“Eva,
duluan ya!”
Eva
melambai pada dua teman yang makan bersamanya di kantin. Mereka kembali ke
kelas duluan dengan alasan ada guru yang memanggil. Bersamaan dengan kedua
gadis itu pergi, Eva pun keluar dari dalam kantin sambil membawa satu tusukan
besar sosis bakar ukuran ekstra. Gadis itu dengan santai berjalan ke tangga
menuju lantai dua gedung sekolah sambil mengunyah saat tiba-tiba seseorang
menghadang jalannya.
Mata
Eva mengerjap lalu detik selanjutnya, dia menelan makanan yang telah dia
kunyah.
“Ha-halo,
E-Eva!” sapa laki-laki yang selalu mengundang kerutan di dahi Eva itu. Dia
salah satu siswa di sana—mereka seumuran. Tapi Eva justru merasa anak itu mungkin
beberapa tahun lebih muda darinya.
“Hai,
Gael,” balas Eva menyebut namanya. “Ada apa?” Gadis itu memasukkan segigit
sosis lagi ke mulut.
“Ma-malam
ini, ma-mau tidak mampir ke rumah lagi? A-aku punya film baru yang ba-bagus,
se-seperti film Roma kemarin.”
Eva
tidak langsung menjawab. Gadis itu membuat Gael menunggu beberapa saat dengan
mengunyah penuh hikmat potongan sosis di mulutnya, itupun dengan mata menyipit
serta memutar—seperti sedang berpikir keras mempertimbangkan sesuatu. Tapi
tanpa mengamati baik-baik ekspresi penuh harap Gael saat itu, Eva
menyunggingkan senyum lalu menjawab ajakannya tanpa beban.
“No. Sorry.”
***
Shin
bersenandung. Masih mengenakan seragamnya sore itu, dia menikmati detik demi
detik air yang keluar dari selang untuk menyiram taman belakang asrama DM.
Bunga cosmos, marigold, turnip, sakura, serta bunga-bunga yang disiram olehnya
tanpa terkecuali, mekar saat itu juga. Tidak peduli akan musim, aura yang
dipancarkan gadis itu serupa serbuk ajaib yang mengendalikan tumbuh kembang
tanaman mana pun.
Pandangan
Shin lalu terpaku pada pohon jambu biji yang telah tumbuh setinggi dirinya.
Gadis itu meletakkan teko penyiramnya begitu saja lalu menghampiri pohon
tersebut. Dia kemudian tersenyum. Tangan Shin mengulur, mendekat pada pohon itu
dan seketika rantingnya condong. Dalam hitungan detik, pohon itu memunculkan
bunga lalu berubah menjadi sebutir jambu biji yang matang. Bahkan tanpa Shin
harus memetiknya, buah itu langsung jatuh ke tangan Shin.
“Terimakasih,”
ucap Shin. Dia berbalik dan ekspresinya berubah terkejut. “Kapan Guru datang?”
Mr.
Elios berdiri tidak jauh darinya. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam
saku celana lalu menghela napas panjang.
“Aku
mencari Snare. Dia tidak ada di mana pun aku mencarinya.”
Shin
tertawa kecil.
“Guru
tidak akan menemukannya. Dia akan datang sendiri,” katanya kemudian berlari
kecil pada Mr. Elios. Mereka lalu berjalan beriringan ke dalam asrama. “Saya
berniat mengeriting rambut. Bagaimana?”
“Keriting?”
Mr. Elios mengernyit.
“Tidak
sampai keriting. Saya ingin membuat rambut saya bergelombang, jadi nantinya
kelihatan lebih dewasa.”
Mr.
Elios menghentikan langkahnya, membuat Shin mengerjap. Tangan guru itu perlahan
terangkat menyentuh poni dekat pelipis Shin. Gadis itu pun mematung merasakan
degup jantungnya yang tidak karuan. Shin pikir Mr. Elios akan menyentuh
wajahnya juga, namun sebelum dia membayangkan lebih jauh, tangan yang lembut
itu telah ditarik kembali.
“Terserah
kau,” kata Mr. Elios akhirnya dan melanjutkan langkah.
Shin
masih mengusap-usap poninya sampai Mr. Elios hampir melewati ambang pintu. Dia
tidak lagi bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum.
“Guru!”
panggilnya sambil berlari kecil. “Bagaimana kalau saya bikinkan teh?”
