Welcome to Disaster Maker Club (6): The Nerd Boy is Falling in Love

Selasa, 17 November 2015



“Eva, duluan ya!”

Eva melambai pada dua teman yang makan bersamanya di kantin. Mereka kembali ke kelas duluan dengan alasan ada guru yang memanggil. Bersamaan dengan kedua gadis itu pergi, Eva pun keluar dari dalam kantin sambil membawa satu tusukan besar sosis bakar ukuran ekstra. Gadis itu dengan santai berjalan ke tangga menuju lantai dua gedung sekolah sambil mengunyah saat tiba-tiba seseorang menghadang jalannya.

Mata Eva mengerjap lalu detik selanjutnya, dia menelan makanan yang telah dia kunyah.

“Ha-halo, E-Eva!” sapa laki-laki yang selalu mengundang kerutan di dahi Eva itu. Dia salah satu siswa di sana—mereka seumuran. Tapi Eva justru merasa anak itu mungkin beberapa tahun lebih muda darinya.

“Hai, Gael,” balas Eva menyebut namanya. “Ada apa?” Gadis itu memasukkan segigit sosis lagi ke mulut.

“Ma-malam ini, ma-mau tidak mampir ke rumah lagi? A-aku punya film baru yang ba-bagus, se-seperti film Roma kemarin.”

Eva tidak langsung menjawab. Gadis itu membuat Gael menunggu beberapa saat dengan mengunyah penuh hikmat potongan sosis di mulutnya, itupun dengan mata menyipit serta memutar—seperti sedang berpikir keras mempertimbangkan sesuatu. Tapi tanpa mengamati baik-baik ekspresi penuh harap Gael saat itu, Eva menyunggingkan senyum lalu menjawab ajakannya tanpa beban.

No. Sorry.”

***

Shin bersenandung. Masih mengenakan seragamnya sore itu, dia menikmati detik demi detik air yang keluar dari selang untuk menyiram taman belakang asrama DM. Bunga cosmos, marigold, turnip, sakura, serta bunga-bunga yang disiram olehnya tanpa terkecuali, mekar saat itu juga. Tidak peduli akan musim, aura yang dipancarkan gadis itu serupa serbuk ajaib yang mengendalikan tumbuh kembang tanaman mana pun.

Pandangan Shin lalu terpaku pada pohon jambu biji yang telah tumbuh setinggi dirinya. Gadis itu meletakkan teko penyiramnya begitu saja lalu menghampiri pohon tersebut. Dia kemudian tersenyum. Tangan Shin mengulur, mendekat pada pohon itu dan seketika rantingnya condong. Dalam hitungan detik, pohon itu memunculkan bunga lalu berubah menjadi sebutir jambu biji yang matang. Bahkan tanpa Shin harus memetiknya, buah itu langsung jatuh ke tangan Shin.

“Terimakasih,” ucap Shin. Dia berbalik dan ekspresinya berubah terkejut. “Kapan Guru datang?”

Mr. Elios berdiri tidak jauh darinya. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana lalu menghela napas panjang.

“Aku mencari Snare. Dia tidak ada di mana pun aku mencarinya.”

Shin tertawa kecil.

“Guru tidak akan menemukannya. Dia akan datang sendiri,” katanya kemudian berlari kecil pada Mr. Elios. Mereka lalu berjalan beriringan ke dalam asrama. “Saya berniat mengeriting rambut. Bagaimana?”

“Keriting?” Mr. Elios mengernyit.

“Tidak sampai keriting. Saya ingin membuat rambut saya bergelombang, jadi nantinya kelihatan lebih dewasa.”

Mr. Elios menghentikan langkahnya, membuat Shin mengerjap. Tangan guru itu perlahan terangkat menyentuh poni dekat pelipis Shin. Gadis itu pun mematung merasakan degup jantungnya yang tidak karuan. Shin pikir Mr. Elios akan menyentuh wajahnya juga, namun sebelum dia membayangkan lebih jauh, tangan yang lembut itu telah ditarik kembali.

“Terserah kau,” kata Mr. Elios akhirnya dan melanjutkan langkah.

Shin masih mengusap-usap poninya sampai Mr. Elios hampir melewati ambang pintu. Dia tidak lagi bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum.

