin gurunya itu khawatir dia akan terlalu jauh bertindak seperti ketika
Dyar lompat ke sungai dulu? Shin memang kuat, tapi responnya buruk dalam
keadaan genting.
“Kau
juga tinggal,” kata Mr. Elios akhirnya setelah menghela napas panjang. “Pastikan
Eero tidak mengacau. Bersiaplah satu jam lagi.”
Mr.
Elios pun pergi setelah menyelesaikan instruksinya, menyisakan keheningan
panjang. Shin menggenggam tangannya erat-erat—sedikit kecewa. Eero yang
biasanya memecah kekakuan dengan tawa pun kali ini tegang. Laki-laki itu
langsung pergi ke kamarnya untuk menciptakan kristal perpindahan. Tidak lama,
ruang tengah itupun kosong karena semuanya harus bersiap. Tentunya tidak ada
yang mau seragam mereka rusak di tengah perburuan malam nanti.
0 komentar:
Posting Komentar