Sosok
keduanya lalu menghilang di balik tembok. Bisa ditebak arah mana yang dituju
Shin.
Omong-omong
gadis itu lupa mengingat baik-baik satu kamar yang terletak di lantai dua
dengan jendela yang persis berada dekat halaman samping asrama DM. Sebelum tiga
penghuni baru datang, kamar itu kosong. Sekarang, kamar itu telah terisi. Gadis
dengan rambut pendek yang selalu meliuk-liuk lembut itupun menopang dagu
melihat pemandangan baru yang ada di bawahnya tadi. Dia bahkan lupa caranya
menutup mulut.
Apa itu
tadi? Pikirnya bengong. Cinta terlarang?
***
Bunyi
langkah kaki terdengar keras di lorong yang lengang. Audin tidak peduli meski
hanya dua menit yang lalu office boy sekolahnya
baru mengepel lantainya. Gadis itu terburu-buru pergi ke koperasi sambil
membawa selipat kertas yang harus disalin cepat seratus lembar. Mendadak sosok
seseorang berjalan ke arah tangga membuatnya terkesiap keras. Sama dengan
Audin, anak itu pun terperanjat kaget.
Kurang
dari sedetik, mereka bertabrakan. Audin jatuh menelungkup ke depan sedangkan
anak itu menghantam dinding tangga.
“Ah…”
Audin meringis saat bangkit berdiri. “Kau tak apa-apa?”
Siswa
laki-laki itu sedikit lebih tinggi dari Audin. Dia membenarkan dulu posisi
kacamatanya sebelum akhirnya meraih uluran tangan Audin. Wajahnya tampak
kebingungan beberapa saat dan sikapnya berubah kikuk. Dia membalas pertanyaan
Audin dengan seulas senyum yang menampakkan gigi-giginya yang berkawat. Name tag tersemat di dada kirinya. Nama
pertamanya Gael.
“Maaf,
aku terburu-buru. Langsung saja ke UKS, oke? Nanti aku susul,” kata Audin. Tapi
sebelum gadis itu akan pergi lagi, Gael buru-buru menahan lengannya.
“Mungkin..
kau.. anak di asrama sembilan?” tanya Gael.
Asrama
sembilan? Alis Audin bertaut. DM maksudnya?
“Kau
satu asrama dengan Eva?” tanya Gael memperjelas pertanyaannya.
“Begitulah..”
Senyum
Gael tersungging senang. Dia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan sebuah
benda kecil dari sana. Satu flashdisk putih dengan gantungan lonceng kecil.
Gael kemudian memberikannya pada Audin.
“Tolong
berikan ini pada Eva,” pintanya. “Mungkin dia akan senang.”
“Oh,
oke..” Audin mengangguk menggenggam flashdisk itu sekarang.
Gael
pun pergi setelah mengucapkan terimakasih.
Sorot
yang tidak biasa, pikir Audin mengingat sosok Gael. Apa itu seperti yang dia
pikirkan sekarang?
Audin
menekan bibirnya dan angkat bahu. Gadis itu langsung berlari lagi seperti orang
kesetanan menuju koperasi.
***
“Laz..
Laz..!” Eero menepuk bahu Laz yang asyik headset
yang menyumpal telinganya.
Laz
langsung mencopot headset dan menoleh
pada Eero.
“Kecuali
aku sedang berhalusinasi atau mataku sedang dimantrai oleh Mr. Elios..” Eero
berkata dengan mata berbinar yang mencurigakan. “Kupikir aku sedang melihat
Zein yang tersangkut di dinding pojok sebelah sana. Itu. Yang ada kawat
berdurinya.”
Laz
bengong. Pandangannya lalu mengikuti arah yang ditunjukkan dagu Eero. Dinding
pojok yang dimaksud Eero sebenarnya lumayan tertutupi semak, tapi jika dilihat
lebih teliti, ada seekor—atau bahkan seseorang yang memiliki tekstur terkepelai
sedang bergerak-gerak di sana. Satu kakinya tersangkut di beberapa duri kawat,
dan posisinya kini sedang menentang letak kepala yang lazimnya ada lebih tinggi
dari kaki.
Sedang apa pula bocah itu?
“Kupikir
kita harus mengerjainya dulu sebelum menolongnya,” komentar Eero lalu berlari
kecil menghampiri Zein.
Khas
Eero. Tidak mengherankan. Bahu Laz beringsut dan laki-laki itu dengan malas
mengikuti teman usil dua tahun belakangan ini. Berkat kamar mereka yang
berdekatan, Laz sering menjadi korban “kekejaman” Eero. Tapi setidaknya mereka
bisa lega mengingat semua urusan keisengannya, Eero tidak pernah menggunakan
listrik apalagi halilintar.
“Agatha
akan membunuhmu jika tahu kau mencoba untuk bolos lagi, Zein…,” gumam Eero saat
Zein tengah mati-matian melepaskan ujung celananya yang tersangkut ke tiga
kawat duri sekaligus.
Gadis
itu terkesiap keras saking kagetnya. Punggungnya melayang jatuh ke belakang dan
langsung membentur tembok. Merasakan sakit, dia justru tertawa tergelak—tawa
setengah hati.
“Aku
cuma sit up kok!” Lalu dia tertawa
lagi—lebih keras. “Aku cuma… eh, mengecek kalau-kalau Manuela dan Sofia kabur.
Ah, sepertinya Rodrigo naksir salah satu dari mereka. Kita akan punya bayi
kambing lagi!”
Hening.
Laz ada di belakang Eero sesaat kemudian dengan mata menyipit.
“Let me ask you something…,” bisik Eero
pada Laz. “Ada berapa kira-kira peliharaan bocah hiperaktif itu di sekolah dan
DM kalau dijumlahkan semua?”
“Kau
jelas tidak memperhitungkan makhluk lain yang invisible,” balas Laz sama pelannya.
“Seperti
apa misalnya?” Eero bergidik ngeri.
“Lipan?
Cacing tanah? Belatung?”
“Hell… mungkin ada cacing tanah yang dia
beri nama Gabriella.”
Zein
berdehem saat itu juga karena dia mendengar gumaman Eero. Bukan karena
tersinggung, gadis itu hanya berniat meralat.
“Jangkrik
yang ada di kamarku, namanya Gabriella.”
Eero
dan Laz kompak memutar bola mata.
“Err… guys. Aku akui kalau kakiku
tersangkut…,” kata Zein akhirnya. “Kalau kalian tidak mau menolong, oke-oke
saja, jadi silakan pergi. Aku barusan punya ide untuk bebas, tapi tidak bisa
kalau kalian tetap menonton di situ.”
“Ide
apa?” tanya Laz.
“Melepas
celanaku.”
***
Eva
keluar dari kantor guru setelah mengurus berkas-berkas kepindahannya yang
tertunda karena sejuta alasan. Dia dengan entengnya datang ke sana membawa jus
nanas yang telah dicampur sedikit bensin dalam gelas plastik murah yang dipakai
para pedagang. Tegukan terakhir telah dia habiskan, tapi gadis itu sengaja
menyeruputnya keras-keras hingga para siswa di sekitarnya bisa mendengar dengan
jelas.
Eva
sadar akan banyak pasang mata yang mengikuti gerak tubuhnya yang menyusuri
lorong lantas dia sengaja menyibakkan rambut panjangnya.
Para
siswa laki-laki otomatis membuka mulut—terpaku dengan gaya idiot. Sementara itu
para siswa gadis berwajah dongkol. Salah satu dari mereka yang sedang menyapu
lantai kemudian sengaja menjulurkan gagang sapu di tengah jalan, berharap
supaya “iblis” jalang itu tersandung dan mukanya bengkak berkat menghantam
lantai.
Eva
masih dengan senyuman penuh percaya dirinya tetap melangkah santai. Saat
senyuman si Gadis sapu mengembang lebar menanti anak itu tersandung, Eva justru
melompat-lompat girang bak Candy. Lompatannya persis melewati gagang sapu
tersebut.
Tepat
saat gadis sapu terperangah, pintu di belakangnya mendadak ambruk menimpa
tubuhnya.
Sedetik
kemudian, senyum Eva tersungging. Manis sekali.
Bersamaan
dengan itu Gael melihat senyuman Eva. Pandangannya menerawang, namun dia tetap
menyunggingkan senyum biarpun tipis. Bocah ini tidak peduli sama sekali pada
anak yang tertimpa daun pintu karena di matanya yang terlihat hanya Eva.
Cukup
Eva.
0 komentar:
Posting Komentar