“Guru!” panggilnya sambil berlari kecil. “Bagaimana kalau saya bikinkan teh?”

Sosok keduanya lalu menghilang di balik tembok. Bisa ditebak arah mana yang dituju Shin.

Omong-omong gadis itu lupa mengingat baik-baik satu kamar yang terletak di lantai dua dengan jendela yang persis berada dekat halaman samping asrama DM. Sebelum tiga penghuni baru datang, kamar itu kosong. Sekarang, kamar itu telah terisi. Gadis dengan rambut pendek yang selalu meliuk-liuk lembut itupun menopang dagu melihat pemandangan baru yang ada di bawahnya tadi. Dia bahkan lupa caranya menutup mulut.

Apa itu tadi? Pikirnya bengong. Cinta terlarang?

***

Bunyi langkah kaki terdengar keras di lorong yang lengang. Audin tidak peduli meski hanya dua menit yang lalu office boy sekolahnya baru mengepel lantainya. Gadis itu terburu-buru pergi ke koperasi sambil membawa selipat kertas yang harus disalin cepat seratus lembar. Mendadak sosok seseorang berjalan ke arah tangga membuatnya terkesiap keras. Sama dengan Audin, anak itu pun terperanjat kaget.

Kurang dari sedetik, mereka bertabrakan. Audin jatuh menelungkup ke depan sedangkan anak itu menghantam dinding tangga.

“Ah…” Audin meringis saat bangkit berdiri. “Kau tak apa-apa?”

Siswa laki-laki itu sedikit lebih tinggi dari Audin. Dia membenarkan dulu posisi kacamatanya sebelum akhirnya meraih uluran tangan Audin. Wajahnya tampak kebingungan beberapa saat dan sikapnya berubah kikuk. Dia membalas pertanyaan Audin dengan seulas senyum yang menampakkan gigi-giginya yang berkawat. Name tag tersemat di dada kirinya. Nama pertamanya Gael.

“Maaf, aku terburu-buru. Langsung saja ke UKS, oke? Nanti aku susul,” kata Audin. Tapi sebelum gadis itu akan pergi lagi, Gael buru-buru menahan lengannya.

“Mungkin.. kau.. anak di asrama sembilan?” tanya Gael.

Asrama sembilan? Alis Audin bertaut. DM maksudnya?

“Kau satu asrama dengan Eva?” tanya Gael memperjelas pertanyaannya.

“Begitulah..”

Senyum Gael tersungging senang. Dia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan sebuah benda kecil dari sana. Satu flashdisk putih dengan gantungan lonceng kecil. Gael kemudian memberikannya pada Audin.

“Tolong berikan ini pada Eva,” pintanya. “Mungkin dia akan senang.”

“Oh, oke..” Audin mengangguk menggenggam flashdisk itu sekarang.

Gael pun pergi setelah mengucapkan terimakasih.

Sorot yang tidak biasa, pikir Audin mengingat sosok Gael. Apa itu seperti yang dia pikirkan sekarang?

Audin menekan bibirnya dan angkat bahu. Gadis itu langsung berlari lagi seperti orang kesetanan menuju koperasi.

***

“Laz.. Laz..!” Eero menepuk bahu Laz yang asyik headset yang menyumpal telinganya.

Laz langsung mencopot headset dan menoleh pada Eero.

“Kecuali aku sedang berhalusinasi atau mataku sedang dimantrai oleh Mr. Elios..” Eero berkata dengan mata berbinar yang mencurigakan. “Kupikir aku sedang melihat Zein yang tersangkut di dinding pojok sebelah sana. Itu. Yang ada kawat berdurinya.”

Laz bengong. Pandangannya lalu mengikuti arah yang ditunjukkan dagu Eero. Dinding pojok yang dimaksud Eero sebenarnya lumayan tertutupi semak, tapi jika dilihat lebih teliti, ada seekor—atau bahkan seseorang yang memiliki tekstur terkepelai sedang bergerak-gerak di sana. Satu kakinya tersangkut di beberapa duri kawat, dan posisinya kini sedang menentang letak kepala yang lazimnya ada lebih tinggi dari kaki.

Sedang apa pula bocah itu?

“Kupikir kita harus mengerjainya dulu sebelum menolongnya,” komentar Eero lalu berlari kecil menghampiri Zein.

Khas Eero. Tidak mengherankan. Bahu Laz beringsut dan laki-laki itu dengan malas mengikuti teman usil dua tahun belakangan ini. Berkat kamar mereka yang berdekatan, Laz sering menjadi korban “kekejaman” Eero. Tapi setidaknya mereka bisa lega mengingat semua urusan keisengannya, Eero tidak pernah menggunakan listrik apalagi halilintar.

“Agatha akan membunuhmu jika tahu kau mencoba untuk bolos lagi, Zein…,” gumam Eero saat Zein tengah mati-matian melepaskan ujung celananya yang tersangkut ke tiga kawat duri sekaligus.

Gadis itu terkesiap keras saking kagetnya. Punggungnya melayang jatuh ke belakang dan langsung membentur tembok. Merasakan sakit, dia justru tertawa tergelak—tawa setengah hati.

“Aku cuma sit up kok!” Lalu dia tertawa lagi—lebih keras. “Aku cuma… eh, mengecek kalau-kalau Manuela dan Sofia kabur. Ah, sepertinya Rodrigo naksir salah satu dari mereka. Kita akan punya bayi kambing lagi!”

Hening. Laz ada di belakang Eero sesaat kemudian dengan mata menyipit.

Let me ask you something…,” bisik Eero pada Laz. “Ada berapa kira-kira peliharaan bocah hiperaktif itu di sekolah dan DM kalau dijumlahkan semua?”

“Kau jelas tidak memperhitungkan makhluk lain yang invisible,” balas Laz sama pelannya.

“Seperti apa misalnya?” Eero bergidik ngeri.

“Lipan? Cacing tanah? Belatung?”

Hell… mungkin ada cacing tanah yang dia beri nama Gabriella.”

Zein berdehem saat itu juga karena dia mendengar gumaman Eero. Bukan karena tersinggung, gadis itu hanya berniat meralat.

“Jangkrik yang ada di kamarku, namanya Gabriella.”

Eero dan Laz kompak memutar bola mata.

“Err… guys. Aku akui kalau kakiku tersangkut…,” kata Zein akhirnya. “Kalau kalian tidak mau menolong, oke-oke saja, jadi silakan pergi. Aku barusan punya ide untuk bebas, tapi tidak bisa kalau kalian tetap menonton di situ.”

“Ide apa?” tanya Laz.

“Melepas celanaku.”

***

Eva keluar dari kantor guru setelah mengurus berkas-berkas kepindahannya yang tertunda karena sejuta alasan. Dia dengan entengnya datang ke sana membawa jus nanas yang telah dicampur sedikit bensin dalam gelas plastik murah yang dipakai para pedagang. Tegukan terakhir telah dia habiskan, tapi gadis itu sengaja menyeruputnya keras-keras hingga para siswa di sekitarnya bisa mendengar dengan jelas.

Eva sadar akan banyak pasang mata yang mengikuti gerak tubuhnya yang menyusuri lorong lantas dia sengaja menyibakkan rambut panjangnya.

Para siswa laki-laki otomatis membuka mulut—terpaku dengan gaya idiot. Sementara itu para siswa gadis berwajah dongkol. Salah satu dari mereka yang sedang menyapu lantai kemudian sengaja menjulurkan gagang sapu di tengah jalan, berharap supaya “iblis” jalang itu tersandung dan mukanya bengkak berkat menghantam lantai.

Eva masih dengan senyuman penuh percaya dirinya tetap melangkah santai. Saat senyuman si Gadis sapu mengembang lebar menanti anak itu tersandung, Eva justru melompat-lompat girang bak Candy. Lompatannya persis melewati gagang sapu tersebut.

Tepat saat gadis sapu terperangah, pintu di belakangnya mendadak ambruk menimpa tubuhnya.

Sedetik kemudian, senyum Eva tersungging. Manis sekali.

Bersamaan dengan itu Gael melihat senyuman Eva. Pandangannya menerawang, namun dia tetap menyunggingkan senyum biarpun tipis. Bocah ini tidak peduli sama sekali pada anak yang tertimpa daun pintu karena di matanya yang terlihat hanya Eva.

Cukup Eva.

0 komentar: